Viral antrean panjang ratusan meter terlihat mengular di lantai dasar Pondok Indah Mall (PIM) 1, Jakarta Selatan. Bukan antre sembako, bukan pula karena promo gadget. Ratusan orang rela berdiri berjam-jam demi satu hal: membeli emas di gerai Antam. Fenomena serupa juga terlihat di beberapa kota besar lainnya. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Sekilas, peristiwa ini bisa dianggap sebagai tren musiman. Orang-orang baru mendapat THR, membawa pulang rezeki dari kampung halaman, lalu memilih emas sebagai bentuk investasi.
Tapi kalau dicermati lebih dalam, antrean ini sebetulnya alarm keras bagi pemerintah. Masyarakat sedang panik, dan mereka memilih emas karena tidak tahu harus menaruh harapan ekonomi di mana lagi.
Emas dan Kecemasan Kolektif
Emas dikenal sebagai tempat berlindung saat ekonomi sedang goyah. Ketika rupiah tertekan, inflasi meningkat, dan harga kebutuhan pokok melonjak, emas selalu jadi pilihan klasik. Nilainya dianggap lebih stabil dibandingkan dengan uang tunai atau instrumen lain yang lebih kompleks.
Dalam konteks ini, antrean beli emas bukan sekadar kebiasaan pasca-Lebaran, tapi cerminan dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap kondisi ekonomi nasional. Mereka merasa tidak aman, dan membeli emas menjadi cara paling masuk akal untuk menyelamatkan nilai uang mereka.
Pertanyaannya, tidakkah pemerintah menyadari bahwa gelombang pembelian emas ini justru menandakan keresahan massal?
Masyarakat sebenarnya sudah membaca sinyal-sinyal krisis. Harga bahan pokok naik sebelum dan sesudah Lebaran, nilai tukar rupiah terus tergerus, dan harga BBM fluktuatif. Semua itu membuat rakyat merasa tidak punya pijakan yang aman secara finansial. Maka emas menjadi semacam pelampung terakhir.
Pemerintah: Diam atau Tidak Tahu?
Hal yang ironis, di tengah antrean ini tidak terdengar suara menenangkan dari pemerintah. Tak ada narasi resmi tentang kenapa fenomena ini bisa terjadi, juga tak ada penjelasan terbuka tentang strategi menghadapi inflasi atau langkah konkret menjaga daya beli rakyat.
Padahal fenomena ini jelas menunjukkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem ekonomi formal. Daripada menabung di bank atau membeli obligasi negara, masyarakat lebih memilih menyimpan emas secara fisik. Ini pertanda bahwa sistem keuangan kita tidak cukup memberikan rasa aman.
Apakah Emas Masih Pilihan yang Tepat?
Namun di sisi lain, pertanyaan yang tak kalah penting: apakah membeli emas saat ini merupakan keputusan yang tepat?
Harga emas dunia memang sedang naik. Berdasarkan informasi dari laman resmi Logam Mulia Antam, harga emas Antam per Minggu 6 April 2025 tercatat Rp1.781.000 per gram.
Tapi perlu diingat, membeli emas saat harganya sedang tinggi juga menyimpan risiko. Banyak orang membeli bukan karena pertimbangan investasi yang matang, melainkan karena ikut-ikutan. Ini yang dalam dunia keuangan dikenal sebagai efek ikut arus atau herd behavior.
Jika dalam beberapa bulan ke depan harga emas terkoreksi, banyak dari mereka bisa mengalami kerugian. Apalagi jika emas itu dibeli dengan uang pinjaman atau hasil menjual aset produktif. Bukannya jadi solusi, emas bisa berubah jadi jebakan jika dibeli tanpa rencana yang matang.
Saatnya Edukasi dan Keberpihakan Ekonomi
Fenomena ini seharusnya menyadarkan dua hal. Pertama, pentingnya edukasi finansial yang inklusif. Banyak masyarakat belum paham tentang cara mengelola aset, risiko investasi, atau bahkan mengenal investasi syariah yang lebih stabil dan transparan. Akibatnya, mereka bertindak berdasarkan rasa takut, bukan perencanaan.
Kedua, ini adalah panggilan bagi pemerintah untuk lebih peka terhadap psikologi ekonomi masyarakat. Antrean beli emas bukan sekadar urusan konsumtif, tapi refleksi dari sistem ekonomi yang gagal menciptakan rasa aman.
Jika ini terus dibiarkan, bukan tak mungkin akan muncul krisis kepercayaan yang lebih besar. Bukan hanya terhadap pasar, tapi juga terhadap negara.
Lebaran seharusnya menjadi momen kembali tenang, kembali optimis. Tapi kali ini, yang terjadi justru sebaliknya. Masyarakat ramai-ramai membeli emas sebagai bentuk pelarian dari situasi ekonomi yang mereka anggap tidak pasti.
Pertanyaannya sekarang, apakah pemerintah akan terus menonton rakyat mengular di gerai emas, atau mulai mendengar sinyal bahwa ada yang tidak beres dalam sistem ekonomi kita?
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Tiket Whoosh Laris Manis, Pemudik Balik ke Jakarta Membludak di Jam-jam Ini
-
SIG Gelontorkan Ribuan Bantuan Selama Ramadan Hingga Lebaran
-
Harga BBM Terbaru Pertamina, Shell, BP dan Vivo Usai Libur Panjang Lebaran
-
Menaksir Harga Kaos Selvi Ananda saat Libur Lebaran di Singapura, Ternyata Gak Main-Main!
-
One Way Arus Balik Lebaran Berlaku Dari Gerbang Tol Kalingkangkung Sampai Gerbang Tol Cikampek
Kolom
-
Polri Menuju Lembaga Super Kuat? Ancaman di Balik Revisi UU Polri
-
Judi Online, Lebaran, dan Daya Beli yang Tergerus: Tanggung Jawab Siapa?
-
Warisan Politik Bapak Pendidikan Indonesia dalam Menjawab Tantangan Zaman
-
Ada Wacana Wamenaker Ingin Hapuskan Batas Usia pada Lowongan Kerja, Setuju?
-
Surat Ki Hadjar Dewantara untuk Generasi Z: Jangan Jadi Penonton Perubahan
Terkini
-
Review Film Setetes Embun Cinta Niyala: Perjalanan Cinta yang Menyentuh Hati
-
7 Rekomendasi Drama Korea Populer yang Diadaptasi dari Manga Jepang
-
Dibintangi Jeon Yeo Been, Drama Nice Woman Boo Se Mi Umumkan Para Pemeran
-
5 Rekomendasi Drama Korea Baru Tayang April 2025, Ada Resident Playbook
-
Sinopsis Test, Film India Terbaru Nayanthara dan R Madhavan di Netflix