Persepsi umum seringkali menuding rendahnya minat baca masyarakat Indonesia sebagai biang keladi minimnya budaya literasi di Tanah Air.
Anggapan ini mengakar kuat, didukung oleh sejumlah riset internasional yang menempatkan Indonesia pada posisi bawah dalam hal literasi.
Akan tetapi, narasi ini perlu dikaji ulang. Data terbaru dan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa minat baca masyarakat, khususnya Generasi Z, justru mengalami peningkatan signifikan.
Permasalahan literasi yang sebenarnya jauh lebih kompleks, berakar pada ketidakmerataan akses terhadap bahan bacaan yang berkualitas dan terjangkau di seluruh penjuru negeri.
Selama ini, Indonesia seringkali dihadapkan pada stigma negara dengan minat baca yang rendah. Survei UNESCO pada tahun 2011 selalu dijadikan patokan bahwa hanya ada 1 orang dari 1000 yang gemar membaca.
Namun, gambaran ini mulai bergeser. Indeks Tingkat Gemar Membaca nasional berdasarkan Data Survei Tingkat Kegemaran Membaca 2024, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia menunjukkan tren peningkatan konsisten dari 55,74 pada tahun 2020 menjadi 72,44 pada tahun 2024, dikategorikan sebagai "Tinggi".
Peningkatan ini, salah satunya, didorong oleh Generasi Z, mereka gemar membaca buku dan menghabiskan 30-60 menit setiap kali membaca.
Fenomena Book Review, Bookstagram, dan Booktok yang marak di media sosial menjadi bukti nyata antusiasme terhadap buku dan aktivitas membaca.
Selain itu, tumbuhnya komunitas literasi dan pecinta buku di berbagai daerah juga mengindikasikan adanya minat yang tinggi, namun belum sepenuhnya terwadahi atau terlihat secara merata.
Meskipun demikian, dalam konteks global, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah besar, dengan rata-rata membaca 5,91 buku per tahun, berada di kategori moderate reader dan hanya 20,7 persen masyarakat yang rutin membaca setiap hari. Artinya, minat baca memang ada, tetapi belum menjadi kebiasaan saja.
Jika minat baca sebenarnya tidak serendah yang dipersepsikan, lantas mengapa masalah literasi di Indonesia masih menjadi sorotan?
Jawabannya terletak pada ketidakmerataan akses terhadap bahan bacaan. Ini adalah hambatan struktural yang menghambat pertumbuhan literasi, terlepas dari seberapa besar minat baca individual.
Ketersediaan buku masih terkonsentrasi di kota-kota besar. Daerah terpencil seringkali kekurangan toko buku, penerbit, bahkan perpustakaan yang memadai.
Ini menciptakan disparitas yang tajam antara wilayah perkotaan dan pedesaan, di mana anak-anak di daerah dengan akses pendidikan yang buruk cenderung memiliki tingkat literasi yang rendah.
Buku seringkali dianggap sebagai barang mewah, bukan kebutuhan pokok. Kenaikan ongkos produksi, distribusi, serta pungutan pajak, termasuk PPN 11 persen, telah menaikkan harga buku secara signifikan, membuatnya tidak terjangkau bagi sebagian besar masyarakat.
Hal ini berbeda dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand yang membebaskan pajak untuk menjaga keterjangkauan buku.
Meskipun digitalisasi menawarkan potensi besar untuk meningkatkan literasi, kesenjangan akses internet dan perangkat digital masih menjadi kendala, terutama di daerah 3T (Terdepan, Terpencil, Tertinggal. Meskipun buku digital meningkat, preferensi masyarakat Indonesia masih didominasi buku fisik.
Untuk itu peran pemangku kepentingan sangat krusial dalam hal ini. Pemerintah harus berupaya mempercepat pemerataan infrastruktur dan menyediakan akses bahan bacaan terjangkau atau berbiaya rendah, terutama di sekolah dan perpustakaan.
Dengan demikian, narasi mengenai rendahnya minat baca di Indonesia perlu direvisi. Sebenarnya, ada potensi minat baca yang tinggi, terutama di kalangan generasi muda, namun terhambat oleh realitas aksesibilitas bahan bacaan yang belum merata.
Mengatasi masalah literasi di Indonesia berarti fokus pada upaya sistematis untuk meruntuhkan tembok-tembok penghalang akses, bukan semata-mata menyalahkan minat baca individu.
Dengan menyediakan bahan bacaan yang terjangkau dan mudah diakses di setiap sudut negeri, Indonesia dapat benar-benar bergerak maju menuju masyarakat yang literat dan berpengetahuan.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
5 Rekomendasi Novel untuk Membaca Ulang Peristiwa Sejarah Tahun 1998
-
Solo Activity Bukan Tanda Kesepian, tetapi Bentuk Kemandirian Emosional
-
Bukan Sekadar Membaca: Kebijakan Resensi dan Literasi Kritis di Sekolah
-
Moderate Reader: Indonesia Peringkat Ke 31 Negara Paling Giat Membaca Buku
-
Jarak dan Trauma: Pentingnya Komunikasi Efektif dalam Novel Critical Eleven
Artikel Terkait
-
Ulasan Novel Rasina, Perjuangan dan Ketabahan Rasina di Era Penjajahan
-
Perjuangan Anak Berkebutuhan Khusus dalam Novel Senja di Sudut Rumah Sakit
-
Romansa dan Luka Masa Lalu dalam Novel Reuni Berdarah 1995
-
Kunci "3M" dari Bank Indonesia Agar Gen Z Jadi Miliarder Masa Depan
-
Menghayati Realita Hidup dari Keteduhan Kata dalam Kumpulan Puisi Kawitan
Kolom
-
Hobi atau Pencitraan? Fenomena Anak Muda yang Gonta-Ganti Hobi Demi Validasi
-
Bukan Cuma Guru Honorer, Freelancer Nyatanya Juga Tak Kalah Ngenes
-
Hari Guru Nasional 2025: Hukuman Fisik di Sekolah Disorot, Publik Sentil Pendidikan Etika
-
Refleksi Hari Guru: Euforia Perayaan, Beban Tugas, hingga Polemik Hukuman
-
Ironi Baru Sinema: Bioskop Kian Sepi di Tengah Ramainya Platform Streaming
Terkini
-
Nasib Apri/Fadia dan Lanny/Tiwi Dipertimbangkan Pelatih, Potensi Dirombak?
-
Ulasan Novel Rasina, Perjuangan dan Ketabahan Rasina di Era Penjajahan
-
Terungkap! Indra Sjafri Gunakan Metode Khusus untuk Pemain Timnas Indonesia
-
3 Hal yang Bisa Dievaluasi oleh Timnas Indonesia U-22 Jelang Sea Games, Apa Saja?
-
Perjuangan Anak Berkebutuhan Khusus dalam Novel Senja di Sudut Rumah Sakit