Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Sherly Azizah
Ilustrasi ChatGPT [Pexels/Shantanu Kumar]

Dalam era digital yang semakin maju, mahasiswa mulai mengandalkan teknologi seperti ChatGPT untuk membantu menyelesaikan tugas-tugas mereka. Aplikasi berbasis kecerdasan buatan ini bisa memberikan jawaban cepat atas berbagai pertanyaan dan membantu merumuskan ide untuk esai atau makalah.

Tetapi di balik kemudahan ini, muncul pertanyaan: apakah ChatGPT benar-benar membantu mahasiswa belajar, atau justru membuat mereka semakin bergantung pada solusi instan?

Banyak mahasiswa memuji kemudahan yang ditawarkan ChatGPT. Ketika dihadapkan dengan tugas kuliah yang mendesak, mereka hanya perlu mengetikkan beberapa kata, dan AI langsung memberikan jawaban yang relevan. Hal ini tentunya menghemat waktu, terutama ketika tugas menumpuk.

Namun, yang perlu diperhatikan adalah, apakah penggunaan alat ini mendorong pemahaman mendalam, atau justru mengalihkan mahasiswa dari proses berpikir kritis yang seharusnya mereka kembangkan selama kuliah?

Ketergantungan pada AI seperti ChatGPT bisa menjadi masalah serius. Mahasiswa yang terlalu sering menggunakan teknologi ini mungkin kehilangan kemampuan untuk berpikir mandiri dan mengasah keterampilan analitis.

Ketika teknologi mengambil alih proses pencarian informasi dan penyusunan argumen, mahasiswa bisa kehilangan kesempatan untuk benar-benar belajar dan memahami materi kuliah.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Nicholas Carr dalam bukunya "The Shallows: What the Internet is Doing to Our Brains," teknologi yang memberi kemudahan instan seringkali menghambat kemampuan kita untuk berpikir mendalam dan reflektif.

Institusi pendidikan pun mulai melihat potensi masalah dari ketergantungan ini. Beberapa dosen khawatir mahasiswa akan semakin sulit dalam menulis dan menganalisis karena terbiasa mendapatkan solusi instan dari ChatGPT.

Bagaimana caranya agar teknologi ini bisa dimanfaatkan tanpa mengorbankan kualitas pendidikan? Banyak yang setuju bahwa AI seharusnya digunakan sebagai alat bantu untuk mempermudah riset, tetapi tidak sebagai satu-satunya sumber informasi.

Di sisi lain, mahasiswa sendiri juga perlu bijak dalam menggunakan ChatGPT. Mereka perlu memahami batasan teknologi ini dan tetap berupaya mengasah kemampuan berpikir kritis.

Bagaimana caranya? Dengan menggunakannya sebagai referensi awal dan tetap mengandalkan riset mandiri serta berdiskusi dengan dosen atau teman.

AI bisa menjadi alat yang bermanfaat jika digunakan dengan benar, tetapi mahasiswa tidak boleh lupa bahwa pemahaman mendalam datang dari proses belajar yang lebih aktif dan reflektif.

Jadi, apakah ChatGPT benar-benar membantu mahasiswa, atau justru menjadi "kruk" yang membuat mereka malas berpikir? Jawabannya tergantung pada bagaimana teknologi ini digunakan.

Jika digunakan dengan bijak, AI bisa menjadi alat yang mendukung proses belajar. Namun, jika terlalu diandalkan, kita mungkin hanya akan menciptakan generasi mahasiswa yang pintar menggunakan teknologi, tapi lemah dalam berpikir kritis.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Sherly Azizah