Di tengah hiruk pikuk demonstrasi, DPR buru-buru mengumumkan langkah-langkah instan, seperti memangkas tunjangan listrik, transportasi, komunikasi, sampai tunjangan rumah Rp 50 juta per bulan.
Publik diberi kabar seakan-akan ini bentuk tanggung jawab moral wakil rakyat. Tapi, bukankah ini terdengar lebih seperti formalitas politik ketimbang langkah nyata?
Rakyat tidak turun ke jalan hanya untuk melihat anggota DPR kehilangan hak langganan listrik dan rumah. Tuntutan yang paling keras justru soal RUU Perampasan Aset, yang entah mengapa, selalu terselip di ruang tunggu prioritas DPR.
RUU ini sudah dibicarakan bertahun-tahun lamanya. Draftnya bolak-balik masuk Prolegnas, tapi nasibnya tak pernah inal. Padahal isinya sederhana, negara diberi kewenangan menyita dan merampas aset hasil korupsi maupun tindak pidana lain, meski pelaku sudah meninggal atau divonis bebas. Intinya, uang negara harus kembali ke negara.
Bukan rahasia lagi bahwa puluhan, bahkan ratusan triliun rupiah kerugian negara akibat korupsi hanya menguap begitu saja karena aset tak bisa disentuh hukum.
Menurut data KPK, sepanjang 2004–2022, nilai kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 280 triliun, tapi uang yang berhasil dikembalikan baru sebagian kecilnya. Lalu apa gunanya bicara soal pemotongan tunjangan DPR, kalau harta yang seharusnya kembali ke rakyat malah dibiarkan mengendap di rekening pribadi?
RUU ini selalu terhenti dengan alasan klasik, “masih banyak perdebatan teknis”. DPR menyebut masih ada tumpang tindih dengan KUHAP atau UU Tipikor. Ada pula yang bilang soal perlindungan hak asasi—takutnya orang yang asetnya disita belum tentu benar-benar bersalah.
Alasan-alasan ini kedengarannya logis, tapi kenapa setiap kali RUU yang berkaitan dengan pembatasan rakyat bisa disahkan super cepat, sementara yang mengancam kepentingan elite justru lambat jalannya?
Mari kita bandingkan. Omnibus Law Cipta Kerja, dibahas kilat dalam hitungan bulan, disahkan dini hari. Revisi UU KPK, bahkan lebih singkat, langsung diketok tanpa dengar aspirasi publik.
Tapi begitu menyentuh ranah perampasan aset koruptor, tiba-tiba DPR jadi lembaga yang sangat berhati-hati, penuh pertimbangan, dan butuh diskusi panjang. Lalu apa benar yang dipertimbangkan itu hak rakyat, atau sebenarnya hak para kolega politik yang bisa kena imbas kalau RUU ini disahkan?
Rakyat tentu tidak butuh basa-basi. Mereka sudah paham betul bagaimana mekanisme kekuasaan berjalan. Ketika muncul berita pemangkasan tunjangan DPR, komentar yang ramai di media sosial bukanlah pujian, melainkan sindiran, “RUU perampasan aset manaaa?”
Apalagi, kebutuhan untuk segera mengesahkan RUU ini semakin mendesak. Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan, sepanjang 2023 saja, total kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 9,3 triliun, dengan potensi kerugian lain jauh lebih besar karena banyak kasus belum ditindaklanjuti.
Bayangkan jika RUU perampasan aset sudah disahkan, maka uang itu bisa ditarik kembali, dialokasikan untuk pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur yang langsung dirasakan masyarakat.
Akhirnya semakin jelas bahwa pemangkasan tunjangan DPR hanyalah distraksi. Sementara kamera media sibuk merekam angka-angka potongan fasilitas, isu utama justru didorong ke belakang panggung. Padahal, kalau benar DPR serius mendengar aspirasi rakyat seperti klaim mereka, seharusnya prioritas pertama adalah mempercepat pembahasan RUU perampasan aset.
Ada yang bilang, tuntutan rakyat kadang terlalu muluk. Tapi benarkah meminta wakil rakyat segera mengesahkan RUU yang sudah bertahun-tahun mangkrak itu muluk? Bukankah DPR punya tanggung jawab langsung memastikan harta negara kembali ke kas negara?
Sikap publik sudah mulai bergeser. Kalau dulu kritik hanya soal besaran gaji dan fasilitas DPR, kini banyak yang lebih sadar bahwa akar masalahnya ada di prioritas legislasi.
Bukan sekadar berapa besar tunjangan yang dipangkas, tapi undang-undang apa yang mereka kerjakan. Inilah yang sebenarnya menentukan kualitas demokrasi kita, apakah parlemen berdiri bersama rakyat, atau justru bersama mereka yang takut asetnya terendus negara.
Kita mungkin tidak bisa berharap DPR tiba-tiba berubah haluan hanya karena demo. Tapi tekanan publik jelas punya kekuatan.
Gelombang demonstrasi yang menyinggung RUU perampasan aset membuktikan bahwa rakyat makin cerdas membaca pola permainan kekuasaan. Kini, yang ditunggu rakyat adalah keberanian politik, maukah DPR menantang kenyamanan elite dengan menuntaskan RUU ini?
Baca Juga
-
Jakarta World Cinema 2025: Saatnya Temukan Film yang Takkan Pernah Tayang di Bioskop Biasa
-
Kalau Nulis Nggak Viral, Apakah Masih Layak?
-
Ironi: Ketika Polisi Berbentrok dengan Rakyat Lalu Diganjar Promosi
-
Apatis atau Aksi? Pilihan Anak Muda di Tengah Gelombang Protes
-
Bukan Mau Kudeta, Pak! Memahami Keresahan Rakyat di Balik Stigma Makar
Artikel Terkait
-
Andovi da Lopez: Hukum Anggota DPR yang Gagal Penuhi Tuntutan 17+8
-
Kunker Dihapus, Pensiun Jalan Terus: Cek Skema Lengkap Pendapatan Anggota DPR Terbaru!
-
Polemik Bu Ana, Brave Pink, dan Simbol yang Mengalahkan Substansi
-
2 Ribu Nasi Padang Buat Massa Aksi Jadi Bukti 'Rakyat Jaga Rakyat' Versi Bobon Santoso
-
DPR Sepakati Pemangkasan Tunjangan, Berikut Rincian Lengkapnya
Kolom
-
Polemik Bu Ana, Brave Pink, dan Simbol yang Mengalahkan Substansi
-
Lebih dari Sekadar Demo: Aksi Ibu-Ibu Ini Buktikan Aspirasi Bisa Disampaikan Tanpa Anarki!
-
Ironi Demokrasi: Kala Rakyat Harus 'Sumbang' Nyawa untuk Didengar Wakilnya
-
Influencer vs DPR: Aksi Nyata 17+8 Tuntutan Rakyat di Era Digital
-
Nasdem Minta Gaji-Tunjangan Sahroni dan Nafa Dibekukan, Warganet Anggap Belum Cukup
Terkini
-
Bukan Perampokan Biasa! Otoritas Peru Duga Staf KBRI Dieksekusi Pembunuh Bayaran
-
4 Calming Pad Korea Tea Tree, Solusi Praktis Hempaskan Jerawat dan Redness!
-
Terdepak dari Pramac, Miguel Oliveira: Keputusan Ini Mengejutkan Saya
-
Mengenang Arif Budimanta: Ekonom dan Stafsus Jokowi yang Telah Tiada
-
Kode Keras di Medsos! 5 Tanda Kuat Pratama Arhan dan Azizah Salsha akan Rujuk