Sekar Anindyah Lamase | Ade Feri
Buku Kumpulan Puisi Kawitan (goodreads.com)
Ade Feri

Ni Made Purnama Sari sudah melalang buana menulis puisi dari media satu ke media lainnya. Buku kumpulan puisinya yang berjudul Kawitan adalah juara kedua Sayembara Manuskrip Puisi Dewan Kesenian Jakarta tahun 2015.

Buku ini sejatinya adalah himpunan dari puisi-puisinya yang sudah lebih dulu diterbitkan di media massa, seperti Koran Tempo, KOMPAS, Bali Post, dan beberapa judul juga sudah diterbitkan dalam buku antologi puisi.

Total adal 42 judul puisi yang terbagi menjadi dua bagian besar. Bagian pertama berjudul Muhibah Tanah Jauh dan terdiri dari 25 puisi, sedangkan bagian kedua hadir dengan judul Kampung Halaman dan terdiri dari 17 puisi.

Mayoritas puisinya erat berkaitan dengan memori suatu tempat di kota-kota tertentu, mulai dari pinggiran Jakarta, hutan Borneo, negeri Belanda, hingga Pulau Dewata sebagai tanah kelahirannya.

Puisi dalam buku ini memiliki bentuk sajak pendek yang sesekali dibuat abstrak. Direngkuh dengan kehangatan memori dan rasa empati yang emosional, setiap diksinya lantas menjelma jadi daya magis yang memikat.

Makna yang disampaikan pun cenderung tersirat sehingga bisa jadi pemaknaan puisi akan berbeda-beda sesuai cara pandang pembacanya.

Dibuka dengan puisi yang berjudul Doa Natal Keluarga Poyk, puisi ini membawa realita tentang kehidupan yang penuh gejolak. Mulai dari percobaan bunuh diri, kisruh rumah tangga, desa yang hangus terbakar, hingga kelaparan. Namun, di baliknya ada kehidupan penuh gemerlap yang sekilas tampak bagai ironi dalam lingkaran kehidupan manusia.

Begitu pula dengan puisi berjudul Cikoko Stasiun Cawang yang memotret realita menyayat hari di balik kesibukan orang yang berlalu-lalang di sepanjang stasiun kereta api. Di puisinya, ia menyebutkan seorang lelaki tua duduk termangu di depan pintu sembari menunggu koin-koin berdenting. Bunyi koin itu sebagai tanda bahwa ia telah menerima belas kasih dari orang lewat. Melalui narasi yang miris, lantas Aku lirik dalam puisi itu bermonolog tentang nasib dirinya yang sama-sama hidup dalam kesunyian.

Meski didominasi dengan puisi berlatarkan tempat, ada puisi lain yang menggunakan benda mati sebagai medium sajaknya. Salah satu yang paling menarik perhatian adalah puisi berjudul Ikan Asin Pasar Lama.

Dalam puisi ini, ikan-ikan asing yang berjejer di Pasar Lama dianalogikan bagai makhluk yang bersemayam tidak pada tempatnya, tidak pula di muara atau hulu sungai. Kisahnya bagaikan manusia yang terus beradaptasi di segala tempat sekaligus pasrah pada nasib hidup yang tidak sejalan dengan harapan.

Bagai menembus zaman, salah satu puisi yang bertajuk Weltevreden seperti menghantarkan kita ke suatu jalan di era Hindia-Belanda. Di jalan weltevreden atau daerah tempat tinggal orang Belanda di Batavia itulah banyak peristiwa terjadi. Gadis muda yang menjadi nyai, kebisingan jalan karena lantunan suara kereta dan bus kota, hingga jadi lokasi saling beradu mesra.

Jika dibandingkan dengan bagian pertama, puisi-puisi yang ada di bagian kedua memang terhitung lebih sedikit jumlahnya. Ditulis dengan judul Kampung Halaman, bagian ini terasa lebih dekat dengan tanah kelahiran penulis. Meskipun memang ada beberapa puisi yang berlatarkan di luar Bali, tetapi kehangatan dan sukacita masih mendominasi suasana puisi-puisinya.

Salah satu puisi di bagian ini yang ditulis dengan sederhana, tetapi tetap indah itu kemudian diberi judul Kuta. Hanya terdiri dari tiga bait, tetapi berhasil menggambarkan pertemuan dua insan dalam suasana pantai yang syahdu.

Begitu pula puisi yang berjudul Sanur seolah mengarungi keindahan alam yang berhasil mengantarkan memori untuk bernostalgia ke tempat-tempat indah di berbagai penjuru dunia.

Buku ini ditutup dengan puisi yang berjudul Doa Puisi. Menarasikan kehidupan dan kematian layaknya keberangkatan di kereta di stasiun, puisi ini lantas menyebutkan bahwa manusia hidup untuk menunggu mati, dan yang mati akan abadi lewat doa puisi. Penulis juga mengibaratkan perjalanan hidup bagaikan hiruk-pikuk suasana stasiun dan kereta api.

Kekuatan puisi-puisi di buku ini terletak pada kelihaian penulis menggunakan diksi yang umum dipakai orang awam. Hampir tidak ada kata arkais yang digunakan untuk memberi kesan estetik atau kata dalam bahasa sanskerta yang digunakan seolah menunjukkan kekayaan perbendaharaan kata. Namun, Purnama sangat andal merangkai diksi sederhana agar mengalun menjadi sebuah sajak-sajak yang patut dikagumi.

Membaca puisinya memang tidak lantas membuat kita bisa paham maksudnya, tetapi emosi yang dituliskan terasa nyata dan menyentuh. Oleh karenanya, pembaca harus membaca berkali-kali untuk bisa menghayati maksud puisi dalam buku ini.

Puisinya juga bukan tipe narasi panjang karena terdiri dari bait-baitnya pendek dan singkat. Di samping itu, topik yang diangkat dalam bait puisinya pun erat berkaitan dengan realita kehidupan manusia.

Identitas buku

Judul: Kawitan

Penulis: Ni Made Purnama Sari

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit: 2015

Tebal buku: 92 halaman

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS