Sebagai orang yang lahir dan besar di Lombok, melihat pemandangan pantai sudah seperti makanan sehari-hari bagiku. Bahkan hampir setiap hari aku bisa melihat indahnya laut.
Di sini, banyak orang bekerja dengan mengandalkan pariwisata maupun hasil laut. Bahkan ekstrakurikuler dan berbagai kegiatan juga memilih pantai sebagai tempat berkumpul.
Dulu, berkumpul di pinggir pantai rasanya nyaman dan menyenangkan. Meski daerah Senggigi, Lingkar Selatan, dan Ampenan tidak memiliki pantai berpasir putih seperti di daerah Kuta, tapi kami tetap nyaman menikmati waktu luang di tempat ini karena lingkungannya yang cukup bersih.
Meski ada sampah, tapi tidak terlalu dominan. Namun seiring waktu, semakin banyak plastik, tusuk sate, dan jenis sampah lainnya di pantai-pantai ini.
Melihat hal ini, ayahku dan beberapa relawan lain pun terjun langsung secara sukarela untuk membersihkan pantai. Meski tanpa bayaran, tapi mereka melakukannya dengan ikhlas.
Seperti yang aku bilang tadi, sebagian besar masyarakat Lombok menggantungkan hidup di pariwisata. Maka menjaga lingkungan sekitar tetap bersih tentu menjadi hal krusial.
Saat ditanya, mengapa mereka mau-mau saja menjadi relawan bersih-bersih pantai?
Ayahku menjawab, "Biar pantainya bersih."
Sesederhana itu. Tak ada iming-iming apa pun dan hanya ketulusan yang mereka punya.
Setelah membersihkan pantai, karung-karung yang mereka bawa pun penuh dengan sampah plastik.
Sambil meletakkannya di pinggir, para relawan yang juga bekerja di sektor pariwisata ini juga mengobrol dengan bule-bule.
Salah seorang bule yang kebetulan juga punya usaha resto di kawasan Senggigi pun ikut serta dalam aksi bersih-bersih pantai ini. Dalam kesempatan berbeda, ia pun tak ragu untuk juga membawa karung dan memungut sampah di sepanjang bibir pantai.
Meski semakin siang matahari bersinar cukup terik, tapi indahnya pemandangan laut yang bersih menjadi obat tersendiri bagi para relawan ini.
Tak hanya di pantai, para relawan ini juga bergerak ke kabupaten lain di sekitar sumber air. Sambil jalan-jalan, katanya.
Sebagai penikmat keindahan alam, kita seharusnya tidak hanya memamerkannya di media sosial. Namun juga ikut menjaga dengan tidak membuang sampah sembarangan.
Baca Juga
-
Viral Tumbler KAI: Bahaya Curhat di Medsos Bagi Karier Diri dan Orang Lain
-
Ricuh Suporter Bola hingga War Kpopers, Saat Hobi Tak Lagi Terasa Nyaman
-
Budaya Titip Absen: PR Besar Guru Bagi Pendidikan Bangsa
-
Bukan Cuma Guru Honorer, Freelancer Nyatanya Juga Tak Kalah Ngenes
-
Dijadwalkan 2026, Pernikahan Azriel Hermansyah dan Sarah Menzel Usung Konsep Tiga Budaya
Artikel Terkait
-
Pesan Anies Baswedan untuk Relawan Muda: Demokrasi Tumbuh dari Warga yang Mau Turun Tangan
-
Kisah yang Tertinggal dari Penjual Sate di Pesisir Pasir Putih Situbondo
-
Suara Pesisir yang Padam: Hak Perempuan Nelayan yang Masih Terabaikan
-
Di Bawah Bayang Cerobong: Kisah Warga Cilacap Mempertahankan Ruang Hidup yang Kian Menyempit
-
Blue Carbon: Harta Karun Tersembunyi di Pesisir Indonesia
Kolom
-
Memberdayakan Siswa sebagai Agen Perubahan melalui Mentor Sebaya
-
Agresivitas Pelaku Bullying Menurut Psikologi, Benarkah Tak Selalu Jahat?
-
Tetap Junjung Etika, Stop Normalisasi Candaan Pakai Sebutan Nama Orang Tua
-
Laki-Laki Perlu Safe Space: Saatnya Lawan Bullying dari Beban Maskulinitas
-
Luka yang Tak Terlihat: Mengapa Kata Maaf Belum Cukup untuk Korban Bullying?
Terkini
-
Rating The Abandons Anjlok ke 23%, Eksekusinya Dinilai Kurang Maksimal?
-
Resmi Menikah Lagi, Amanda Zahra Gelar Pernikahan dengan Adat Jawa
-
Film Dokumenter Gestures of Care Tayang di JAFF 2025, Meningkatkan Kesadaran tentang Kebakaran Hutan
-
Momen Azizah Salsha Datang Melayat Ayah Pratama Arhan Jadi Sorotan Warganet
-
4 Rekomendasi Cushion Waterproof yang Anti Badai di Segala Cuaca