Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | ahmaddahri
Ilustrasi menangis. (Shutterstock)

Air mata mata air, mengalir menyungai, gemericik riuh melebur deru ombak.

Air mata mata air, mengalir ke bawah rerimbunan dan akar kejadian manusia, kejadian gelap gulita, kejadian deru angin dan fatamorgana.

Air mata mata air, mengalir menyusuri celah, menyelinap di anatara romansa debu dan tanah. Bahkan tai anjing pun basah.

Air mata mata air

Air, air pelarian

Dari seksama serasa batu mengeras di ujung tanah.

Air mata mata air, air berlinang membanjiri kelopak mata,

Ibu bumi, ibu pertiwi, ibu jari gigit jari.

Air mata mata air

Air liur membasuh mata

Mata air air mata

Mata-mata air-air

Ari-ari di ujung mata

***

Ia datang dan berbisik “Adakah kasihmu terpaut?”

Aku diam, membisu membatu menyambut ruam, rasa yang tak karuan.

“Jangan diam sama! Cepat jawab!” katanya

Bibirku keluh, menyambut tangan di pundak, menerkam sampai dalam, entah? Sampai di uluh hati.

“Hati-hati, di depan sana ada cerita yang lebih besar.” Kata hatiku

Aku semakin terdiam, bisu dan membatu

Air mata, mata Air

Ari-ari di ujung mata.

Menyambut keluh yang semakin bisu, semakin riuh di antara sepi yang samakin sunyi.

Diam seribu bahasa, di antara kepalan-kepalan tangan

Entah? Tangan itu sebesar gunung, seluas lautan, yang mengombang-ambingkan
tangan besi, kata orang.

Air mata mata air, di antar ujung mata dan ketakutan.

ahmaddahri