Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Axel Sabina Rachel Rambing
Teman Tuli Peserta Seminar Kesehatan Mental (Dokumentasi GERKATIN DIY)

Konsep inklusif sering kali hanya menjadi diksi tanpa aksi. Hal yang selalu dielu-elukan sebagai nilai universal, pada kenyataannya masih jauh dari harapan. Hal yang disebut sebagai prinsip penting dalam membangun masyarakat setara, pada kenyataannya masih jadi bualan tanpa arah. Hal ini dibuktikan oleh Komnas Perempuan yang melaporkan bahwa tingkat inklusivitas Indonesia masih tergolong rendah, baik di tingkat global maupun di kawasan ASEAN. Mengutip dari laman KomnasPerempuan.go.id, bahwa secara global Indonesia menempati peringkat 125, lebih rendah dibandingkan dengan Vietnam, Thailand, Filipina, dan Singapura.

Melihat kenyataan pahit tersebut, muncul pertanyaan tentang apa yang sebebnarnya harus dilakukan dalam rangka menumbuhkan inklusivitas bagi teman difabel?

Kesadaran Kolektif

Penting untuk membangun kesadaran kolektif agar tercipta perubahan budaya dalam masyarakat. Mayoritas masyarakat terjebak dalam stereotip bahwa disabilitas berarti mereka yang ‘lemah’, mereka yang memiliki ‘kekurangan’, mereka yang ‘sakit’. Sehingga perubahan yang diharapkan yaitu budaya sebagai cara mayoritas memandang para difabel.

Teman difabel sudah sepantasnya dipandang sebagai bagian dari keberagaman sosial. Memang ada tantangan yang ‘berbeda’ dan harus dihadapi oleh difabel dalam masyarakat ini. Namun, tidak seharusnya tantangan tersebut menjadi alasan bagi mereka untuk dikasihani. Karena keberagaman pada hakekatnya merupakan bagian dari aspek manusiawi yang harus dipahami sebagai pondasi penyatuan sekaligus penguatan masyarakat.

Organisasi Pionir yang Memperjuangkan Kesejahteraan Difabel

Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN) merupakan organisasi yang menjadi pionir dalam memperjuangkan kesejahteraan, keadilan, dan kesetaraan bagi teman-teman Tuli dalam berbagai aspek kehidupan seperti pendidikan, layanan publik, dan pekerjaan.

Rangkaian program yang diselenggarakan GERKATIN tidak sekadar memberdayakan teman Tuli. Namun, dengan tujuan jangka panjang yaitu mempersiapkan teman Tuli untuk hidup berdampingan dalam dunia dengar.

GERKATIN DIY Berupaya Ciptakan Kesadaran Kolektif Tentang ‘Budaya Tuli’

Teman Tuli GERKATIN DIY (Kiri) dan Mahasiswi FISIP UAJY (Kanan) (instagram/dpdgerkatindiy)

Dalam upaya ini, GERKATIN DIY menggandeng civitas FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta untuk berkolaborasi menciptakan konten edukasi bagi khalayak. Keluaran produk konten seperti infografis tentang pentingnya mempelajari bahasa isyarat, hingga video tutorial belajar bahasa isyarat menjadi program utama yang disiarkan dalam media sosial Instagram GERKATIN DIY.

Menurut keterangan Dita, teman Tuli sekaligus Pengurus GERKATIN DIY, Ia menyatakan bahwa perlu untuk membangun kesadaran masyarakat tentang keberadaan Tuli sebagai suatu ‘budaya’ dalam masyarakat heterogen. “Bahasa isyarat dan bagaimana cara kami berinteraksi itulah budaya kami” ujar Dita dalam wawancara, Rabu (04/12). 

Akhir kata, dalam upaya membangun kesadaran kolektif di masyarakat, perlu peranan dari organisasi yang dapat menjadi pionir untuk mengenalkan dan memperjuangkan kesetaraan hak bagi teman-teman difabel. Keberadaan GERKATIN DIY sudah sepantasnya diapresiasi atas semangat dan idenya untuk menggandeng generasi muda lewat civitas akademik. Pada akhirnya kesadaran kolektif tentang inklusivitas teman difabel dapat disebarkan melalui generasi muda yang terdidik dan menjadi terbuka atas isu tersebut.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Axel Sabina Rachel Rambing

Baca Juga