Istilah "merdeka" telah menjadi bagian integral dari identitas Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), merdeka mencakup kebebasan dari perhambaan atau penjajahan, pembebasan dari tuntutan, dan kemandirian dari ketergantungan pada pihak lain.
Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 menandai tonggak sejarah ketika bangsa Indonesia terbebas dari cengkeraman kolonialisme. Namun, makna merdeka tidak hanya terbatas pada konteks nasional. Ki Hadjar Dewantara, yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional, memperluas konsep ini melalui visinya tentang "manusia merdeka"—individu yang mandiri, utuh secara lahir dan batin, serta mampu menghormati kemanusiaan orang lain.
Sayangnya, visi pendidikan Ki Hadjar ini sering kali hanya dipahami secara dangkal, bahkan terlupakan di tengah sistem pendidikan modern yang cenderung mengutamakan prestasi akademik dan kebutuhan pasar kerja.
Ki Hadjar Dewantara: Pelopor Pendidikan Berbasis Kemerdekaan
Ki Hadjar Dewantara, yang lahir dengan nama Suwardi Suryaningrat pada 1889, adalah tokoh sentral dalam sejarah pendidikan Indonesia. Ia mendirikan Perguruan Taman Siswa pada 1922 sebagai wadah pendidikan yang berpusat pada kebudayaan nasional dan kemandirian. Pemikirannya tidak hanya bertujuan mencetak individu cerdas secara intelektual, tetapi juga membentuk karakter mulia dan jiwa merdeka.
Semboyan Tut Wuri Handayani—yang berarti "di belakang memberi dorongan"—mencerminkan peran pendidik sebagai pembimbing yang memberikan kebebasan sekaligus arahan kepada peserta didik.
Menurut Widyawati, perwakilan keluarga besar Ki Hadjar, pendidikan menurut Ki Hadjar adalah proses dinamis yang terus berkembang. Dalam diskusi daring bertajuk “Rekonstruksi Pemikiran Ki Hajar Dewantara untuk Pendidikan Nasional” pada 17 April 2022, ia menjelaskan bahwa Ki Hadjar memperkenalkan tiga asas pendidikan: kontinu (berkelanjutan), konvergen (menyesuaikan dengan kebutuhan lokal), dan konsentris (berpusat pada kebudayaan bangsa).
Asas-asas ini diadaptasi dari pemikiran pendidik dunia seperti Maria Montessori, Friedrich Froebel, dan Rabindranath Tagore, yang disesuaikan dengan konteks budaya Indonesia. Pendekatan ini menunjukkan bahwa Ki Hadjar memiliki visi global sekaligus komitmen kuat terhadap identitas nasional.
Melansir Yayasan Taman Siswa, organisasi non-profit yang melanjutkan warisan Ki Hadjar, hingga 2023, lebih dari 100 sekolah Taman Siswa di Indonesia masih menerapkan prinsip among, yang menekankan pendidikan tanpa paksaan dan penghormatan terhadap potensi individu. Namun, yayasan ini juga mencatat bahwa standarisasi kurikulum nasional dan globalisasi sering kali menghambat penerapan penuh visi Ki Hadjar, terutama di daerah perkotaan.
Konsep Manusia Merdeka
Inti dari pemikiran Ki Hadjar adalah menciptakan manusia merdeka, yaitu individu yang berkembang secara holistik—meliputi aspek spiritual (pekerti), intelektual (akal), dan fisik (jasmani)—serta mampu hidup mandiri tanpa bergantung pada orang lain. Dalam pandangannya, kemerdekaan bukanlah kebebasan tanpa batas, melainkan kemampuan untuk mengatur kehidupan sesuai dengan nilai-nilai masyarakat dan aturan yang berlaku.
Mengutip Dela Khoirul Ainia, manusia merdeka adalah mereka yang diberi kebebasan oleh Tuhan untuk mengelola hidupnya, namun tetap selaras dengan norma sosial.
Konsep ini diwujudkan melalui sistem among di Taman Siswa, yang menolak hukuman dan paksaan dalam pembelajaran. Ki Hadjar percaya bahwa pendekatan otoriter dapat mematikan jiwa merdeka dan kreativitas anak.
Sebaliknya, pendidikan harus memberikan ruang bagi peserta didik untuk mengembangkan potensi mereka melalui bimbingan yang berfokus pada karakter, kecerdasan, dan keterampilan praktis. Melansir Direktorat Sekolah Menengah Pertama (SMP) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, asas kemerdekaan dalam pendidikan Ki Hadjar menekankan keseimbangan antara kebebasan individu dan tanggung jawab sosial, sebuah prinsip yang kini menjadi landasan program Merdeka Belajar.
Pendekatan dengan Merdeka Belajar
Program Merdeka Belajar, yang diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada 2019, mengklaim berakar pada pemikiran Ki Hadjar. Salah satu wujudnya adalah penggantian Ujian Nasional dengan Asesmen Nasional pada 2021, yang bertujuan mengurangi tekanan akademik dan mendorong pengembangan holistik. Menurut laporan Kemendikbudristek (2023), Asesmen Nasional telah diterapkan di lebih dari 80% sekolah di Indonesia, dengan fokus pada literasi, numerasi, dan karakter.
Namun, Rano Karno, anggota Komisi X DPR RI, dalam diskusi pada April 2022, menegaskan bahwa pemahaman terhadap pemikiran Ki Hadjar sering kali hanya menyentuh permukaan. Ia menyerukan agar Merdeka Belajar tidak hanya menjadi slogan, tetapi diwujudkan sebagai tujuan pendidikan: memerdekakan manusia secara lahir dan batin. Rano juga menyoroti bahwa pendidikan harus selaras dengan amanat Pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, yang berarti mencetak warga negara bermoral yang menjawab kebutuhan masyarakat.
Iwan Syahril, Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbudristek, menambahkan bahwa Ki Hadjar adalah pelopor peradaban. Dalam webinar nasional pada 2022, ia menyatakan bahwa filosofi Merdeka Belajar menempatkan peserta didik sebagai pusat, dengan pendidik sebagai teladan. Namun, ia mengakui kendala dalam pelatihan guru dan penyesuaian kurikulum lokal.
Tantangan dalam Mewujudkan Visi Manusia Merdeka
Implementasi visi Ki Hadjar menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, pendidikan di Indonesia sering terjebak dalam pendekatan formalistik yang mengutamakan hasil ujian. Menurut Yayasan Pendidikan Indonesia (YPI), pada 2022, lebih dari 60% sekolah di daerah terpencil masih menggunakan metode pengajaran berbasis hafalan, bukan pengembangan kreativitas.
Kedua, kurangnya pemahaman mendalam terhadap filosofi Ki Hadjar di kalangan pendidik membuat konsep manusia merdeka menjadi jargon kosong. Menurut survei Kemendikbudristek (2022), hanya 35% guru memahami Merdeka Belajar secara menyeluruh. Ketiga, globalisasi cenderung mengesampingkan nilai budaya lokal. Menurut YPI, kurikulum di sekolah perkotaan hanya mengalokasikan kurang dari 10% untuk seni dan budaya lokal, padahal Ki Hadjar menegaskan pendidikan sebagai tempat menyemai kebudayaan.
Solusi untuk Menghidupkan Kembali Visi Ki Hadjar
Untuk mewujudkan manusia merdeka, diperlukan langkah konkret. Pertama, pelatihan guru harus berfokus pada pemahaman filosofis Ki Hadjar. Program Guru Penggerak Kemendikbudristek, yang telah melatih 50.000 guru hingga 2023, perlu diperluas ke daerah terpencil. Kedua, kurikulum harus fleksibel untuk mengakomodasi kearifan lokal, seperti seni tradisional, sebagaimana disarankan Yayasan Taman Siswa. Ketiga, kolaborasi antara pemerintah dan YPI dapat meningkatkan akses pendidikan berkualitas di daerah tertinggal.
Visi Ki Hadjar Dewantara tentang manusia merdeka adalah warisan intelektual yang relevan. Pendidikan berbasis kemerdekaan yang ia gagas menekankan keseimbangan karakter, intelektual, dan fisik. Merdeka Belajar adalah langkah awal, tetapi tantangan seperti pendekatan formalistik dan marginalisasi budaya lokal masih ada.
Dengan dukungan Yayasan Taman Siswa, YPI, dan Kemendikbudristek, pendidikan Indonesia harus kembali ke akar pemikiran Ki Hadjar: menempatkan peserta didik sebagai pusat dan mengintegrasikan nilai budaya. Hanya dengan demikian, pendidikan dapat memerdekakan manusia, sebagaimana diimpikan Bapak Pendidikan Nasional.
Tag
Baca Juga
-
Ki Hadjar Dewantara Tak Sekadar Pahlawan Pendidikan
-
Dulu Sekolah Melawan, Sekarang Hanya Mengejar Lulus Ujian
-
Politika Sekolah: Warisan Ki Hadjar Dewantara dalam Transformasi Pendidikan
-
Membangun Bangsa dari Ruang Kelas: Jejak Perlawanan Ki Hadjar Dewantara
-
Refleksi Taman Siswa: Sekolah sebagai Arena Perjuangan Pendidikan Nasional
Artikel Terkait
-
Jalan Juang Ki Hadjar Dewantara: Dari Politik ke Pendidikan
-
Gema Dewantara Menyuarakan Politik Bangsa dalam Jiwa Pendidikan
-
Jerit Politik Bangsa dari Jiwa Pendidikan yang Terluka
-
Dulu Sekolah Melawan, Sekarang Hanya Mengejar Lulus Ujian
-
Dari Taman Siswa ke Demokrasi: Perbandingan Gagasan Dewantara dan Dewey
Kolom
-
QRIS vs Raksasa AS: Konflik Kedaulatan di Era Pembayaran Digital
-
Tamansiswa: Pilar Pendidikan dan Perjuangan Politik Bangsa
-
Tokoh Perempuan di Balik Sukses Ki Hajar Dewantara Pertahankan Taman Siswa
-
Demokrasi, Kesejahteraan, dan Pembangunan Bangsa: Sebuah Renungan
-
Ki Hadjar Dewantara Tak Sekadar Pahlawan Pendidikan
Terkini
-
4 Pemain Timnas Indonesia Dihantam Cedera, Siapa yang Paling Fatal Pengaruhnya?
-
Sekuel Film Ready Or Not Umumkan Judul Resmi dan Sejumlah Pemain Baru
-
Notifikasi Bukan Segalanya: Cara Memilih Aplikasi yang Dapat Mengganggumu
-
Tinggalkan Bali United, Stefano Cugurra Bakal Merapat ke Bhayangkara FC?
-
Yokohama F Marinos dan Karier Sandy Walsh yang Lebih Mirip Roller Coaster Bersamanya