Bayangkan ini: setiap bulan, warga Indonesia menghabiskan hampir 40 jam hanya untuk menatap layar ponsel mereka… di satu aplikasi saja—TikTok. Ya, 38 jam 20 menit sebulan, atau setara dengan 1,5 hari penuh yang dihabiskan hanya untuk scrolling, liking, dan nonton video 15 detik.
Data ini berasal dari laporan tahunan We Are Social dan Meltwater (2024), yang menunjukkan bahwa Indonesia bukan hanya juara screentime internet paling lama di dunia, tapi juga pemilik jumlah pengguna TikTok terbanyak sedunia—mengalahkan Amerika Serikat dan Rusia. Jumlahnya? 157,6 juta pengguna. Luar biasa? Mungkin. Tapi apakah ini pertanda kemajuan atau justru krisis yang dibungkus hiburan?
Makin ke sini, rasanya masyarakat kita sudah benar-benar terserap dalam pusaran algoritma. Anak-anak dan remaja lebih kenal tren dance atau prank viral dibandingkan Pancasila atau sejarah proklamasi. Siswa lebih tahu jadwal live TikTok idolanya daripada kapan ulangan sekolah.
Bahkan orang dewasa pun tak luput dari godaan scroll tanpa henti, dari konten masak-masak yang estetik sampai curhatan galau yang absurd. Ini bukan cuma soal kesenangan sesaat, tapi soal bagaimana waktu produktif, fokus belajar, bahkan interaksi sosial di dunia nyata jadi terkikis sedikit demi sedikit.
Pemerintah sempat membatasi TikTok pada 2018, tapi langkah itu hanya sementara. Aplikasinya memang sempat diblokir karena dinilai mengandung konten negatif dan meresahkan, terutama bagi anak-anak dan remaja. Namun, tidak lama kemudian TikTok kembali hadir, lebih kuat dan lebih populer dari sebelumnya.
Kini, alih-alih menjadi platform yang diawasi ketat, ia malah seolah jadi ruang publik digital yang dibiarkan bebas tanpa pagar. Aplikasi itu kembali merajai gawai kita, menghipnotis berjuta-juta pengguna dari segala usia untuk terus scroll dan swipe tanpa henti.
Fenomena ini tidak cuma menunjukkan kecanduan kolektif, tapi juga memperlihatkan bagaimana minimnya regulasi, literasi digital, dan pengawasan dari otoritas yang seharusnya bertanggung jawab. Yang ada justru promosi besar-besaran, kolaborasi instansi, bahkan konten edukatif yang ironisnya tetap dibalut dengan gaya "trending."
Di tengah gempuran konten-konten yang menghibur, siapa yang mengawasi sisi destruktifnya? Dan yang lebih penting: siapa yang memastikan generasi muda tidak kehilangan arah hanya karena terlalu sibuk memburu likes, views, dan validasi semu dari dunia maya?
Kita sedang melihat generasi yang lebih cepat mempelajari cara viral daripada cara berpikir kritis. Mereka tahu bagaimana cara membuat konten, tapi tidak tahu bagaimana membedakan fakta dan opini. Mereka tahu lagu-lagu TikTok terbaru, tapi tak tahu isi UUD 1945 atau letak provinsi di peta. Ini bukan salah anak-anak semata—ini cermin dari absennya pembinaan yang tepat dan pengawasan yang memadai.
Dalam perspektif yang lebih dalam, kecanduan TikTok bukan hanya soal waktu yang hilang. Ia juga menjadi gambaran nyata dari lemahnya kontrol diri kolektif masyarakat kita.
Kita lebih memilih konten singkat yang mudah dicerna daripada membangun pemahaman mendalam. Kita lebih betah menonton orang lain melakukan sesuatu ketimbang mencoba melakukan sesuatu sendiri. Ini bukan sekadar tren teknologi. Ini adalah gejala pergeseran budaya, dari budaya berpikir ke budaya menonton.
Jika pemerintah dan masyarakat tidak segera bertindak, kita bisa mengalami "kemunduran digital" yang berbahaya: teknologi makin canggih, tapi manusianya makin dangkal.
Indonesia butuh langkah nyata, mulai dari edukasi digital yang lebih kuat, regulasi yang berpihak pada kesehatan mental dan sosial, hingga dorongan literasi yang benar-benar merata. Karena sejujurnya, algoritma tidak akan berhenti memikat kita—kalau kita tidak mulai membatasi diri sendiri.
Fakta bahwa 157 juta orang Indonesia rela menghabiskan 1,5 hari sebulan untuk menonton video singkat seharusnya menjadi alarm darurat. Kita bukan sedang berbicara tentang hiburan semata, melainkan tentang generasi yang secara perlahan kehilangan kemampuan untuk fokus, berpikir mendalam, dan berinteraksi secara manusiawi.
TikTok hanyalah gejala dari penyakit yang lebih besar: masyarakat yang lebih memilih kesenangan instan daripada pengetahuan bermakna.
Jika hari ini kita tidak mulai mengajarkan literasi digital yang sesungguhnya—bukan sekadar larangan tapi pemahaman—maka bersiaplah menyambut masa depan dimana bangsa ini pandai membuat konten, tetapi miskin substansi. Lalu, masih banggakah kita menjadi "juara" dalam hal yang justru mengikis masa depan?
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Bonus Demografi 2030: Mimpi Indah Gibran vs Derita Generasi Z Sekarang
-
Kartini Hari Ini: Antara Panggung Seremonial dan Perubahan Nyata
-
Skor Literasi Indonesia Jeblok: Generasi Jago Konten tapi "Alergi" Membaca
-
Pendidikan Perempuan: Warisan Abadi Kartini yang Masih Diperjuangkan
-
Harta Koruptor Aman, RUU Perampasan Aset Mandek Lagi
Artikel Terkait
-
Indonesia Bisa Kaya Raya! Inilah Peran Emak-Emak Matic Dalam Dongkrak PDB Hingga Triliunan Rupiah
-
Modal Scroll TikTok Doang Bisa Dapat Saldo DANA Gratis Jutaan? Begini Caranya!
-
Berapa Biaya Kuliah di Teknik Geodesi UGM? Pendidikan Dilan Janiyar Ternyata Gak Kaleng-Kaleng
-
Teknik Geodesi UGM Belajar Apa? Pendidikan Mentereng Dilan Janiyar Bikin Takjub: Otaknya Tokcer
-
Seberapa Kaya Dilan Janiyar? Kasih Harta Gono-gini Rp800 Juta dan Rumah ke Safnoviar
Kolom
-
Merdeka Belajar dalam Perspektif Ki Hadjar atau Merdeka dari Belajar?
-
Ketergantungan Smartphone dan Fenomena Nomophobia di Masa Kini
-
Membaca Gagasan Ki Hadjar Dewantara di Tengah Komersialisasi Pendidikan
-
Relevansi Falsafah Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam Sekolah Alam
-
Taman Siswa: Pilar Pendidikan Merdeka dan Kesadaran Politik Bangsa
Terkini
-
Andrew Garfield Ingin Perankan Spider-Man Lagi, Asal Syarat Ini Terpenuhi
-
Ulasan Novel Viral: Ketika Ketenaran Mengubah Segalanya, Dunia Tak Lagi Sama
-
Habis Kontrak, 3 Pemain Timnas Indonesia Ini Berpeluang Berkarier di Liga 1
-
Review The Gardener: Ketika si Pembunuh Merasakan Cinta
-
Ingin Buat Bali United Gigit Jari, PSM Makassar Belajar dari Masa Lalu?