Waktu dengar kabar Film Tale of the Land menang sebagai Most Original Film Award di Asian Film Festival 2025 yang digelar di Italia, rasanya kayak bangun pagi-pagi dan dikasih hadiah. Nggak banyak film fantasi Indonesia yang bisa menembus pasar internasional, apalagi sampai menang penghargaan. Namun, film garapan Loeloe Hendra ini sukses mencatatkan namanya di daftar film Indonesia yang dielu-elukan di luar negeri.
Padahal, kalau boleh jujur, film buatan Indonesia bergenre fantasi itu bukan sesuatu yang sering muncul di layar lebar. Film Indonesia masih nyaman di zona drama, horor, dan komedi, yang memang laris secara pasar.
Namun, Film Tale of the Land datang membawa angin segar, yang seperti tengah mengingatkan, bahwa kita punya banyak mitos, legenda, dan lanskap magis yang bisa diangkat jadi kisah luar biasa. Dan Loeloe Hendra, sebagai sutradara sekaligus penulis, berhasil menjahit semua itu dalam film ini.
Sayangnya, film yang diproduksi sama Kawan-Kawan Media, hingga saat ini belum jelas, apakah juga akan tayang di bioskop atau justru hanya beredar di jalur festival dan distribusi terbatas.
Sebagai penonton sekaligus pengamat, aku senang banget melihat film seperti ini diapresiasi di festival internasional. Namun, di sisi lain, muncul juga satu pertanyaan klasik, “Kenapa film Indonesia seringnya harus menang di luar dulu, baru dilirik di dalam negeri?”
Aku ingat, ini bukan pertama kalinya kejadian seperti ini muncul. Film-film seperti Film Turah, Film Ziarah, atau bahkan Film Yuni, sebelumnya juga mengalami hal serupa. Dapat pujian dan penghargaan di luar, tapi ketika dibawa pulang, distribusinya terbatas, dan kadang malah nggak sempat tayang luas di bioskop. Bukan karena filmnya jelek, tapi karena sistem distribusi kita yang belum sepenuhnya ramah sama film non-mainstream.
Apalagi kalau filmnya nggak punya backing besar dari rumah produksi raksasa atau jaringan bioskop, termasuk dengan keterbatasan promosi. Penontonnya jadi terbatas, dan akhirnya, film sebagus apa pun bisa tenggelam begitu saja. Aku jadi mikir, seandainya Film Tale of the Land ini buatan studio besar, mungkin sekarang sudah ada posternya di setiap mall, teaser-nya wara-wiri di Instagram, dan trailernya diputar di bioskop sebelum nonton film-film Marvel terbaru.
Meski begitu, Film Tale of the Land sudah menunjukkan satu hal penting, bahwa film Indonesia bisa punya tempat di panggung dunia. Cerita kita, budaya kita, imajinasi kita, semuanya punya potensi buat menyentuh hati penonton dari berbagai belahan dunia. Dan menurutku, tinggal menunggu waktu saja sampai akhirnya kita sendiri, sebagai penonton lokal, benar-benar percaya dan memberi ruang buat film-film seperti ini berkembang.
Sekarang, aku cuma bisa berharap semoga Film Tale of the Land bisa segera dirilis untuk publik Indonesia. Entah itu lewat bioskop, festival lokal, atau platform digital. Karena film seperti ini bukan cuma layak ditonton, tapi juga perlu jadi bahan obrolan dan kebanggaan.
Dan sambil menunggu filmnya tayang, kita bisa kepoin dulu proyek terbaru Loeloe Hendra lainnya. Salah satunya: Film Sah Katanya dengan genre komedi yang akan tayang di bioskop mulai 24 April 2025. Siapa tahu dari situ, penonton lokal makin penasaran dan akhirnya menyambut karya-karyanya yang lebih "liar" dan eksperimental dengan antusias yang sama.
Sobat Yoursay tercinta, sampai di sini sudah paham, kan? Iya, betul sekali, film genre fantasi asal Indonesia tuh sudah selangkah lebih maju di luar negeri. Sekarang, waktunya kita di dalam negeri ikut melangkah, lalu membuka hati dan layar, untuk film-film yang berani berbeda.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Review Serial Daredevil Born Again: Aksi Epik Melawan Penjahat dan Sistem
-
Review Film Santosh: Melihat Borok Institusi Lewat Mata Sosok Polisi
-
Petualangan Magis di Dunia Roh dalam Film Spirited Away
-
Review Film Rumah Untuk Alie: Bukan Rumah tapi Neraka!
-
Pengepungan di Bukit Duri: Bukan Film Biasa, Tapi Tamparan dan Peringatan
Artikel Terkait
-
Fatih Unru Bicara Soal Privilege Jadi Anak Yayu Unru
-
Mengharu Biru, Film Jepang '1st Kiss': Antara Balada Cinta dan Penyesalan
-
Masih Tayang, Jumbo Salip Film Vina dengan 6 Juta Penonton di Bioskop
-
Fakta-Fakta dan Sinopsis Film Godaan Setan yang Terkutuk
-
Bakal Tayang Juni 2025, Kisah Asmara Anies Baswedan Difilmkan
Kolom
-
Narasi Angkringan di Yogyakarta yang Tenggelam oleh Kultur Cafe
-
In Memoriam Paus Fransiskus: Membawa Agama yang Ekologis dan Penuh Kasih
-
Politika Sekolah: Warisan Ki Hadjar Dewantara dalam Transformasi Pendidikan
-
Taman Siswa Menggugat Daendels
-
Skor Literasi Indonesia Jeblok: Generasi Jago Konten tapi "Alergi" Membaca
Terkini
-
Bertajuk Lucid, Chenle NCT Akan Merilis Album Solo Spesial Pada Bulan Mei
-
PS Barito Putera Merana, Persis Solo Sukses Unjuk Gigi di Banjarbaru
-
Rayakan Debut 10 Tahun, SEVENTEEN Bersiap Rilis Album Bertajuk Happy Burstday
-
Selain Kevin Diks, 3 Pemain Ini Berpeluang Absen saat Timnas Lawan China
-
Menyelami Rasa Sedih dan Lega Secara Bersamaan dalam Novel Eleanor