Hikmawan Firdaus | Irhaz Braga
Ilustrasi hacker (Pixabay)
Irhaz Braga
Baca 10 detik
  • RUU ini dianggap bisa mengembalikan keadilan sosial serta memulihkan kerugian negara untuk rakyat.
  • Penundaan hanya menambah kecurigaan publik bahwa elite takut kehilangan kekayaan tak wajar.
  • RUU Perampasan Aset mendesak disahkan karena hukum sekarang lemah menarik kembali uang hasil korupsi.
[batas-kesimpulan]

Sudah terlalu lama publik dipaksa menunggu. Rancangan Undang Undang Perampasan Aset telah bergulir sejak era pemerintahan sebelumnya namun hingga kini nasibnya masih terombang ambing di meja politik.

Sementara itu praktik korupsi terus mencederai kepercayaan rakyat, menjarah kas negara, dan memperlebar jurang ketidakadilan. Tidak mengherankan jika desakan agar RUU Perampasan Aset segera disahkan kian keras terdengar. Pertanyaan yang wajar muncul adalah apa yang membuat rancangan undang undang ini begitu mendesak bagi publik.

Alasan pertama yang paling kentara adalah lemahnya instrumen hukum yang ada saat ini untuk mengembalikan kerugian negara.

Selama ini proses hukum korupsi lebih fokus pada vonis penjara. Memang ada mekanisme penyitaan namun jalannya kerap terhambat oleh pembuktian yang rumit dan berlarut larut.

Banyak aset hasil kejahatan akhirnya tidak bisa ditarik kembali ke kas negara bahkan tidak jarang sudah lebih dulu dialihkan atau dicuci melalui jaringan keuangan yang kompleks. Publik menyadari kelemahan ini. Mereka menuntut agar negara tidak sekadar menghukum pelaku melainkan juga merampas hasil kejahatan yang diperoleh secara tidak sah.

Alasan kedua adalah rasa keadilan yang tercabik.

Masyarakat kecil sering kali merasakan kerasnya hukum. Hutang cicilan yang macet atau tunggakan kredit bisa segera berujung pada penyitaan barang bahkan rumah. Ironisnya pejabat atau pengusaha kaya yang terjerat kasus korupsi tidak mengalami perlakuan yang sama.

Penyitaan aset mereka terhambat berbagai alasan formal mulai dari bukti yang tidak cukup gugatan hukum hingga permainan celah regulasi. RUU Perampasan Aset diyakini publik bisa mengoreksi ketimpangan ini karena prinsipnya sederhana. Siapa pun yang tidak bisa membuktikan asal usul kekayaannya harus rela melepaskan harta tersebut untuk negara.

Ketiga berkaitan dengan kepercayaan publik terhadap institusi negara.

Rakyat semakin sinis menyaksikan penanganan kasus korupsi yang berjalan setengah hati. Hukuman sering kali ringan potongan remisi mudah diberikan sementara aset yang dikuras tidak pernah kembali.

Jika RUU ini disahkan publik melihat ada harapan baru. Penegakan hukum lebih efektif kerugian negara bisa dipulihkan dan uang hasil kejahatan bisa kembali dipakai untuk kepentingan rakyat. RUU ini berpotensi menjadi tolak ukur apakah negara benar serius memberantas korupsi atau sekadar pandai berpidato.

Keempat ada aspek sosial ekonomi yang tidak bisa diabaikan.

Aset hasil korupsi bernilai sangat besar. Bila bisa dirampas dan dikelola kembali dana tersebut bisa dialokasikan untuk pendidikan kesehatan bantuan sosial hingga pembangunan infrastruktur yang bermanfaat bagi rakyat banyak. Di tengah situasi ekonomi yang menekan dengan harga kebutuhan pokok naik dan ketimpangan melebar tuntutan agar uang rakyat kembali ke rakyat semakin masuk akal. Publik tidak ingin kekayaan negara hanya dinikmati segelintir orang lalu hilang dalam rekening gelap atau investasi fiktif.

Namun di balik urgensi tersebut publik juga mafhum bahwa ada hambatan politik yang besar. Sebagian kalangan elite khawatir RUU Perampasan Aset bisa menjadi senjata politik untuk menekan lawan. Kekhawatiran itu berulang kali dijadikan alasan penundaan. Padahal publik menilai argumen itu lebih seperti tameng kepentingan. Ketakutan justru muncul karena RUU ini berpotensi menyasar mereka yang selama ini menikmati zona nyaman hasil akumulasi kekayaan yang tidak wajar.

Sesungguhnya solusi sudah tersedia. RUU ini bisa disusun dengan mekanisme pengawasan yang ketat transparansi publik dan kontrol lembaga independen. Dengan begitu kekhawatiran penyalahgunaan bisa diminimalkan sementara tujuan utamanya yaitu mengembalikan kerugian negara dan menegakkan keadilan tetap terjaga.

Yang membuat publik semakin mendesak adalah rasa jenuh terhadap janji janji kosong. Setiap periode pemerintahan selalu ada retorika komitmen pemberantasan korupsi. Namun tanpa regulasi yang memadai komitmen itu hanya tinggal slogan. Publik ingin bukti konkret dan RUU Perampasan Aset adalah salah satunya. Jika kembali ditunda kecurigaan publik bahwa ada ketakutan sistematis di kalangan elite akan semakin sulit terbantahkan.

Lebih jauh urgensi RUU ini bukan hanya soal teknis hukum tetapi juga soal moral politik. Apakah negara benar benar berpihak pada rakyatnya atau hanya melindungi kepentingan segelintir orang. Pertanyaan ini yang sesungguhnya menggelayuti desakan publik. Karena bagi masyarakat keadilan bukan sekadar soal menjebloskan koruptor ke penjara melainkan juga memastikan uang negara kembali untuk kesejahteraan bersama.

RUU Perampasan Aset kini telah menjadi simbol. Simbol harapan rakyat atas keadilan simbol ujian bagi pemerintah dan parlemen simbol pertarungan antara kepentingan publik dan kepentingan elite. Publik menginginkan pengesahan segera karena mereka lelah menunggu muak dengan korupsi dan haus akan keadilan.

Jika negara kembali menutup mata jangan salahkan bila kepercayaan rakyat makin terkikis. Yang publik inginkan sederhana harta hasil kejahatan harus kembali ke negara. Dan untuk itu RUU Perampasan Aset bukan hanya penting tetapi mendesak.