Hikmawan Firdaus | e. kusuma .n
Ilustrasi kafe (Pexels/Gül Işık)
e. kusuma .n
Baca 10 detik
  • Cagongjok di Korea: belajar/kerja di kafe, tetap beli minum tapi sering lama duduk.
  • Fenomena ini picu kontroversi etika, ganggu pelanggan lain & pemilik kafe.
  • Rojali Rohana di Indonesia: rombongan di mall yang jarang beli, bikin outlet resah.
[batas-kesimpulan]

Belakangan fenomena Rojali Rohana di pusat perbelanjaan Indonesia mulai dikenal dan banyak terjadi di berbagai mall besar. Merujuk pada akronim “Rombongan Jarang Beli” dan “Rombongan Hanya Tanya”, fenomena ini cukup meresahkan outlet karena memicu penurunan daya beli.

Sebenarnya Rojali Rohana nggak melulu merugikan, karena rombongan ini tetap berdampak positif pada outlet kuliner. Rojali Rohana tetap mampir buat makan atau sekadar jajan minuman selama jalan-jalan di mall.

Menariknya, fenomena sejenis ternyata juga terjadi di Korea, lho. Budaya Cagongjok, namanya. Kalau Rojali Rohana ‘menyerang’ mall, berbeda dengan Cagongjok yang terjadi di kafe. Subjeknya juga berbeda, yaitu para pekerja dan pelajar.

Banyak yang menilai kalau Cagongjok yang jadi budaya baru di Korea ini merupakan another level dari Rojali Rohana yang ada di Indonesia. Dengan konsep yang mirip, baik Cagongjok maupun Rojali Rohana sama-sama menjadikan satu tempat beralih fungsi.

Apa Itu Cagongjok?

Melansir dari The Korea Herald, Cagongjok adalah akronim dari gabungan kata "cafe", "gongbu" (belajar), dan "jok" (suku atau kelompok). Jadi, istilah Cagongjok mengarah pada orang yang belajar di kafe dan berkembang menjadi WFC atau Work From Cafe.

Berbeda dengan Rojali Rohana yang memicu penurunan daya beli karena pelanggan sama sekali tidak melakukan transaksi pembelian barang, sebenarnya Cagongjok nggak sepenuhnya merugikan kafe.

Pasalnya, kelompok Cagongjok ini masih tetap membeli makanan atau minuman selama ‘nongkrong’ di kafe meski sembari belajar atau bekerja. Namun, ternyata Cagongjok justru memicu perdebatan sengit terkait etika.

Kontroversi Cagongjok

Bagi pelanggan lain, keberadaan Cagongjok mengusik etika penggunaan ruang publik, dalam hal ini kafe yang juga menjadi hak konsumen umum. Cukup banyak pelanggan yang kesal karena Cagongjok menguasai spot di kafe dalam waktu yang lama.

Padahal, mungkin saja pelanggan lain juga menginginkan spot tersebut dan keberadaan Cagongjok yang seolah jadi ‘penguasa’ tetap jadi terasa mengganggu. Pelanggan lain jadi nggak bisa bergantian, apalagi kalau kafe sedang ramai-ramainya.

Di sisi lain, pemilik kafe juga mulai merasakan imbasnya. Para Cagongjok yang belajar dan bekerja berjam-jam membuat kesal karena sering kali hanya memesan satu menu tanpa tambahan. Padahal kalau berganti pengunjung lain, pendapatan kafe bisa bertambah.

Bahkan, Cagongjok juga semakin eksis dan menunjukkan kenyamanan di ruang publik ini. banyak keluhan yang mengarah pada Cagongjok ‘bebal’ yang sampai membawa PC bahkan printer untuk menunjang kebutuhan kerjanya.

Kontroversi keberadaan Cagongjok pun semakin memanas setelah keluhan dari pelanggan dan pemilik kafe semakin banyak bermunculan. Budaya Cagongjok bak ‘jalan ninja’ untuk membangun kantor darurat tanpa harus mendirikan bangunan baru.

"Gong" Sebagai bentuk Self-Development

Meski kontroversial, tapi fenomena Cagongjok juga bisa memberikan perspektif baru tentang “gongbu” atau kegiatan belajar sebagai bentuk self-development. Kafe yang populer di kalangan anak muda sebagai tempat nongkrong ternyata juga bisa dimanfaatkan jadi ruang kerja dan belajar.

Budaya Cagongjok di Korea ini juga jadi peluang ruang WFC yang nyaman dan memudahkan akses kebutuhan dasar. Saat pekerja atau pelajar dituntut bekerja dan belajar cepat tanpa distraksi urusan perut, mereka bisa langsung memesan tanpa kendala.

Ruang baru untuk bekerja dan belajar pun bisa memudahkan insight datang hingga hasil karya bisa lebih kreatif. Hanya saja, aturan etika tetap harus diperhatikan mengingat cafe adalah public space yang bisa saja keberadaan Cagongjok mengganggu kenyamanan pengunjung lain.