Tanpa kita sadari, budaya diam di sekitar kasus bullying masih sering terjadi. Akibatnya, korban merasa terjebak dalam rasa takut dan ketidaknyamanan yang terus berulang. Banyak dari mereka memilih bungkam bukan karena baik-baik saja, tetapi karena merasa tidak ada yang benar-benar mau mendengarkan atau melindungi.
Luka yang mereka simpan perlahan memengaruhi kesehatan mental, sementara kecemasan bahwa keadaan akan memburuk jika mereka berbicara membuat mereka semakin menutup diri.
Di lingkungan pendidikan, situasi ini menjadi lebih parah ketika keluarga, sekolah, atau teman sebaya membiarkan perilaku itu berlangsung tanpa tindakan.
Penelitian juga menunjukkan bahwa kurangnya respons dari lingkungan membuat bullying tampak seperti sesuatu yang biasa, padahal dampaknya bisa sangat serius bagi korban.
Akar Budaya Diam: Ketakutan, Normalisasi, dan Sikap Masa Bodoh
Korban bullying sering kali memilih untuk diam bukan karena keinginan sendiri, melainkan karena terpaksa. Itu menjadi cara mereka bertahan ketika tidak tahu lagi kepada siapa harus mengadu.
Mereka takut jika bercerita, justru akan dibalas oleh pelaku, dianggap lemah, atau situasinya menjadi semakin rumit. Ketakutan itu tumbuh karena lingkungan tidak memberi tanda bahwa mereka akan dibela atau didukung.
Di sekolah, kondisinya bisa terasa lebih berat. Ada budaya senioritas, candaan berlebihan yang dianggap wajar, atau guru yang tidak segera turun tangan ketika peserta didiknya mengalami perundungan. Hal-hal seperti inilah yang membuat korban merasa sendiri dan takut untuk bercerita. Mereka akhirnya belajar bahwa lebih aman untuk diam daripada mengambil risiko dijauhi atau diperlakukan lebih buruk lagi.
Penelitian menunjukkan bahwa ketika lingkungan tidak merespons atau justru menormalisasi kekerasan, baik verbal maupun fisik, diam menjadi pilihan yang paling mudah bagi peserta didik. Mereka menganggap sudah tidak ada lagi yang mau membela, sehingga suara mereka perlahan tenggelam di tengah lingkungan yang membiarkan bullying terus berlangsung.
Saat Lingkungan Diam, Luka Korban Semakin Dalam
Lingkungan yang memilih diam bukan hanya gagal membantu korban, tetapi juga memberi ruang bagi pelaku untuk bertindak tanpa rasa takut. Ketika tidak ada yang menegur atau menghentikan, pelaku akhirnya berpikir bahwa perilaku mereka diterima atau bahkan didukung.
Tanpa dukungan, korban menjadi jauh lebih rentan. Mereka mudah mengalami stres berkepanjangan, kecemasan, dan kehilangan kepercayaan diri. Luka yang dipendam terlalu lama bisa berubah menjadi keputusasaan, hingga beberapa korban merasa tidak punya jalan keluar selain menyakiti diri sendiri.
Di banyak sekolah, budaya membiarkan atau menganggap bullying sebagai hal biasa membuat kasus serupa terus berulang. Pelaku merasa aman karena tidak ada hukuman, sementara korban semakin tenggelam dalam rasa takut. Siklus ini akan terus berjalan jika tidak ada pihak yang berani memutusnya.
Masalah menjadi lebih besar ketika teman sebaya tidak membela, guru tidak segera bertindak, dan keluarga tidak menyadari tanda-tanda bahwa anaknya sedang disakiti. Ketika semua orang memilih untuk tidak peduli, lingkungan perlahan kehilangan empati dan rasa kemanusiaannya.
Penutup: Membangun Lingkungan yang Berani Bersuara
Budaya diam tidak akan pernah hilang jika tidak ada yang berani memutusnya. Sekolah, keluarga, dan masyarakat perlu berjalan searah: guru yang tanggap, orang tua yang memperhatikan perubahan anak, dan teman sebaya yang berani berdiri di sisi korban. Penelitian kriminologi juga menekankan pentingnya aturan anti-bullying yang jelas, pengawasan yang serius, dan dukungan emosional yang berkelanjutan.
Kadang, perubahan besar dimulai dari satu orang yang berani untuk tidak diam. Tindakan sederhana seperti membela, melapor, atau sekadar mendengarkan sudah cukup untuk membuka jalan menuju lingkungan yang lebih aman. Ketika kita berani bersuara saat melihat tanda-tanda bullying, kita ikut menciptakan ruang yang melindungi semua orang. Dari langkah kecil itu, rasa aman dan kepedulian bisa tumbuh di sekitar kita.
Referensi
Alfatir, M. N., Akbar, R., Nathanael, K., Najma, S. N. N., & Nugraha, S. (2024). Efektivitas pengaruh lingkungan terhadap korban bullying berdasarkan perspektif kriminologi dalam ranah pendidikan. Media Hukum Indonesia, 2(3), 104–109.
https://www.livescience.com/8994-bully-victims-suffer-silence.html
Baca Juga
-
Belajar Menjadi Ruang Aman untuk Orang Lain Lewat Lagu 'Jiwa yang Bersedih'
-
Luka yang Tak Terlihat: Mengapa Kata Maaf Belum Cukup untuk Korban Bullying?
-
No Viral No Justice: Ketika Kasus Bullying Baru Dipedulikan setelah Ramai
-
Bukan Lagi Salah Korban: Saatnya Menuntaskan Akar Bullying
-
Safe Space: Mengapa Penting dan Bagaimana Kita Bisa Menjadi Ruang Aman
Artikel Terkait
Kolom
-
Sekolah Apung: Solusi Pendidikan bagi Anak-Anak Pesisir di Daerah Terpencil
-
Bukan Sekadar Anak Nakal: Kupas Luka Psikologis di Balik Pelaku Bullying
-
Workplace Bullying: Perundungan yang Dianggap Normal di Kantor, Relate?
-
KPK setelah Revisi: Dari Macan Anti-Korupsi Jadi Kucing Rumahan?
-
Konservasi Penyu di Pantai Sukamade Banyuwangi yang Menginspirasi
Terkini
-
5 Drakor Sageuk Netflix dengan Rating Tertinggi, Wajib Masuk Watchlist!
-
Nova Arianto Minta Indonesia Tetap Jaga Asa Tampil di Piala Dunia
-
Resmi Cerai dari Ahmad Assegaf, Tasya Farasya Ngaku Sempat Hampir Menyerah?
-
Review Film Now You See Me: Now You Don't, Kritik Tajam ke Dunia Korup
-
Perjuangan Melawan Kemiskinan dan Tradisi Kaku dalam Novel Bertajuk Kemarau