Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Christina Natalia Setyawati
Ilustrasi konten viral (Pixabay/Sammy-Sander)

Gelombang konten viralitas tak pernah surut. Setiap hari, linimasa media sosial kita dibanjiri dengan video singkat, tantangan unik, atau potongan informasi yang dalam sekejap mata menyebar luas, menjangkau jutaan pasang mata.

Fenomena ini, yang dulunya dianggap sebagai angin segar kreativitas dan konektivitas, kini mulai menyisakan pertanyaan mengusik: apakah popularitas daring ini berjalan beriringan dengan kemerosotan nilai moral?

Kalau diingat lagi, dulu, zaman-zaman awal internetan, kalau ada yang viral tuh biasanya yang lucu-lucu, kreatif, atau yang bikin kita geleng-geleng kepala karena keunikan ide.

Ingat nggak sih, video bayi joget atau meme-meme absurd yang bikin ketawa ngakak bareng teman-teman? Nah, esensi viralitas waktu itu kayaknya lebih ke arah sharing happiness atau minimal sharing something interesting.

Tapi, coba deh kita lihat sekarang. Kayaknya kok ya makin banyak konten viral yang bikin kita garuk-garuk kepala sambil mikir, "Ini kok bisa sih banyak yang nonton?"

Nggak jarang, konten yang booming itu justru yang isinya nyinyir, nge-bully, bikin sensasi nggak jelas, atau bahkan yang jelas-jelas melanggar norma dan etika.

Ada aja drama setting-an, pamer kekayaan berlebihan, saling sindir atau hujat, konten sensual yang sudah tidak lagi tabu, atau konten yang mengeksploitasi aib orang lain demi views dan likes.

Bayangkan deh, idealnya konten di dunia maya itu kayak taman bermain yang asyik dan aman buat semua orang. Isinya tuh ya macem-macem. Ada yang bikin kita pintar karena bagi-bagi ilmu atau info menarik. Ada yang bikin kita terhibur dengan lawakan cerdas atau karya seni yang keren. Ada juga yang bikin kita terinspirasi buat jadi orang yang lebih baik lewat kisah-kisah motivasi atau aksi sosial yang nyata.

Intinya, konten itu seharusnya bisa jadi jembatan buat kita terhubung, belajar, dan tumbuh bareng sebagai masyarakat. Masalahnya adalah konten yang seperti ini kadang lebih banyak yang tidak laku.

Konten yang bagus itu nggak harus selalu yang serius atau berat kok. Yang ringan dan menghibur juga penting, asal tetap punya batasan dan nggak merugikan siapa pun.

Kreativitas itu tanpa batas, tapi bukan berarti kita bebas melakukan apa saja demi viral. Justru di situlah tantangannya: gimana caranya bikin konten yang menarik tanpa harus jadi norak, tanpa harus menyakiti orang lain, dan tanpa harus mengorbankan nilai-nilai yang kita anut.

Mengapa ini bisa terjadi? Salah satu alasannya adalah algoritma media sosial yang cenderung memprioritaskan konten yang menghasilkan interaksi tinggi, terlepas dari kualitas atau pesan moralnya. Konten yang kontroversial, sensasional, atau memicu emosi kuat seringkali lebih mudah mendapatkan engagement dan alhasil, lebih cepat menyebar. 

Di era persaingan konten yang super ketat, banyak kreator yang kayaknya udah nggak peduli lagi sama kualitas atau dampak kontennya. Yang penting viral, yang penting dapat views banyak, urusan moral belakangan. Ini kayak mental instan yang sayangnya malah merusak ekosistem konten secara keseluruhan.

Kita sebagai penonton juga punya andil nih. Kadang, kita tanpa sadar ikut "meramaikan" konten-konten negatif dengan berkomentar atau bahkan membagikannya, meskipun kita sendiri sebenarnya nggak suka. Reaksi kita, baik positif maupun negatif, itu tetap dihitung sama algoritma dan bisa bikin konten itu makin viral.

Sayangnya, di masyarakat kita kadang masih ada kecenderungan buat lebih tertarik sama tontonan yang heboh dan sensasional, meskipun nggak ada nilai positifnya. Gosip, drama, atau kontroversi sering kali lebih laku daripada konten yang edukatif atau inspiratif.

Beberapa stasiun TV, membuat program-program gosip dan acara-acara yang biasanya mengundang orang-orang viral dan kontroversial di media sosial.

Netizen biasanya menanggapi dengan santai sekaligus miris seolah ini adalah fenomena basi yang akan sulit diubah meski harus demo di mana-mana, "Giliran yang berprestasi dan membanggakan nggak viral-viral. Yang viral cuma joget-joget nggak jelas dan kasus sampah yang harusnya nggak dikasih panggung."

Ada lagi satu program TV yang di dalamnya ada aktivitas mereview kehidupan orang yang mirisnya dilakukan bersamaan dengan aktivitas makan. Makan di meja makan, dengan menu yang beraneka ragam, mengobrol sana-sini dengan dentingan piring atau kecapan mulut. Epiknya adalah ini direkam dan dijadikan salah satu program TV yang ditonton lebih dari jutaan orang.

Kalau kita ingat lagi bagaimana norma sopan santun dan adab makan yang dulu dijadikan aturan tidak tertulis, bahwa ketika makan sendok dan piring tidak boleh terdengar beradu, mulut tidak boleh mengecap, dan ketika sedang makan sangat tidak disarankan untuk mengobrol. Hilangkah etika tersebut? Mungkin?

Minusnya bagi yang diundang dan masyarakat yang ikut menikmati atau akhirnya terpaksa mengikuti pola aneh ini adalah ada dampak narsisme, rasa tidak tahu malu, mindset 'yang penting kontroversial biar dapat duit banyak', dan sebagainya.

Tentu, tidak semua konten viral bersifat negatif. Masih banyak kreator yang menghasilkan karya-karya inspiratif, edukatif, dan menghibur tanpa harus mengorbankan nilai-nilai moral. Namun, tren peningkatan konten "sampah" yang viral menjadi alarm bagi kita semua. Kita perlu merefleksikan kembali peran kita sebagai konsumen dan produsen konten.

Sebagai konsumen, kita memiliki kekuatan untuk menentukan konten seperti apa yang layak mendapatkan perhatian dan dukungan. Dengan lebih selektif dalam berinteraksi, melaporkan konten negatif, dan mendukung kreator yang bertanggung jawab, kita dapat memberikan sinyal yang jelas kepada platform dan pembuat konten tentang batasan-batasan etika yang tidak boleh dilanggar.

Sebagai produsen konten, tanggung jawab moral adalah hal yang mutlak. Popularitas sesaat tidak sebanding dengan dampak negatif yang mungkin ditimbulkan oleh konten yang tidak bermoral. Kreativitas seharusnya berjalan beriringan dengan kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan dan tanggung jawab sosial.

Intinya sih, viralitas itu kayak pisau bermata dua. Bisa jadi alat yang keren buat nyebarin hal positif, tapi juga bisa jadi senjata yang nyakitin kalau nggak dipake dengan benar. Sebagai masyarakat, kita punya tanggung jawab bareng buat bikin ekosistem konten yang lebih sehat dan bermoral. Nggak lucu kan kalau makin hari, yang viral justru makin "nggak banget"?

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Christina Natalia Setyawati