Sekar Anindyah Lamase | Akramunnisa Amir
Ilustrasi Netizen. (Pixabay)
Akramunnisa Amir

Sebagai netizen yang terus memantau berbagai berita di dunia maya, kita menjadi saksi terjadinya huru-hara di negara kita sendiri. Berbagai isu yang berseliweran, mulai dari kisruh tentang ulah anggota DPR yang sukses menyulut kemarahan rakyat, wafatnya seorang ojol dan beberapa mahasiswa saat terjadinya aksi demonstrasi, hingga gerakan Brave Pink Hero Green yang viral di media sosial.

Dari beberapa peristiwa di atas, ada satu hal yang cukup menarik untuk dibahas. Yakni tentang keberanian netizen Indonesia untuk terus bersuara dalam rangka melawan ketidakadilan.

Keberanian yang saya maksud di sini adalah bagaimana mereka begitu kreatif mengunggah konten mengenai situasi terkini, kejelian untuk mengungkap berbagai kejanggalan berita, hingga aksi protes di akun media sosial masing-masing.

Usaha netizen di atas sebenarnya patut diacungi jempol. Pasalnya, hal tersebut bukan hanya sebatas bentuk rasa kepo sesaat mereka di dunia maya, tapi telah berbentuk menjadi semacam aksi digital dalam rangka membela kepentingan masyarakat.

Misalnya saat mengulik dalang dibalik penghancuran beberapa fasilitas publik. Mengutip dari berbagai sumber, kerugian di Solo akibat aksi demonstrasi yang 'katanya' digagas oleh mahasiswa dan aliansi ojol bisa mencapai Rp13,8 Miliar.

Kalau dipikir-pikir, merugikan diri sendiri hanya sebagai bentuk kekecewaan terhadap oknum tertentu kelihatannya adalah hal yang bodoh banget. Dalam hal ini, netizen dengan gerakan cepat melakukan investigasi dari beberapa hal yang mencurigakan.

Mereka menelusuri beberapa potongan video, kesaksian orang-orang di lapangan, hingga kolaborasi lintas platform. Hingga pada akhirnya sampai di kesimpulan bahwa aksi pengrusakan fasilitas umum tersebut sebenarnya merupakan ulah penyusup yang menunggangi gerakan masyarakat.

Rupanya sang pembuat skenario dalam beberapa kasus masih kecolongan dengan kejelian netizen yang kebanyakan adalah gen Z dan milenial ini. Sebagai generasi yang tumbuh dewasa dengan kemajuan teknologi, mereka nggak mudah diketabui dengan berbagai drama basi yang ternyata mengandung banyak plot-hole.

Sebagai netizen, mereka bukan sekedar jadi penonton yang penasaran untuk menyelam lebih dalam di linimasa media sosial, tetapi juga menganalisis berbagai macam informasi dan ragam skenario yang bisa saja terjadi.

Secara tidak langsung, netizen seakan-akan telah menjadi 'intelijen' sipil yang mengumpulkan informasi dengan pergerakan yang bahkan bisa lebih cepat dari media mainstream.

Hal ini bisa menjadi angin segar bagi masyarakat. Bahwa keterlibatan investasi netizen kita ini bisa membentuk narasi tandingan dari framing media yang bisa saja berpihak pada elit politik tertentu.

Netizen yang terlibat dan terus bersuara juga secara tidak langsung menjadi agen yang menjaga ruang publik agar tetap kritis. Hal ini menjadi upaya untuk turut andil dalam menjaga demokrasi.

Hanya saja, adanya keterlibatan netizen ini memang amat rawan untuk memicu penyebaran hoaks, misinformasi, ataupun manipulasi yang amat besar. Oleh karena itu, kehati-hatian dalam memilah berita maupun  postingan yang kredibel adalah hal yang patut untuk dilakukan.

Biar nggak mudah terjebak fitnah ataupun provokasi yang menginginkan keributan, sebagai netizen kita perlu punya pemikiran yang kritis dan kemampuan literasi yang memadai. Jangan mudah tersulut dan menelan mentah-mentah informasi yang belum kredibel.

Terlepas dari hal tersebut, kita harus tetap optimis. Meski pun sebagai masyarakat sipil kita kerap sulit untuk menyampaikan aspirasi secara langsung karena aksi yang dibungkam pemerintah, namun kita masih tetap bisa bersuara dalam ruang-ruang digital.

Teruslah penasaran untuk mempertanyakan, mengulik, bahkan mengupas kejanggalan politik yang ada. Meski hanya sekedar meme sarkas atau postingan receh yang kita share di media sosial, kita bisa membuktikan bahwa demokrasi itu tetap bisa menyala dengan dijaga bersama.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS