Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Ilustrasi PHK (Pixabay/lukasbieri)

Di dunia kerja, mogok kerja sering menjadi senjata terakhir bagi pekerja untuk menyuarakan ketidakpuasan terhadap kebijakan perusahaan. Namun, apa jadinya jika aksi tersebut justru berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) massal?

Kasus terbaru yang sempat mencuat pada Maret 2025 memperkuat fenomena ini. Di Kabupaten Cirebon, lebih dari seribu pekerja PT Yihong Novatex Indonesia di-PHK usai melakukan aksi solidaritas terhadap tiga rekan mereka yang sebelumnya diberhentikan.

Mogok kerja berlangsung selama empat hari. Perusahaan mengaku merugi miliaran rupiah. Namun bagi para pekerja, keputusan PHK massal itu seperti tamparan keras—seolah-olah perjuangan mereka sama sekali tidak dianggap, malah dihukum.

Hal yang terjadi di Cirebon bukan kasus pertama, dan tampaknya bukan yang terakhir. Beberapa serikat buruh mencatat bahwa “PHK karena menuntut hak” meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

Padahal, Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 dan UU Cipta Kerja seharusnya menjadi payung hukum yang menjamin perlindungan terhadap pekerja, termasuk ketika mereka mengajukan keberatan atau protes.

Ini adalah bentuk protes sah yang dilakukan ketika jalur komunikasi antara pekerja dan manajemen menemui jalan buntu. Sayangnya, di lapangan, mogok kerja sering kali menjadi pedang bermata dua.

Dalam kasus PT Yihong Novatex Indonesia, aksi mogok yang dilakukan secara massal oleh lebih dari seribu karyawan ternyata berdampak jauh lebih besar dari yang dibayangkan.

Aksi ini bukan hanya menghentikan aktivitas produksi, tetapi juga memicu pembatalan pesanan dari mitra bisnis. Klien yang semula bekerja sama dengan perusahaan pun memilih mundur karena khawatir terhadap ketidakstabilan produksi.

Akibat dari kekacauan ini, manajemen PT Yihong mengambil keputusan ekstrem: menutup operasional perusahaan dan melakukan PHK massal.

Sebanyak lebih dari 1.100 pekerja kehilangan pekerjaan, bukan hanya karena mogok, tapi karena efek domino dari gangguan operasional perusahaan. Di sinilah letak dilemanya—pekerja memperjuangkan hak, tetapi hasil akhirnya justru kehilangan segalanya.

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun undang-undang melindungi hak mogok, realitasnya sering tidak seideal yang tertulis. Perusahaan kerap menggunakan alasan “kerugian bisnis” untuk melegitimasi pemecatan, dan pekerja yang sudah berani bersuara justru menjadi korban sistem yang seharusnya melindungi mereka.

Terungkaplah alasan kenapa banyak pekerja memilih diam, bahkan ketika kondisi kerja mereka tidak manusiawi. Rasa takut kehilangan pekerjaan, ditandai atau di-blacklist, hingga sulit mendapatkan pekerjaan baru membuat suara-suara pekerja terpendam. Padahal, keberanian untuk bicara seharusnya menjadi pintu perubahan.

Untuk itu, sangat penting bagi semua pihak—baik pekerja maupun manajemen—untuk mulai membangun komunikasi yang lebih sehat dan terbuka.

Langkah awal bisa dimulai dengan membuka ruang dialog internal secara rutin. Selain itu, mediasi oleh pihak ketiga, seperti Dinas Tenaga Kerja, juga bisa menjadi jembatan yang menengahi ketegangan.

Namun, hari ini masih banyak perusahaan yang belum sampai ke titik itu. Mereka lebih cepat mengeluarkan surat PHK daripada membuka forum diskusi. Mereka lebih takut rugi dalam angka, ketimbang kehilangan rasa hormat dari para pekerja yang setiap harinya menghidupkan bisnis mereka.

Lebih jauh, negara seharusnya juga hadir dalam memberikan perlindungan bagi pekerja yang menggunakan hak mogoknya secara sah. Perlu ada penegakan hukum yang tegas terhadap perusahaan yang menggunakan PHK sebagai “hukuman diam-diam” bagi buruh yang menyuarakan tuntutan.

Sayangnya, banyak kasus menunjukkan bahwa pemerintah baru turun tangan ketika masalah sudah memanas dan media mulai memberitakan.

Ketika ribuan orang sudah turun ke jalan, barulah perhatian datang. Tapi itu pun tak selalu berakhir dengan solusi. Proses mediasi berjalan lambat, dan hasilnya sering kali tidak membawa keadilan.

Jika kamu adalah pekerja yang merasa tertekan di tempat kerja, ingatlah bahwa hakmu untuk didengar itu nyata. Tapi ya, kita juga tak bisa menutup mata bahwa keberanian di dunia kerja hari ini sering kali datang dengan risiko. Pertanyaannya: sampai kapan suara kita dianggap ancaman?

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Fauzah Hs