Barangkali, kamu sudah nggak asing dengan salah satu maestro campursari yakni Didik Prasetyo atau yang lebih dikenal sebagai Didi Kempot.
Bukan hanya dikenal sebagai musisi seputar patah hati atau ambyar saja, Didi Kempot rupanya juga kerap menciptakan karya yang memuat beragam kisah dan tempat, latar belakang zaman, beberapa fakta, hingga sindiran bahkan harapan di setiap elemen syairnya. Contohnya saja seperti lagu berjudul Kuncung.
Secara harfiah, kuncung sendiri merupakan gaya rambut botak yang hanya menyisakan sedikit rambut di satu titik saja. Selain terdengar lucu dan nyeleneh, lagu ini juga dibarengi dengan ritme rancak atau cukup bersemangat dan juga pemilihan diksi yang mudah dipahami. Nggak seperti Manthous yang kerap menyisipkan bahasa Rinengga alias sastra Jawa lama, Didi Kempot cenderung menggunakan bahasa sehari-hari.
Lewat langgam Kuncung, dengan gamblang Didi Kempot menuturkan kondisi sederhana bahkan nyerempet kekurangan sejak lirik pertama lagu ini. Fokusnya pada kondisi sandang dan pangan ya. Di mana, dikisahkan makanan yang tersaji adalah nasi jagung dengan lauk sambal bawang yang kerap disebut sambal korek. Fyi, sambal jenis ini umumnya dibuat dari bawang putih, cabai, dan garam saja. Benar-benar sederhana.
Selain kondisi pangan yang serba kekurangan, kondisi sandang pun tak jauh beda. Dalam lagu Kuncung pun dimuat bahwa katok atau celana yang terbuat dari karung gandum alias karung goni. Yah, bayangkan saja deh gimana kondisi jaman itu ketika pakaian terbuat hanya dari karung goni.
Namun, meski menyajikan keadaan kekurangan, Didi Kempot juga tak sungkan membagikan momen menyenangkan ala bocah jaman old soal permainan. Tidak seperti bocah jaman sekarang yang apa-apa beli mainan hingga kecanduan gadget, pada masa itu mereka sangat kreatif dengan membuat mainan dari tanah lempung atau tanah liat.
Sepengalaman saya, membikin mainan miniatur dari tanah liat itu seru sekaligus menantang. Kita bisa membuat beragam bentuk baik miniatur motor, hingga robot, dengan memperhitungkan tingkat kelembaban sehingga bila sudah dibakar nanti, hasilnya tidak gampang pecah. Prosesnya mirip dengan membuat gerabah atau keramik sih.
Kemudian, Didi Kempot juga nggak gengsi menunjukkan situasi mandi di sungai, dengan menggunakan batu gosok tanpa sabun. Yah, sebab pabrik sabun belum dibangun, begitu yang tertangkap dalam lirik. Namun, hal inilah yang pasti selalu dirindukan oleh generasi lampau, sebagaimana mengingat kenangan manis bersama kawan-kawannya.
Selain itu, Didi Kempot juga menyisipkan unen-unen atau peribahasa Jawa yakni Holopis Kuntul Baris. Frasa ini mengandung filosofi sekumpulan burung kuntul atau bangau yang membentuk formasi meruncing sebagai simbol kebersamaan dan gotong royong demi mencapai suatu tujuan sebagaimana menyadur dari laman resmi UGM.
Dimana, gotong royong telah mengakar kuat pada budaya Nusantara, dan terus dilestarikan hingga sekarang dengan berbagai cara. Entah versi rewang, saya, sambatan, maupun gugurgunung. Intinya, kebersamaan itu tetap berlanjut demi mencapai tujuan.
Kemudian, lirik gegere gek ndang uwes yang bermakna huru-haranya segeralah berakhir ini agak ambigu menurut saya. Sebab, tidak dijelaskan secara spesifik mengenai maknanya. Bahkan tidak saya tidak menemukan clue-nya.
Namun bisa jadi maknanya adalah keadaan serba kekurangan ini segeralah berakhir, atau situasi huru-hara ini segeralah berakhir yang mengacu pada ketegangan politik kala itu. Sebab, pada masa lampau kan memang penuh huru-hara dalam berbagai lapisan, baik masyarakat maupun politik, huhu. Saya sendiri kurang mengerti huru-hara bagian apa sih, tapi kalau kata seseorang yang besar di era 80-90an, zaman itu memang nggak seenak zaman sekarang, dalam beberapa sudut pandang dan eksekusinya.
Meski begitu, di akhir lagu kita akan disuguhi lirik yang memuat 20 Aksara Jawa yang sayangnya kini mulai tergerus kecepatan zaman dan pesatnya teknologi. So, menurutmu gimana?
Baca Juga
-
Ulasan Novel Rumah di Seribu Ombak: Nggak Cuma Kesetiaan, Tapi Ketimpangan
-
Review Manhwa No Outtakes: Isekai Haru yang Konsepnya Mirip Film Narnia
-
Ulasan Novel Karung Nyawa: Nggak Hanya Klenik Semata, Tapi Full Kekecewaan!
-
Ulasan Novel Rumah Lentera: Teenlit Yang Nggak Cuma Omong Kosong Remaja
-
Moringa Oleifera: Suara Alam dalam Intrik Mistik dan Gema Reboisasi
Artikel Terkait
-
Andhe-andhe Lumut: Langgam Tentang Loyalitas, Kejujuran, dan Self Confident
-
Penalaran Kata 'Mundhut': Sama-sama Predikat Kalimat, tapi Dilarang Ambigu!
-
Kencan Sederhana Ariel Tatum dan Daffa Wardhana Tuai Pujian: Naik Vespa Jadul, Petik Bunga Tetangga
-
Struktur 'Sawang' dalam Daily Conversation, Kata Kerja atau Kata Benda Sih?
-
15 Kata-kata Ucapan Sungkem Lebaran Bahasa Jawa Halus ke Orang Tua, Auto Bikin Haru!
Ulasan
-
Novel Dia yang Lebih Pantas Menjagamu: Belajar Menjaga Hati dan Batasan
-
Review Series House of Guinness: Skandal dan Sejarah yang Sayang Dilewatkan
-
Mengenal Eksotika Jabal Magnet: Barisan Bukit Memukau di Dekat Kota Madinah
-
Novel Luka Perempuan Asap: Cerita tentang Perempuan dan Alam yang Tersakiti
-
Makna Perjuangan dan Cinta di Balik Novel Lotus In The Mud
Terkini
-
Piala Dunia U-17: Statistik Pembuka Grup H, Timnas Indonesia Berpotensi Jadi Tim Kuda Hitam
-
Etika Komunikasi di Media Sosial: Bijak Sebelum Klik!
-
Guru, Teladan Sejati Pembentuk Karakter Anak Sekolah Dasar
-
Gaya Macho ala Bae Nara: Sontek 4 Ide Clean OOTD yang Simpel Ini!
-
Empat Tokoh Mengkaji Oase Gelap Terang Indonesia di Reuni FAA PPMI