Kukus gantung, dak sawang kok sajak bingung?
Barusan tadi merupakan sebuah wangsalan atau tebak-tebakan dalam Bahasa Jawa yang mampu berdiri sendiri sebagai suatu majas atau slang keseharian. Kalimat tersebut terukir cantik dalam buku Pepak Basa Jawa, yang membuat saya tertarik untuk mengulasnya.
Dalam dialektika Wangsalan, Kukus Gantung sendiri memiliki makna Sawang, yakni sarang laba-laba. Sedangkan kata Sawang sendiri rupanya memiliki beragam arti dan kata ganti yang dijamin jelimet tetapi mewujudkan kekayaan Bahasa Jawa.
A. Bermakna sarang laba-laba
Kata Sawang bisa bermakna sarang laba-laba ditunjang dengan kalimat yang nyambung dan nggak ambigu ya. Umumnya melibatkan latar tempat atau lokasi tertentu, maupun objek yang berkaitan dengan si famili Arachnaida alias laba-laba itu sendiri. Contohnya bisa seperti:
- Gudange sawangen amarga wis suwi ora diresiki (Gudangnya penuh sarang laba-laba karena sudah lama tidak dibersihkan),
- Omahe kalamangga jenenge sawang (Rumah/sarangnya kalamangga/laba-laba besar namanya Sawang).
B. Bermakna melihat
Kata Sawang disini merupakan kata asal/kata dasar dan berarti Lihat. Sedangkan pemakaiannya dalam kalimat keseharian umumnya mendapat berbagai imbuhan, bahkan nggak jarang memiliki kata ganti yang sama-sama kata asal atau kata dasar. Berikut beberapa pembagiannya:
1. Sawang
- Sawangen pemandangane apik, sawahe ijo royo-royo (Lihatlah pemandangannya bagus, sawahnya tampak menghijau),
- Ora nyawang ana kalamangga to? (Nggak lihat ada kalamangga/laba-laba besar kah?),
- Disawang-sawang, kowe kuru ya? (Dilihat-lihat, kamu kurusan ya?),
- Urip kuwi mung sawang sinawang (Hidup itu hanyalah saling lihat melihat. Bisa juga memakai peribahasa rumput tetangga lebih hijau),
- Sawangane mrengut wae (Kelihatannya cemberut terus).
2. Deleng
Artinya adalah Lihat, dan masuk dalam linguistik Bahasa Ngoko. Ini juga umum digunakan sebagai pengganti kata Sawang dengan beragam imbuhan. Contohnya bisa seperti:
- Ayo ndeleng wayang! (Ayo lihat/nonton wayang),
- Delengen to! (Coba lihat!).
3. Ulati
Sejujurnya, kata ini cukup jarang saya dengar dan pakai. Tetapi, di beberapa daerah kata ini masih lazim digunakan bahkan nggak jarang dipakai untuk keperluan kesusastraan Jawa. Contohnya bisa seperti:
- Tak ulati, isih kaya wingi uni (Kulihat, masih seperti kemarin) Penggalan lirik Langit Mendhung Kutho Ngawi - Dhalang Poer,
- Mulat mangandhap katingal, wanodya yu kuru aking (Melihat kebawah dan tampaklah, wanita cantik yang kurus kering) Cuplikan larik tembang Kinanthi,
- Ulatana, ora suwe dheweke ngguling (Lihatlah saja, nggak lama dia terguling/jatuh. Meski ada konotasi negatifnya).
4. Ningali
Artinya adalah Melihat, dan masuk dalam linguistik Bahasa Krama Madya atau tengahan. Contohnya bisa seperti:
- Mbak Ayu ningali jaranan karo Mbak Fahmi (Mbak Ayu melihat/menonton jaranan sama Mbak Fahmi),
- Tingalana kana lho, sapa ngerti tokone wes buka (Lihatlah dulu sana, siapa tahu tokonya sudah buka),
- Ditingali sik, sapa ngerti kleru alamate (Dilihat dulu, siapa tahu salah alamatnya).
5. Mriksani
Nah, kalau ini masuk dalam tingkatan linguistik Bahasa Krama Inggil, alias tingkatan bahasa yang paling sopan. Penggunaannya pun mengindikasikan penghormatan kepada orang yang lebih tua. Contohnya bisa seperti:
- Pak Guru mriksani PR lare-lare (Pak Guru melihat/memeriksa PR anak-anak),
- Formuliripun enggal dipriksani piyambak-piyambak (Formulirnya segera diperiksa sendiri-sendiri).
Meskipun sebetulnya ada beberapa kata ganti lagi seperti ndulu, weruh, sumerep, uninga, dan sebagainya, tetapi kadang adanya perbedaan daerah, perbedaan dialek, hingga perbedaan generasi pun, pemakaiannya juga berbeda.
Seperti dialek keseharian generasi saya, hanya beberapa kata seperti sawang, ndeleng, ndelok, ningali, dan mriksani yang masih saya temui dan gunakan. Walau ada beberapa variasi kata seperti nonton dan nontok yang konon masih ada campuran dialek Surabaya. Sedangkan pada generasi orang tua saya, mereka masih menggunakan istilah ulati.
Namun, meski ada beragam istilah, kalau diikuti dengan kalimat yang menunjang maksud yang hendak diutarakan, lawan bicara bisa ngerti kok.
So, menurutnu gimana?
Baca Juga
-
Moringa Oleifera: Suara Alam dalam Intrik Mistik dan Gema Reboisasi
-
Mengompos: Healing Buat Manusia Yang Patah Hati, Healing Buat Bumi
-
Bancakan Pitulasan: Tradisi Unik Ramaikan HUT RI yang Menyatukan Perbedaan
-
Ulasan Novel Lewat Tengah Malam: Teror dan Misteri dari dalam Kulkas Bekas
-
Luka dan Tangis Pengampunan dalam Cerpen Mengarungi Samudra Kehidupan
Artikel Terkait
-
Lebaran Lebih Berkesan: 5 Ucapan Idul Fitri Bahasa Jawa Menyentuh Hati
-
Menyimak 'Sepuh': Nggak Hanya Sapaan, Tapi Ada Filosofinya!
-
Kawruh Pepak Basa Jawa: Buku Sakti Mandraguna Sebelum Internet Merajalela
-
Ruwet Tur Peteng, Filosofi Perut dalam Bahasa Jawa yang Kocak Abis!
-
Beratnya Jadi Guru: Harus Bisa Digugu Lan Ditiru, Juga Yoga Anyangga Yogi
Lifestyle
-
Nabung Itu Wacana, Checkout Itu Realita: Melihat Masalah Nasional Gen Z
-
Lettu Fardhana Move On Kilat! Ayu Ting Ting Santai Revisi Kriteria Suami?
-
Playlist Jadi Vitamin Mental: Musik Sebagai Mood Booster Anak Muda
-
Sore: Istri dari Masa Depan Jadi Film Indonesia ke-27 yang Dikirim ke Oscar, Masuk Nominasi Gak Ya?
-
4 Sheet Mask Kandungan Pearl yang Ampuh Berikan Efek Cerah dan Lembap
Terkini
-
Lebih dari Sekadar Keponakan Prabowo, Ini Profil Rahayu Saraswati yang Mundur dari DPR
-
Bukan Sekadar Coretan, Inilah Alasan Poster Demo Gen Z Begitu Estetik dan Berpengaruh
-
Bukan Cuma Anak Menkeu, Ini Sumber Kekayaan Yudo Sadewa yang Dihujat Netizen
-
Studi Banding Hemat Ala Konten Kreator: Wawancara DPR Jepang Bongkar Budaya Mundur Pejabat
-
Budaya Trial and Error dalam Kabinet Indonesia