Ada satu hal yang selalu bikin aku heran tiap kali nonton film di bioskop. Begitu layar mulai gelap dan tulisan ‘Directed by …’ muncul, suasana langsung berubah. Penonton buru-buru berdiri, ngambil tas, bisik-bisik, bahkan ada yang udah buka HP sambil jalan keluar. Musik penutup yang seharusnya jadi ruang untuk merenung malah tenggelam sama suara kursi berderit dan langkah kaki. Rasanya kayak ‘pertunjukan’ yang diputus di tengah jalan, padahal film itu sendiri belum benar-benar selesai.
Kredit film seringkali memang dipandang sepele. Buat sebagian besar penonton, itu cuma deretan nama panjang yang nggak ada artinya.
“Buat apa sih baca nama kru yang nggak kita kenal?” begitu kira-kira pikiran banyak orang.
Mereka merasa filmnya sudah selesai begitu konflik beres, tokoh utama dapat penutupannya, lalu layar jadi gelap. Sayangnya, masalahnya di sini. Di balik nama-nama yang berjejer itu, ada kerja keras ratusan orang yang nyawa dan waktunya ditaruh habis-habisan demi bikin film itu jadi kenyataan.
Bayangkan saja, ada penata kostum yang harus begadang menjahit baju karena besok pagi harus dipakai aktor. Ada teknisi lampu yang pasang kabel di tengah hujan, atau pekerja konsumsi yang tiap hari masak buat kru. Semua orang itu nggak pernah muncul di layar, wajah mereka nggak dikenal publik, tapi film nggak mungkin berdiri tanpa mereka. Dan saat nama mereka akhirnya muncul di layar, hampir semua penonton sudah keluar. Rasanya tuh ‘sayang banget’, kerja keras mereka nggak layak ditunggu beberapa menit saja.
Aku sering takjub kalau lihat budaya nonton di luar negeri. Penonton di sana terbiasa duduk sampai kredit benar-benar selesai. Sebagian karena memang ada ‘bonus’ di akhir, misalnya post-credit scene Marvel yang bikin orang rela bertahan sampai lampu bioskop menyala.
Namun di luar itu, sebenarnya ada juga budaya menghargai proses. Mereka tahu film bukan cuma hasil akhir yang memuaskan mata, tapi juga keringat dan dedikasi. Duduk sampai kredit habis jadi semacam penghormatan kecil buat orang-orang yang ada di balik layar lho.
Di Indonesia, sayangnya budaya itu belum terbentuk. Kita terlalu terbiasa menganggap film hanya soal cerita. Begitu cerita selesai, ya selesai sudah. Ditambah lagi, beberapa bioskop pun sering memotong kredit lebih cepat demi mengejar jadwal tayang berikutnya. Akhirnya penonton makin terbiasa untuk buru-buru keluar.
Bahkan aku pun mengalami sendiri, film baru kelar, petugas bioskop langsung pada masuk dengan tatapan ‘ingin penonton’ yang masih duduk buru-buru beranjak. Bikin bete deh!
Eh, tapi ada alasan praktis lain juga: misalnya kebelet pipis, atau sekadar ingin cepat pulang. Semua alasan itu bisa dimengerti, tapi kalau dipikir lebih jauh, bukankah sayang banget kalau apresiasi itu hilang hanya gara-gara kita malas duduk lima menit lebih lama?
Menghargai kredit film, sebenarnya nggak butuh usaha besar. Cuma tinggal duduk sebentar, nikmati musiknya, dan biarkan mata kita membaca nama-nama itu. Kadang kita bisa menemukan hal menarik dari sana kok. Misalnya, siapa yang ngurus visual effect, siapa penulis lagu, bahkan siapa penyedia makanan di lokasi syuting. Itu hal kecil, tapi cukup untuk bikin kita sadar betapa besar usaha yang dibutuhkan buat melahirkan satu film.
Sekarang jadi paham, ya? Film itu nggak pernah lahir dari satu kepala. Film lahir dari ratusan tangan, dari ide-ide yang saling bertubrukan, dari keringat yang jatuh di tengah malam, dari lelah yang nggak pernah terekspos kamera.
Jadi, mungkin sudah saatnya kita mengubah kebiasaan. Coba tahan diri sebentar saat film selesai. Duduklah sampai layar benar-benar gelap. Rasakan musiknya, baca nama-nama itu, dan biarkan mereka mendapatkan penghormatan yang pantas. Karena buat kita, lima menit mungkin terasa sepele, tapi buat mereka yang namanya terpampang di layar, lima menit itu bisa berarti pengakuan, bisa jadi bentuk terima kasih, bisa jadi satu-satunya kesempatan mereka merasa dilihat.
Film selalu disebut sebagai karya kolektif, tapi sebutan itu hanya akan berarti kalau kita juga mau mengakui kolektifnya. Jadi, lain kali bila Sobat Yoursay nonton film, jangan buru-buru beranjak ya. Duduklah sebentar. Tunggu sampai kredit habis.
Baca Juga
-
Gentong yang Ingin Gantung Diri
-
Review Film Legenda Kelam Malin Kundang: Menarik di Awal, Kendor di Akhir
-
Review Film The Voice of Hind Rajab: Pedih dan Mengguncang Nurani
-
Review Film Agak Laen: Menyala Pantiku! Tawa dari Awal sampai Akhir, Pecah!
-
Belum Tayang, Film Agak Laen: Menyala Pantiku Sudah Tembus 50.000 Tiket Pre-sale
Artikel Terkait
-
Thom Haye, Persib Bandung dan Teka-teki Keputusan Karir Sepakbolanya!
-
Peringatan Keras Anggota DPR RI untuk Patrick Kluivert Soal Nasib Timnas Indonesia
-
Imbas Ricuh Dalam Negeri, Para Penggemar Timnas Indonesia Siap-Siap Gigit Jari
-
4 Hari Lagi, Miliano Jonathans Sumpah WNI di Dekat Tanah Leluhurnya
-
Pesan Jay Idzes Soal Demonstrasi di Indonesia: Saling Jaga
Kolom
-
Efek Domino Bullying di Sekolah: Prestasi Turun hingga Trauma Jangka Panjang
-
Saat Generasi Z Lebih Kenal Algoritma daripada Sila-sila Pancasila
-
Nasib Masyarakat Pesisir di Tengah Gelombang Ancaman Krisis Iklim
-
Benteng Terakhir Pesisir: Mengapa Zona < 1 Mil Harus Dilindungi Total
-
Hati-hati! Tanpa Disadari, Orang Tua Bisa jadi Pelaku Bullying bagi Anak
Terkini
-
Kondisi Sumatera Memburuk, Ferry Irwandi Desak Penetapan Bencana Nasional
-
Review Film Sosok Ketiga: Lintrik, Cinta Terlarang yang Berujung Maut
-
Special Live Action Warnai Pemutaran Pertaruhan The Series 3 di JAFF 2025
-
Warriors Cleanup Indonesia: Gerakan Anak Muda Ubah Kegelisahan Akan Lingkungan Jadi Aksi Nyata
-
Azizah Salsha Salurkan Bantuan Rp50 Juta untuk yang Terdampak Banjir Padang