Dalam era yang serba digital dan pesatnya kemajuan teknologi, hingga kehadiran Artificial Inteligent atau AI seperti saat ini, maka mudah bagi kita mengakses berbagai informasi dari belahan dunia. Tak tanggung-tanggung, kita tak lagi dibatasi oleh jarak ataupun waktu, betulan transparan. Seakan benarlah stigma dunia ada dalam genggaman kita.
Kalau dulu, mengirim surat membutuhkan waktu berhari-hari, tapi sekarang hanya dalam hitungan detik pesan kita tersampaikan. Nggak hanya chat tulisan, kita juga bisa melakukan pesan suara hingga video call. Pokoknya canggih.
Sayangnya, di era ini justru banyak sekali kita dapati hoaks, maupun kasus kriminalitas yang menggunakan AI. Entah penipuan, atau manipulasi. Bahkan yang paling parah, ada kasus penyalahgunaan foto dengan deepfake yang merugikan sang pemilik foto.
Di saat demikian, kejujuran seolah menjelma harta karun tersembunyi. Dia tersimpan rapi dalam jiwa-jiwa pemangku generasi, tetapi kini keberadaannya bagaikan ilusi. Memikirkannya saja, seolah saya terseret ke dalam komik-komik dan manhwa-manhwa kerajaan yang mengusung konsep integritas, loyalitas, dan kejujuran.
Kok kayaknya kejujuran jadi selangka gas elpiji melon ya?
Konon katanya, kejujuran adalah mata uang yang berlaku dimanapun, begitulah sebaris kata motivasi yang saya temui dari suatu buku lama. Namun, begitu menghadapi dunia kerja, rupanya kejujuran seolah tersembunyi, seperti sudah mati. Saya pikir, meski kejujuran masih dipegang teguh oleh sebagian orang, tetapi tidak bagi yang lain.
Padahal, lewat pemaparan laman Mindful Health Solutions, kejujuran memiliki banyak manfaat seperti:
- Terbangunnya rasa percaya baik untuk diri sendiri maupun orang lain,
- Dengan kejujuran kita pun bisa yakin pada diri sendiri,
- Mampu membangun kehidupan yang autentik dan memuaskan, hingga
- Mengenali diri dan mendeteksi perilaku negatif yang menghambat pertumbuhan diri.
Namun, kembali lagi ke sistem dan tatanan masyarakat yang seakan putus asa dengan kejujuran itu sendiri. Kadangkala, seseorang yang memegang teguh kejujuran, dia pun bisa jatuh dalam kebohongan yang meruntuhkan pendiriannya. Lantas, dia mengikuti sistem dengan terpaksa, yang justru merusak jiwanya. Ini real ya.
Dalam literatur Bahasa Jawa pun, kejujuran eksis dalam wujud Blaka Suta dan masuk dalam kategori Tembung Saroja atau kata yang maksudnya dijelaskan secara gamblang. Kalau versi Bahasa Indonesia bisa seperti:
- Hancur lebur,
- Segar bugar,
- Tingkah laku, maupun
- Tata cara.
Yah, something like that. Nah, pertanyaanya, masih worth it kah blaka suta alias kejujuran dalam kehidupan sehari-hari?
Jawaban saya, ya. Masih amat sangat worth it!
Selalu ada rasa tenang dan tidak gentar ketika kita mengamalkan kejujuran itu dalam daily lifestyle. Nggak akan ada rasa was-was, dan tentunya menciptakan kepuasan personal sebagaimana dihimpun dari Mindful Health Solutions.
Sedangkan bagi trah Jawa seperti saya, ada banyak pepatah-pepatah yang dipegang teguh bahkan diguratkan dengan begitu rapi dalam buku Pepak Basa Jawa sebagai berikut ini:
1. Becik ketitik ala ketara
- Yang baik/benar dan buruk/salah akan terlihat
2. Sapa sing salah, bakal seleh
- Siapa yang salah pasti akan kalah
3. Sadhumuk bathuk sanyari bumi
- Membela kebenaran hingga akhir hayat
Hal-hal itulah yang mendorong lakon Blaka Suta terus digaungkan. Lebih daripada kepuasan personal untuk masa sekarang, melainkan penantian akan hukum tabur tuai demi membentuk generasi yang lebih baik dan berakhlak. Sebab, hukum tabur tuai kadang terjadi lintas generasi ya, maka ada baiknya untuk selalu jujur.
Bukan hanya sebagai bentuk ajaran agama maupun memenuhi norma sosial dan kemanusiaan, melainkan wujud pribadi yang menghargai sesama janma atau orang lain dalam Wangsa Manungsa. Kejujuran sendiri pun merupakan contoh kebajikan yang tak akan lekang oleh zaman.
Di samping itu, kejujuran juga bisa menjadi harta berharga tak berwujud benda yang bisa kita wariskan kepada generasi seterusnya, sebagai ‘pusaka’ warisan yang akan terus turun temurun. So, menurutmu gimana?
Baca Juga
-
Ulasan Novel Rumah di Seribu Ombak: Nggak Cuma Kesetiaan, Tapi Ketimpangan
-
Review Manhwa No Outtakes: Isekai Haru yang Konsepnya Mirip Film Narnia
-
Ulasan Novel Karung Nyawa: Nggak Hanya Klenik Semata, Tapi Full Kekecewaan!
-
Ulasan Novel Rumah Lentera: Teenlit Yang Nggak Cuma Omong Kosong Remaja
-
Moringa Oleifera: Suara Alam dalam Intrik Mistik dan Gema Reboisasi
Artikel Terkait
Kolom
-
Pendidikan di Era Global: Belajar dari Dunia, tapi Tetap Jadi Diri Sendiri
-
Digital Detox: Cara Sehat Menjaga Keseimbangan Hidup di Era Online
-
Remaja, Mental Health, dan Agama: Saat Dunia Bising, Iman Tempat Kembali
-
Misteri Kematian Yu Menglong dan Bayang-Bayang Seram Museum 798 Tiongkok
-
Pacaran: Topik yang Tak Pernah Lolos di Ruang Tamu
Terkini
-
Gaya Macho ala Bae Nara: Sontek 4 Ide Clean OOTD yang Simpel Ini!
-
Empat Tokoh Mengkaji Oase Gelap Terang Indonesia di Reuni FAA PPMI
-
Bukan Kaleng-Kaleng! 5 Laptop 7-10 Jutaan Paling Worth It Tahun Ini
-
Scarlett Johansson Buka Suara Soal Rumor Perannya di Tangled Live-Action
-
BRI Liga 1: Nermin Haljeta Harap PSIM Yogyakarta Bisa Jaga Tren Positif