Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Sherly Azizah
Ilustrasi mahasiswa (pexels/Ivan Samkov)

Memilih jurusan kuliah ibarat berdiri di persimpangan jalan, satu sisi menggoda dengan api passion yang membara, sisi lain menarik dengan magnet prospek kerja yang berkilau. Di tengah tren karier yang berubah cepat bagaikan angin muson, mahasiswa sering terjebak dalam dilema: mengejar apa yang dicintai atau mengikuti apa yang dijanjikan pasar?

Media sosial, dengan segala gemerlapnya, memperkeruh keadaan—satu hari kita dijejali cerita sukses startup teknologi, hari berikutnya profesi kreator konten dipuja bak rockstar. Pilihan jurusan pun menjadi arena pertarungan antara hati dan logika, di mana setiap keputusan terasa seperti taruhan masa depan.

Pentingnya mempertimbangkan tren karier dalam memilih jurusan tak bisa diabaikan, tetapi membiarkannya mendikte sepenuhnya juga berisiko. Dalam artikel Social Cognitive Career Theory and the Prediction of Interests and Choice Goals in the Computing Disciplines oleh Lent, Lopez Jr., Lopez, dan Sheu (2008), ditegaskan bahwa pilihan karier dipengaruhi oleh minat pribadi, efikasi diri, dan ekspektasi hasil, termasuk prospek pekerjaan.

Penelitian ini, yang berfokus pada bidang komputasi, menunjukkan bahwa ketika seseorang memilih jurusan hanya berdasarkan tren pasar tanpa mempertimbangkan passion, motivasi dan kepuasan jangka panjang sering kali tergerus. Sebaliknya, mengejar passion tanpa memahami realitas pasar bisa menjebak seseorang dalam ketidakpastian. Keseimbangan, sebagaimana diuraikan oleh Lent dkk., menjadi jembatan menuju karier yang bermakna.

Bayangkan passion sebagai bahan bakar dan prospek kerja sebagai peta. Tanpa bahan bakar, perjalanan karier kehilangan semangat; tanpa peta, kita bisa tersesat di jalan yang salah. Memilih jurusan seperti teknik informatika karena “katanya” prospeknya cerah, misalnya, bisa berujung pada kebosanan jika hati sebenarnya terpaut pada seni.

Sebaliknya, mengejar jurusan sastra dengan mata tertutup terhadap peluang kerja bisa membuat dompet menangis di masa depan. Kisah mahasiswa yang beralih jurusan di tengah jalan atau lulusan yang bekerja di bidang tak sesuai ijazah adalah bukti nyata betapa kompleksnya pertimbangan ini. Pilihan jurusan bukan sekadar soal “apa yang lagi ngetren,” tetapi tentang memahami diri dan membaca arah angin dunia kerja.

Namun, jangan terlalu serius hingga lupa menikmati prosesnya. Memilih jurusan juga bisa jadi petualangan penuh warna, seperti mencoba menu baru di restoran favorit. Kadang kita perlu mencicipi sedikit dari berbagai rasa—magang, kursus singkat, atau ngobrol dengan senior—sebelum memutuskan.

Tren karier, seperti mode pakaian, datang dan pergi. Dulu dokter dan pengacara adalah primadona, kini data scientist dan UX designer naik daun. Besok? Siapa tahu karier di bidang antargalaksi jadi hits. Yang terpenting adalah membekali diri dengan keterampilan fleksibel, seperti kemampuan belajar cepat atau berpikir kritis, yang tak lekang oleh waktu. Passion boleh jadi kompas, tetapi akal sehat harus tetap memegang kemudi.

Tren karier juga punya sisi gelap: mereka sering menciptakan ilusi bahwa hanya jurusan tertentu yang “layak.” Jurusan seperti ilmu sosial atau seni kerap dipandang sebelah mata, seolah hanya jurusan STEM yang punya tiket emas ke dunia kerja. Padahal, dunia membutuhkan keberagaman talenta. Seorang sosiolog bisa mengubah cara perusahaan memahami pasar, seorang seniman bisa menciptakan karya yang menginspirasi jutaan orang. Memilih jurusan berdasarkan passion bukan berarti mengabaikan prospek, tetapi menemukan cara untuk membuat minat itu relevan. Pecinta musik bisa menyelami industri audio engineering, penggemar sejarah bisa menjadi kurator digital. Kreativitas adalah jembatan antara hati dan pasar.

Tantangan terbesar adalah tekanan sosial yang bagaikan bayang-bayang tak pernah pergi. Orang tua, teman, bahkan tetangga, sering punya “saran” tentang jurusan yang “pasti sukses.” “Ambil akuntansi, gaji besar!” atau “Jangan senihof, susah cari kerjanya!” Kalimat-kalimat ini, meski bermaksud baik, bisa menyesakkan. Di sinilah refleksi diri menjadi krusial. Mengambil waktu untuk bertanya, “Apa yang benar-benar membuatku hidup?” adalah langkah berani. Jurnal, percakapan dengan mentor, atau tes minat bakat bisa membantu. Tren karier boleh jadi panduan, tetapi suara hati adalah penutup keputusan. Lagipula, hidup terlalu singkat untuk dihabiskan di karier yang terasa seperti penjara.

Memilih jurusan adalah tentang menabur benih untuk masa depan yang seimbang antara kebahagiaan dan kesejahteraan. Passion memberi alasan untuk bangun pagi, prospek kerja memberi kepastian untuk makan malam. Keduanya tak harus saling meniadakan. Dengan sedikit keberanian untuk bereksplorasi, sedikit kebijaksanaan untuk merencana, dan sejumput humor untuk menertawakan ketidakpastian, memilih jurusan bisa menjadi awal dari petualangan hidup yang luar biasa. Jadi, dengarkan hatimu, baca trennya, dan melangkahlah dengan percaya diri—dunia menanti kisah unik yang akan kamu tulis.

Sherly Azizah