Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | fadilah azzahra
Ilustrasi uang rupiah

Penghujung tahun 2020 sudah di depan mata dan kurang dari 30 hari lagi tahun 2021 akan segera dimulai. Pertumbuhan ekonomi global yang terkontraksi pada tahun ini akibat dari terus meningkatnya kasus Covid-19 menandakan semakin dalamnya ketidakpastian ekonomi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Perekonomian Indonesia yang tak lepas dari ekonomi globalpun turut mengalami kontraksi pada tahun ini.

Jika kita melihat kilas balik di sepanjang tahun ini dari sisi ekonomi banyak hal yang telah terjadi akibat dari dampak pandemi Covid-19 diantaranya terjadi penurunan yang drastis pada kinerja perbankan, tingkat usaha, dan daya beli masyarakat. Hal ini menyebabkan ketidakpastian ekonomi yang begitu tinggi sehingga membuat pemerintah mengeluarkan berbagai langkah dalam menanggulangi permasalahan ekonomi yang timbul, salah satunya membuat pelonggaran kebijakan moneter untuk mendorong pemulihan ekonomi.

Pelonggaran kebijakan moneter yang dilakukan oleh pemerintah melalui Bank Indonesia diantaranya yaitu : Pertama, memperkuat sistem pembayaran melalui penggunaan uang kertas yang higienis dan mendorong transaksi non-tunai. Kedua, menurunkan suku bunga acuan menjadi 4,25%, menurunkan 25 basis poin suku bunga deposit facility menjadi 3,50% dan suku bunga lending facility menjadi 5%.

Ketiga, memperpanjang tenor repo Surat Berharga Negara (SBN) sampai 12 bulan, dan menyediakan lelang harian dengan jumlah tidak terbatas. Keempat, memberikan jasa giro kepada bank yang memenuhi kewajiban giro wajib minimum (GWM) dalam rupiah, baik secara harian dan rata-rata sebesar 1,5% per tahun, dengan bagian yang diperhitungkan untuk mendapat jasa giro sebesar 3% dari dana pihak ketiga (DPK).

Kelima, memperkuat term deposit valas, mempercepat ketentuan berlakunya rekening DNDF, memperluas insentif giro wajib minimum (GWM) rupiah yang semula hanya ditujukan bagi bank yang menyalurkan kepada aktivitas ekspor impor, diperluas kepada yang menyalurkan ke UMKM dan sektor lain. Terakhir, BI juga terus melakukan dan meningkatkan intensitas triple intervention (Spot Foreign Exchange, Domestic Non Delivery Forward, Bond Market) dan terus mengoptimalkan operasi moneter untuk menjaga likuiditas.

Kebijakan ini diberlakukan untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional yang tengah mengalami tekanan berat akibat pandemi Covid-19 dan sebagai langkah antisipasi dari terjadinya resesi.

Pemulihan ekonomi nasional sebaiknya difokuskan pada peningkatan ketahanan sektor riil dengan memberikan stimulus moneter yang bersifat mengurangi beban pengeluaran atau memberikan bantuan pinjaman secara langsung kepada dunia usaha. Oleh karena itu banyak Stimulus moneter yang gencar dihadirkan oleh pemerintah dalam rangka mendorong pemulihan ekonomi di negara-negara yang terkena dampak dari wabah global Covid-19, salah satunya di Indonesia.

Bank Indonesia (BI) terus melanjutkan komitmennya untuk pendanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2020 telah melakukan pembelian surat berharga negara (SBN) untuk pendanaan dan pembagian beban dalam APBN 2020 guna program pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp. 473,42 triliun. BI juga telah merealisasikan pembagian beban dengan Pemerintah atas penerbitan SBN untuk pendanaan Non-Public Goods-UMKM sebesar Rp. 114,81 triliun dan Non-Public Goods-Korporasi sebesar Rp. 62,22 triliun.

Dalam rangka merealisasikan kebijakan yang telah dibuat, pemerintah diharapkan lebih konsisten dan terkoordinasi agar lebih optimal, tak lupa di sertai dengan keseimbangan antara perlindungan nyawa dan mata pencaharian. Semoga Indonesia dapat mempercepat pemulihan ekonominya kearah positif yaitu kembalinya kegiatan usaha dan peningkatkan kepercayaan daya beli masyarakat sejalan dengan terciptanya rasa aman di tengah-tengah masyarakat lewat penerapan protokol kesehatan, dengan begitu diharapkan target pertumbuhan ekonomi di tahun 2021 dapat meningkat secara signifikan.

Oleh: Fadilah Azzahra, Mahasiswi S1 Pendidikan Ekonomi, Universitas Negeri Jakarta

fadilah azzahra