Belakangan, publik diramaikan dengan pidato Presiden RI, Prabowo Subianto, pada HUT ke-17 Gerindra yang lalu karena menyebut kata "ndasmu" sebagai bentuk umpatan dalam pidato politiknya. Dari jejak digital, pernyataan ini sebelumnya pernah diucapkan oleh Prabowo pada tahun 2023 dan sempat viral. Yang menjadi problem adalah situasi resmi ketika peristiwa itu terjadi dan konteks lain yang tidak mendukung peristiwa bahasa tersebut.
Penggunaan bahasa Indonesia dalam acara kenegaraan resmi sudah diatur oleh Pasal 36 C UUD 1945 dan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014. Bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa utama dalam acara kenegaraan dengan penggunaan yang baik dan benar sesuai kaidah tata bahasa. Penggunaan bahasa daerah diperbolehkan dalam konteks adat atau budaya, tetapi bahasa Indonesia tetap utama, sementara bahasa asing hanya diperbolehkan jika diperlukan dan harus disertai terjemahan.
Pun dari sisi kesantunan berbahasa yang dalam acara kenegaraan sangat penting dan mencakup penggunaan bahasa yang sopan, santun, dan menghormati semua pihak. Hal ini meliputi pemilihan kata yang tepat, penggunaan bahasa yang baik dan benar, menghormati tamu dan peserta, menjaga intonasi dan nada bicara, memperhatikan bahasa tubuh, menggunakan bahasa asing dengan bijak, dan menjaga etika berpakaian. Dengan memperhatikan kesantunan berbahasa, acara kenegaraan dapat berjalan harmonis, menghormati perbedaan, dan memperkuat citra bangsa di mata internasional.
Bahasa adalah jendela jiwa suatu bangsa. Ia mencerminkan nilai-nilai luhur, adat istiadat, dan peradaban masyarakatnya. Namun, miris rasanya jika kita menyaksikan sendiri bagaimana kesantunan berbahasa kian tergerus, terutama di ruang publik. Alih-alih menjadi alat komunikasi yang membangun, bahasa justru menjelma menjadi senjata yang melukai, merendahkan, dan bahkan memecah belah.
Fenomena yang paling mencolok adalah penggunaan diksi yang tidak pantas, kasar, dan bahkan mengandung unsur ujaran kebencian (hate speech). Kata-kata kotor, makian, dan istilah-istilah yang merendahkan martabat manusia seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari percakapan sehari-hari, baik di media sosial, forum daring, maupun interaksi langsung.
Tak hanya itu, penggunaan bahasa yang merendahkan juga sering kali kita jumpai dalam acara-acara formal, seperti diskusi publik, seminar, atau bahkan pidato kenegaraan. Para tokoh publik, yang seharusnya menjadi panutan dalam berbahasa, tak jarang justru menggunakan diksi yang provokatif, sarkastis, atau meremehkan kelompok tertentu.
Degradasi kesantunan berbahasa ini tentu saja memiliki dampak yang sangat negatif bagi kehidupan bermasyarakat. Pertama, ia dapat merusak komunikasi yang sehat dan konstruktif. Ketika kata-kata yang digunakan penuh dengan emosi negatif, prasangka, dan kebencian, maka dialog yang seharusnya menjadi jembatan pemahaman justru berubah menjadi ajang saling serang dan menyalahkan.
Kedua, penggunaan bahasa yang tidak santun dapat memicu konflik dan polarisasi di masyarakat. Ujaran kebencian dan diskriminasi yang dilontarkan melalui kata-kata dapat menyulut emosi, memicu permusuhan, dan bahkan berujung pada tindakan kekerasan.
Ketiga, degradasi kesantunan berbahasa dapat merusak citra dan reputasi bangsa di mata dunia. Bahasa adalah identitas kita. Ketika kita menggunakan bahasa yang kasar dan tidak beradab, maka bangsa kita pun akan dinilai demikian.
Lantas, bagaimana cara kita mengatasi persoalan ini? Tentu saja, upaya perbaikan harus dimulai dari diri sendiri. Mari kita biasakan untuk selalu menggunakan bahasa yang santun, baik dalam interaksi langsung maupun di media sosial. Pilihlah kata-kata yang positif, membangun, dan menghargai orang lain.
Selain itu, pendidikan karakter dan etika berbahasa juga perlu ditanamkan sejak dini. Ajarkan kepada anak-anak kita pentingnya menghormati perbedaan pendapat, menghindari ujaran kebencian, dan menggunakan bahasa yang baik dan benar.
Peran serta media massa juga sangat penting dalam menjaga kesantunan berbahasa di ruang publik. Media harus lebih selektif dalam menyajikan informasi dan menghindari penggunaan bahasa yang provokatif atau merendahkan.
Kesantunan berbahasa adalah cerminan dari kematangan dan kedewasaan suatu bangsa. Mari kita rajut kembali nilai-nilai luhur ini dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menggunakan bahasa yang santun, kita tidak hanya menghormati orang lain, tetapi juga menjaga kehormatan diri sendiri dan bangsa.
Baca Juga
-
Pertambangan Nikel di Raja Ampat: Kronologi dan Bayangan Jangka Panjang
-
Menilik Program, Konten, dan Viralitas: Semakin Viral, Semakin Tak Bermoral
-
Kreatif! PPG Unila Latih Anak Panti Ar-Ra'uf Syahira Buat Lilin Aromaterapi
-
Menyoroti Perdebatan Urgensi Acara Wisuda TK-SMA: Menggeser Prioritas?
-
PPG Bahasa Indonesia Tumbuhkan Minat Literasi dengan Pembelajaran yang Asik
Artikel Terkait
-
Jadi Impian Raffi Ahmad, Berapa Biaya Kursus Bahasa Arab di Mesir?
-
Turun Temurun, Perempuan Adalah Makhluk 'Karubyung Kabotan Pinjung Sarwa'!
-
Thole, Gendhuk, dan Ngger: 3 Sapaan yang Makin Jauh Ditelan Kemajuan Zaman
-
Diduga Pacaran dengan Daffa Wardhana, Ariel Tatum Ungkap Bahasa Cinta Lewat Masakan
-
Filosofi Bocah dalam Bahasa Jawa: Mangane Kaya Kebo Penggaweane Ora Kecacah
Kolom
-
Budaya Cicil Bahagia: Ketika Gen Z Menaruh Harapan pada PayLater
-
Gubernur Jawa Barat Hapus PR: Solusi Pendidikan atau Tantangan Baru?
-
Bukan Sekadar Hiburan: Membaca Novel Bisa Asah Daya Ingat dan Sehatkan Otak
-
Pertambangan Nikel di Raja Ampat: Kronologi dan Bayangan Jangka Panjang
-
Daster Bukan Simbol Kemalasan: Membaca Ulang Makna Pakaian Perempuan
Terkini
-
Review Film Julie Keeps Quiet: Yang Memilih Nggak Terlalu Banyak Bicara
-
Ulasan Novel Saksi Mata: Kebenaran yang Tak Bisa Dibungkam Oleh Kekuasaan
-
Review Film Tak Ingin Usai di Sini: Saat Cinta Diam-Diam Harus Rela Pergi
-
Review Film Big World dari Sudut Pandang Disabilitas, Apakah Relate?
-
Tampil Kece Seharian dengan 5 Inspirasi Outfit Kasual ala Al Ghazali