Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Nurkalina Pratiwi Suganda
Flynn Rider Menjadi Ikon Unpopular Opinion (knowyourmeme.com)

Tren unpopular opinion bukan lagi hal yang asing dalam lini masa media sosial Twitter atau X. Umumnya, tren ini diselipi meme Flynn Rider dari film “Tangled” yang tampak santai walaupun dikelilingi pedang.

Meme ini menjadi simbol atau metafora visual terkait keberanian dalam menyuarakan pendapat yang berbeda, juga seolah menggambarkan kesiapan dalam menerima serangan dari warganet.

Siapa sangka tren tersebut sangat ramai dan terkenal. Banyak pengguna media sosial yang ikut berpendapat, atau mungkin ikut menyerang, karena tren ini dianggap seru dan interaktif. Semakin kontroversial opininya, semakin besar pula potensi viralnya, begitulah kenyataannya.

Baru-baru ini, tren unpopular opinion muncul lagi ke permukaan, yakni sebagai wadah membagikan opini yang jarang atau tidak terpikirkan orang lain, meskipun banyak juga yang menyampaikan opini populer walau nama trennya unpopular opinion. Topik yang dibahas pun sangat beragam mulai dari gim, penulis buku, sampai artis.

Sekilas, memang benar adanya bahwa tren ini seru dan menghibur. Akan tetapi, ada dinamika menarik di balik kemunculannya jika kita telusuri lebih jauh. Apakah ini benar-benar sebatas opini jujur yang tidak populer? Atau sebuah sarana untuk menyampaikan kebencian secara terselubung di balik akun anonim?

Dari Opini Jujur ke Ruang Validasi Ujaran Kebencian (Cyberbullying)

Ilustrasi Cyberbullying (pexels.com/Nothing Ahead)

Seiring dengan viralnya tren unpopular opinion, muncul juga sebuah pergeseran fungsi yang terlihat dengan jelas.

Mulanya, tren ini dijadikan sebagai ruang berbagi opini yang jarang diutarakan oleh orang-orang, semacam pendapat unik yang tidak terpikirkan. Namun, kini unpopular opinion lebih tepat disebut sebagai fenomena ofensif karena menjadi ruang yang menyediakan ujaran kebencian.

Alih-alih beropini sesuai etika dan tata krama, yang terjadi malah ajang lempar-lemparan hinaan, tuduhan tanpa bukti, bahkan pelecehan. Ketika dikonfrontasi, tentu saja yang muncul ialah dalih berupa: “Ini kan unpopular opinion.”

Banyak sekali warganet yang memanfaatkan tren ini bukan hanya sebatas membagikan opini uniknya, melainkan memberikan komentar personal yang merendahkan.

Unpopular opinion dijadikan sebagai tameng untuk bersembunyi, belum lagi mayoritas warganet tidak menggunakan identitas aslinya. Sebuah kebetulan yang sangat tepat untuk menyerang dan menyakiti orang lain di balik akun anonim.

Akun anonim inilah yang melindungi warganet. Sangat mudah bagi mereka untuk melontarkan kata-kata kejam tanpa takut atas konsekuensi sosial. Tersembunyinya identitas ini membuat mereka bebas berlaku semena-mena.

Hasilnya, bukan sekadar opini jujur saja yang muncul ke permukaan, melainkan komentar bernada sinis, merendahkan, dan diskriminatif juga.

Dalam kebanyakan utas-utas unpopular opinion di Twitter atau X, ada pula warganet yang seolah-olah berlomba memberikan “opini” paling pedas. Semakin tajam opininya, semakin banyak jumlah likes dan retweets (reposts) yang didapatnya. Ini menjadi sebuah validasi bahwa yang mereka ketik itu benar karena disetujui banyak orang.

Media sosial yang mulanya merupakan salah satu ruang kebebasan berekspresi disalahgunakan dan berubah menjadi ajang nirempati. Empati dikalahkan oleh ego dan opini dijadikan alat untuk menekan, bukan menyuarakan.

Ketika opini digunakan untuk menutupi kebencian, kita harus mempertanyakan kembali apakah semua yang disebut sebagai “kejujuran” itu memang pantas diumumkan ke publik?

Unpopular opinion bukanlah sugar coating yang punya tujuan baik karena memperhalus kenyataan demi menghindari pihak-pihak yang mungkin akan tersakiti. Bahkan, terbilang sangat jauh jika dilihat dari opini-opini yang jelas menghina dan melecehkan.

Setiap orang memang memiliki kebebasan berpendapat. Akan tetapi, fenomena unpopular opinion yang disalahgunakan akan berdampak besar, terutama dalam ruang digital yang konsumennya beragam.

Kebebasan berpendapat baiknya diiringi dengan tanggung jawab. Penyampaian opini pun tetap harus memperhatikan etika dan tata krama, jangan sampai dijadikan senjata untuk merendahkan orang lain. Sedikit empati bisa menjadi pembeda antara opini yang jujur dan komentar yang kasar. Ingat, kamu tidak pernah tahu apa yang terjadi di balik layar media sosial.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Nurkalina Pratiwi Suganda