Indonesia memiliki garis pantai terpanjang di dunia, lebih dari 99.000 kilometer. Di sana, hutan mangrove dulu berperan sebagai benteng alami yang melindungi daratan dari abrasi, badai, dan tsunami.
Namun dalam 40 tahun terakhir, lebih dari separuh luas hutan mangrove nasional menghilang karena lahan diubah jadi tambak, penebangan liar, dan pembangunan pemukiman.
Kini pemerintah, warga, dan organisasi lingkungan bekerja sama melakukan rehabilitasi hutan mangrove secara besar-besaran untuk memulihkan fungsi ekosistem pesisir yang hampir hancur.
CeritaDariPesisir datang dari Desa Bedono, Demak, Jawa Tengah. Dulu, desa ini punya lebih dari 300 hektare hutan mangrove yang lebat. Kini hanya tersisa kurang dari 30 hektare.
Abrasi laut sudah menerjang lebih dari 2 kilometer daratan sejak tahun 1990-an, ratusan rumah tenggelam, dan ribuan warga terpaksa pindah, menjadi pengungsi iklim di negeri sendiri.
Namun sejak 2018, warga bersama Yayasan Lahan Basah (Wetlands Indonesia) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mulai menanam kembali lebih dari 150.000 pohon mangrove. Sekarang, pohon-pohon itu sudah tumbuh hingga 3–4 meter, mulai menahan laju abrasi.
Program rehabilitasi mangrove terbesar dalam sejarah Indonesia diluncurkan Presiden Joko Widodo pada 2021 dengan target menanam 600.000 hektare mangrove baru hingga 2024. Sampai pertengahan 2025, menurut data KLHK, sudah lebih dari 520.000 hektare berhasil direhabilitasi di 34 provinsi.
Provinsi dengan capaian tertinggi adalah Papua Barat (87.000 hektare), Kalimantan Utara (72.000 hektare), dan Jawa Timur (65.000 hektare). Program ini melibatkan 1,2 juta relawan, 25.000 kelompok masyarakat pesisir, serta ratusan perusahaan melalui skema CSR.
SuaraHijau kini terdengar dari Bali. Di Desa Pemuteran, Buleleng, komunitas nelayan yang dulu memotong mangrove untuk tambak ikan kini menjadi penjaga hutan bakau.
Mereka membentuk kelompok bernama “Karang Lestari” yang tidak hanya menanam mangrove, tetapi juga memasang teknologi Bio-Rock untuk mempercepat pertumbuhan karang sekaligus melindungi akar mangrove yang masih muda.
Hasilnya, selama 10 tahun terakhir, populasi ikan di sekitar mangrove meningkat 400 persen, pendapatan nelayan meningkat, dan kerusakan pantai nyaris tidak terjadi.
Keberhasilan rehabilitasi mangrove ini berkat pendekatan berbasis masyarakat. Pemerintah kini tidak hanya menanam mangrove lalu pergi, tetapi juga memberikan insentif ekonomi.
Di banyak lokasi, warga diberi upah Rp35.000 hingga Rp50.000 per hari untuk menanam dan merawat mangrove selama tiga tahun pertama.
Setelah itu, mereka bisa mengambil hasil non-kayu seperti kepiting bakau, udang, dan madu mangrove secara berkelanjutan. Dua program utama yang membiayai rehabilitasi ini adalah Padat Karya Tunai Desa (PKTD) dan Program Mangrove for Coastal Resilience (M4CR).
Dari sisi ilmiah, mangrove yang direhabilitasi mampu menyerap karbon hingga empat hingga lima kali lebih banyak dibanding hutan tropis biasa. Satu hektare mangrove dewasa bisa menyimpan hingga 1.000 ton karbon biru (blue carbon).
Jika target 600.000 hektare tercapai, Indonesia bisa mengurangi emisi karbon sebesar 600 juta ton CO hingga tahun 2030, sekaligus memenuhi komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) sesuai Perjanjian Paris.
Namun, tantangan masih tinggi. Bibit mangrove yang tidak tepat jenis, serangan hama kepiting, serta gelombang ekstrem karena perubahan iklim sering menyebabkan tingkat keberhasilan penanaman hanya mencapai 40–60 persen di beberapa lokasi.
Oleh karena itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kini mewajibkan setiap proyek rehabilitasi untuk dimulai dengan pemetaan jenis mangrove asli setempat serta melibatkan ahli ekologi mangrove.
Di akhir tahun 2025, harapan baru mulai terlihat. Garis hijau mulai kembali tumbuh di banyak pesisir yang dulu gundul. Anak-anak nelayan kini bisa bermain di tepi hutan bakau yang dulu hanya berupa lumpur dan air laut.
Rehabilitasi mangrove nasional bukan hanya sekadar menanam pohon, tetapi juga tentang mengembalikan kehidupan, mata pencaharian, dan harapan bagi jutaan penduduk pesisir Indonesia.
Baca Juga
-
Dampak Pemanasan Global terhadap Ekosistem Pesisir Indonesia
-
Review Film Wasiat Warisan: Komedi Keluarga dengan Visual Danau Toba
-
Review Film Air Mata Mualaf: Perjalanan Iman yang Mengiris Hati
-
Budaya Bahari Nusantara: Salah Satu Warisan Leluhur yang Ada di Tepi Laut
-
Review Film Riba: Teror Riba yang Merenggut Nyawa Keluarga!
Artikel Terkait
-
Dari Pantai Pasir Putih Hingga Karnaval Spektakuler: Intip Kemeriahan Akhir Tahun di Pesisir Jakarta
-
Berpotensi Ancam Wilayah Pesisir: Ini Suara untuk UU Konservasi
-
Migrasi Sunyi Nelayan: Ketika Laut Tak Lagi Menjanjikan Pulang
-
Akar Melawan Ombak: Perjuangan Komunitas Mangrove Menyelamatkan Pesisir
-
Dampak Pemanasan Global terhadap Ekosistem Pesisir Indonesia
Kolom
-
Eldest Daughter Syndrome: Beban Anak Perempuan Sulung yang Terabaikan
-
Belajar Menjadi Ruang Aman untuk Orang Lain Lewat Lagu 'Jiwa yang Bersedih'
-
Fenomena Kasus Bullying Viral: Mengapa Kita Baru Bergerak saat Sudah Telat?
-
Hari Antikorupsi Sedunia: Harapan Terbesar Kini Ada di Anak Muda
-
Difabel Rentan Jadi Korban Bullying, Ini Pentingnya Ruang Aman Inklusif!
Terkini
-
Aura Kasih Ungkap Upaya Jadi Single Parent Tanpa Nafkah Mantan Suami
-
Curi Perhatian di Spirit Fingers, Ini 3 Drama Lain dari Jo Joon Young
-
Hukuman Nikita Mirzani Diperberat: Vonis Banding Naik Jadi 6 Tahun?
-
Gumiho Gen Z! Drama Baru Kim Hye Yoon dan Lomon Konfirmasi Tanggal Tayang
-
Sudah Korbankan 4 Hal Penting Ini, Timnas Indonesia Sama Sekali Tak Pantas Kalah dari Filipina!