Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Christina Natalia Setyawati
Ilustrasi Mahasiswa (Freepik/rawpixel.com)

Skripsi, selama ini menjadi semacam ritual sakral yang harus dilalui setiap mahasiswa sebelum dinyatakan lulus. Tulisan ilmiah ini dianggap sebagai bukti nyata bahwa seseorang telah menguasai ilmu pengetahuan di bidangnya dan mampu berpikir secara kritis. Namun, seiring berjalannya waktu, muncullah pertanyaan: Apakah skripsi masih relevan dengan tantangan dunia kerja yang semakin kompleks dan dinamis? Ataukah kita perlu mencari alternatif lain yang lebih efektif untuk mengukur kompetensi mahasiswa?

Sejauh ini, tidak sedikit skripsi yang berakhir menjadi arsip mangkrak yang termakan waktu sampai tidak berlaku lagi di ruang perpustakaan atau gudang. Dari skripsi paling tipis sampai yang paling tebal sekalipun hanya mangkrak tidak berdaya di dalam ruangan tanpa minat ditengok kembali.

Beberapa skripsi digital pun dibatasi aksesnya dan tidak fleksibel digunakan oleh mahasiswa instansi terkait sendiri. Mereka hanya berakhir sebagai catatan yang pernah ada dalam pencarian Google, tidak maksimal diakses dan diimplementasikan hasilnya.

Tradisi penulisan skripsi telah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun. Bagi sebagian besar mahasiswa, skripsi adalah mimpi buruk yang harus dihadapi. Tumpukan kertas yang menjulang tinggi itu membuat mereka hidup berminggu-minggu siang malam tanpa tidur bersama rasa frustrasi yang tak terkira.

Hal ini kembali menggelitik, terutama fakta bahwa tekanan untuk menyelesaikan skripsi juga dapat berdampak negatif pada kesehatan mental mahasiswa sehingga perlu dipertimbangkan kembali apakah sistem ini masih relevan dengan tujuan pendidikan.

Munculnya alternatif, seperti proyek akhir atau portofolio yang dianggap lebih relevan dengan kebutuhan dunia kerja semakin menguatkan argumen untuk melakukan evaluasi terhadap sistem penulisan skripsi saat ini. Jika dibandingkan dengan sistem pendidikan tinggi di negara maju, banyak universitas yang telah mengadopsi sistem yang lebih fleksibel dan relevan dengan kebutuhan dunia kerja, seperti portofolio atau proyek berbasis masalah.

Sudah ada universitas nasional yang menggunakan kebijakan ini, misalnya saja, Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Universitas Sebelas Maret (UNS), dan Universitas Amikom Yogyakarta. Kebijakan tidak wajib skripsi merupakan langkah progresif dalam dunia pendidikan tinggi.

Dengan memberikan fleksibilitas dan relevansi, kebijakan ini dapat mendorong mahasiswa untuk menjadi lulusan yang lebih kreatif, inovatif, dan siap menghadapi tantangan dunia kerja. Sayangnya, belum banyak perguruan tinggi yang menerapkan kebijakan ini dan masih memberlakukan skripsi sebagai syarat wajib kelulusan untuk S-1.

Secara praktis, skripsi tidak hanya bermanfaat bagi mahasiswa secara individu, tetapi juga memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Dengan melakukan penelitian dan menghasilkan karya tulis ilmiah, mahasiswa turut serta memperkaya khazanah ilmu pengetahuan di bidangnya. Skripsi yang berkualitas dapat menjadi rujukan bagi penelitian selanjutnya dan memberikan inspirasi bagi peneliti lain.

Penulisan skripsi juga dapat dianggap sebagai latihan awal bagi mahasiswa untuk terjun ke dunia kerja. Melalui proses penulisan skripsi, mahasiswa dilatih untuk bekerja secara mandiri, mengatur waktu, dan menyelesaikan tugas sesuai dengan tenggat waktu yang ditentukan. Keterampilan-keterampilan ini sangat penting dalam dunia kerja yang menuntut profesionalitas dan tanggung jawab.

Selain aspek akademik dan profesional, penulisan skripsi juga memberikan dampak positif bagi pertumbuhan pribadi mahasiswa. Melalui proses penulisan skripsi, mahasiswa akan belajar untuk lebih disiplin, sabar, dan ulet dalam menghadapi tantangan. Mereka juga akan belajar untuk menghargai pentingnya kerja keras dan ketekunan.

Meskipun begitu, proses penulisan skripsi seringkali menjadi tantangan tersendiri bagi mahasiswa S-1. Selain kesulitan teknis seperti pemilihan topik, pengumpulan data, dan keterbatasan waktu, mahasiswa juga dihadapkan pada berbagai masalah psikologis seperti kecemasan dan kurangnya motivasi.

Hubungan yang kurang harmonis dengan dosen pembimbing serta berbagai tuntutan di luar perkuliahan semakin memperumit permasalahan yang dihadapi. Semua faktor ini dapat menghambat proses penyelesaian skripsi dan memperpanjang masa studi mahasiswa.

Sistem pendidikan tinggi yang kurang responsif terhadap kebutuhan mahasiswa juga menjadi salah satu penyebab utama masalah ini. Kurangnya bimbingan yang efektif dari dosen pembimbing, keterbatasan fasilitas penelitian, dan birokrasi yang berbelit-belit dapat menghambat proses penyelesaian skripsi. Selain itu, stigma negatif terhadap mahasiswa yang mengalami kesulitan akademik juga dapat memperparah kondisi mereka.

Beban berat penyelesaian skripsi seringkali mendorong mahasiswa ke titik putus asa. Tekanan psikologis yang luar biasa, ditambah dengan berbagai kendala seperti masalah finansial, keluarga, dan lingkungan, dapat memicu depresi dan kecemasan yang berkepanjangan. Kurangnya dukungan sistemik dari lembaga pendidikan juga memperparah situasi.

Dalam kondisi yang sangat tertekan, beberapa mahasiswa mengambil keputusan ekstrem seperti berhenti kuliah, DO, atau bahkan mengakhiri hidup. Hal ini menunjukkan bahwa masalah skripsi tidak hanya sebatas tugas akademik, tetapi juga menyangkut kesehatan mental dan kesejahteraan mahasiswa secara keseluruhan.

Penghapusan kewajiban skripsi membuka ruang yang lebih luas bagi mahasiswa untuk mengeksplorasi minat dan bakat mereka secara mendalam. Tanpa terkungkung dalam format penulisan skripsi yang rigid, mahasiswa dapat memilih bentuk tugas akhir yang lebih relevan dengan tujuan karier mereka.

Misalnya, mereka dapat memilih untuk membuat proyek berbasis desain, melakukan penelitian lapangan yang intensif, atau mengembangkan produk inovatif. Dengan demikian, lulusan perguruan tinggi akan lebih siap menghadapi tantangan global dan memberikan kontribusi yang lebih besar bagi masyarakat.

Dengan menghapus kewajiban skripsi, perguruan tinggi dapat lebih memfokuskan pada pengembangan keterampilan yang relevan dengan dunia kerja. Mahasiswa dapat memilih tugas akhir yang langsung berhubungan dengan bidang yang ingin mereka geluti, sehingga mereka lebih siap untuk terjun ke dunia profesional setelah lulus. Misalnya, mahasiswa jurusan bisnis dapat memilih untuk membuat rencana bisnis yang realistis, sementara mahasiswa teknik dapat mengembangkan prototipe produk baru.

Penghapusan kewajiban skripsi juga dapat memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk mengembangkan diri secara holistik. Mahasiswa dapat memilih tugas akhir yang menantang mereka untuk keluar dari zona nyaman dan mencoba hal-hal baru. Misalnya, mahasiswa dapat mengikuti kompetisi, magang di perusahaan, atau terlibat dalam kegiatan sosial. Pengalaman-pengalaman ini tidak hanya akan meningkatkan keterampilan teknis mereka, tetapi juga akan membentuk karakter dan kepribadian mereka.

Kebijakan ini menawarkan fleksibilitas yang lebih besar, tetapi juga menimbulkan sejumlah risiko. Salah satu tantangan utama adalah bagaimana memastikan bahwa pencapaian pembelajaran mahasiswa dapat dinilai secara objektif dan adil, mengingat beragamnya bentuk tugas akhir yang mungkin dihasilkan. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa mahasiswa akan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan menulis ilmiah secara komprehensif.

Di satu sisi, kebijakan ini menawarkan fleksibilitas dan relevansi yang lebih tinggi. Di sisi lain, kebijakan ini juga menimbulkan kekhawatiran terkait dengan standar mutu lulusan. Mengimplementasikan perubahan besar seperti ini memang membutuhkan waktu dan perencanaan yang matang. Wajar jika belum banyak perguruan tinggi yang menerapkan kebijakan ini. Keterlibatan semua pihak, mulai dari pimpinan perguruan tinggi, dosen, mahasiswa, hingga alumni dan industri sangat penting untuk keberhasilan implementasi kebijakan ini.

Era digital kini menuntut kita untuk lebih adaptif dan fleksibel. Mungkin sudah saatnya kita merombak sistem pendidikan tinggi agar lebih relevan dengan kebutuhan dunia kerja yang terus berubah. Dengan demikian, kita dapat mencetak lulusan yang tidak hanya memiliki pengetahuan teoritis, tetapi juga keterampilan praktis yang siap menghadapi tantangan masa depan.

Christina Natalia Setyawati