Hernawan | Yayang Nanda Budiman
Ilustrasi hukum dan keadilan (Freepik/freepik)
Yayang Nanda Budiman

RUU Perampasan Aset kembali mengisi ruang politik dan hukum di Indonesia. Seperti hantu yang terus berkelindan sejak pertama kali digagas, rancangan undang-undang ini selalu masuk daftar prioritas, lalu terlupakan, kemudian dimunculkan kembali setiap kali gelombang tuntutan publik meninggi. Kini, pemerintah dan DPR kembali menjanjikan bahwa 2025 akan menjadi tahun penting bagi pengesahan regulasi yang disebut-sebut sebagai senjata pamungkas pemberantasan korupsi.

Menteri Hukum memastikan rancangan ini telah masuk Prolegnas Prioritas. Baleg DPR pun menyatakan kesepakatannya untuk mulai membahas bersama pemerintah. Semua ini terdengar seperti jawaban atas jeritan publik yang jengah menyaksikan praktik korupsi berlangsung masif, sementara hukuman penjara saja tidak pernah cukup untuk mengembalikan uang negara. Rakyat tidak hanya ingin koruptor dihukum badan, tetapi juga berharap harta hasil kejahatan benar-benar dirampas agar kerugian bisa dipulihkan.

Akan tetapi perjalanan panjang RUU Perampasan Aset menunjukkan bahwa optimisme perlu disertai kewaspadaan. Rancangan yang telah berulang kali dipromosikan itu selalu kandas di tengah jalan. Alasan yang muncul pun beragam, mulai dari tarik-menarik kepentingan politik hingga keraguan akan mekanisme hukum acara yang ditawarkan.

Konsep utama yang diusung adalah perampasan aset tanpa harus menunggu vonis pidana berkekuatan hukum tetap. Gagasan ini sesungguhnya selaras dengan praktik di banyak negara yang menempatkan pemulihan aset sebagai tujuan setara dengan penghukuman. Namun di Indonesia, ide itu menghadapi resistensi. Kekhawatiran muncul karena mekanisme ini bisa berpotensi menabrak prinsip praduga tak bersalah. Bagaimana jika aset dirampas tetapi pemiliknya kelak terbukti tidak bersalah. Bagaimana jika pihak ketiga yang membeli atau menguasai aset dengan itikad baik ikut menjadi korban.

Di sisi lain, publik juga menyoroti lambannya proses pembahasan. Selama lebih dari satu dekade, RUU Perampasan Aset hanya menjadi janji berulang. Negara kehilangan triliunan rupiah setiap tahun akibat tidak adanya perangkat hukum yang memungkinkan penarikan cepat aset hasil korupsi. Namun legislasi selalu tersendat, seolah ada kekuatan yang merasa lebih diuntungkan dengan ketiadaan aturan tersebut.

Persoalan lain terletak pada transparansi. Masyarakat sipil berkali-kali meminta agar pembahasan dilakukan terbuka. Draft naskah akademik harus dapat diakses publik, bukan sekadar dokumen tertutup yang hanya beredar di meja legislatif. Tanpa keterlibatan masyarakat, besar kemungkinan isi RUU akan lebih condong pada kompromi politik ketimbang kebutuhan rakyat.

RUU Perampasan Aset juga menuntut kesiapan aparat. Perampasan aset yang efektif tidak bisa dijalankan hanya dengan semangat politik. Ia memerlukan lembaga penegak hukum yang independen, integritas yang terjaga, serta sistem pengelolaan aset sitaan yang transparan. Bayangkan jika aparat yang diberi kewenangan justru menyalahgunakan kekuasaan untuk merampas aset demi kepentingan pribadi atau kelompok. Alih-alih menjadi senjata melawan korupsi, RUU ini bisa berubah menjadi alat represi.

Meski begitu, membiarkan RUU ini terus terkatung-katung sama saja dengan membiarkan korupsi berakar semakin dalam. Hukuman badan tanpa perampasan aset hanya membuat para koruptor menjalani hukuman singkat, lalu menikmati kembali hasil kejahatan mereka setelah keluar dari penjara. Publik sudah terlalu sering menyaksikan bagaimana terpidana korupsi masih bisa hidup mewah karena harta mereka tidak tersentuh hukum.

Itulah mengapa RUU ini harus segera disahkan dengan desain hukum acara yang matang. Mekanisme pengawasan independen harus dibangun, perlindungan terhadap pihak ketiga yang beritikad baik harus jelas, dan prinsip keadilan harus tetap dijaga. Di samping itu, laporan publik tentang aset yang berhasil dirampas dan dikembalikan ke kas negara wajib diumumkan secara berkala agar kepercayaan masyarakat terjaga.

Sejauh ini, bola ada di tangan pemerintah dan DPR. Apabila mereka benar-benar serius, maka 2025 bisa menjadi tonggak sejarah di mana Indonesia melangkah lebih jauh dalam memerangi korupsi. Namun jika janji ini kembali kandas, publik akan semakin yakin bahwa RUU Perampasan Aset hanyalah jargon politik tanpa keberanian eksekusi.

Bergulirnya RUU Perampasan Aset adalah ujian bagi integritas negara. Apakah kepentingan publik benar-benar ditempatkan di atas kompromi elite, atau justru kembali dikorbankan. Sejauh ini, jalan masih panjang. Tetapi rakyat berhak untuk terus menagih, karena uang yang dirampas koruptor adalah hak mereka yang selama ini dirampok dari sekolah, rumah sakit, dan pelayanan publik yang seharusnya lebih baik.

Jika negara gagal melahirkan undang-undang ini, maka kegagalan itu bukan hanya soal hukum yang tertunda. Ia akan menjadi bukti bahwa negara lebih takut menghadapi elite yang diuntungkan oleh korupsi daripada mendengar suara rakyat yang menuntut keadilan.