Scroll untuk membaca artikel
Munirah | Fachry
Ilustrasi Cinta. (pexels.com)

Aku ingin cintaku kepadanya tanpa pamrih tanpa mengharapkan satu imbalan apapun kepadaku. Bahkan ketika diberi kesempatan untuk dapat merasakan cintanya

Aku ingin cintaku kepadanya tanpa pamrih, sebab aku hanya menginginkan cintaku yang murni kepadanya tanpa campur tangan hasrat, apalagi keinginan untuk dapat memiliki cinta dan jasadnya

Sebab ketika aku mencintainya, rasanya sudah cukup bagiku untuk cinta itu sendiri; tanpa didasari oleh keinginan-keinginan duniawi, atau hal-hal lain yang membuat cinta tak lagi murni

Aku mencintainya, karena itu tak mungkin aku pamrih terhadap cintaku sendiri. Meski waktu kiat berjalan maju dan mengubah semuanya, takkan sampai hati bila ku lukai perasaannya

Apabila aku tak lagi mencintainya, aku merasakan hidupku sangatlah hampa sebab aku telah kehilangan kesejatian dalam cintaku. Namun apabila aku kehilangan dirinya, tetapi hatiku masih utuh mencintainya, itu bukanlah suatu masalah: sebab cintaku akan selalu bersamanya, kemanapun hatinya melangkah

Aku mencintainya, walaupun tak pernah bisa ia merasakan cintaku. Dulu aku mengharapkannya, namun sekarang tidak lagi. Mungkin karena penolakan, aku lebih banyak belajar mencintai

Mencintaimu tidak akan pernah membuatku menyesal sedikitpun, sebab penyesalan ada hanya untuk orang-orang yang menyia-nyiakan perasaannya

Aku mencintainya, maka dari itu selalu ku manfaatkan waktu sebaik mungkin: kala aku masih bisa melihat kehadirannya. Sebelum perpisahan hadir, dan memisahkan dia jurang takdir

Dia adalah wanita yang amat ku cintai, ruh dari segenap ruhku; jiwa dari seluruh jiwaku. Meskipun jiwa dan ruh tak dapat disentuh, namun tanpa jiwa dan ruh, jasad manusia tak mungkin bisa utuh

Aku percaya, bahwa apa yang disampaikan oleh hati, akan sampai kepada hati yang lain

Itulah mengapa aku dapat merasakan cintanya ketika pertama kali ia memberikan senyumannya kepadaku. Aku yakin senyumannya kepadaku dahulu, merupakan senyuman yang terlukis dari sebuah ketulusan

Aku mencintainya, dan masih mencintainya. Cintaku kepadanya telah melampaui batas takdir hidupku

Ada namanya tertulis pada dinding takdirku, sedang tak ada namaku tertulis pada dinding takdirnya

Namun apalah sejatinya cinta, bila takluk pada takdir manusia?

Sebab cinta tak mengenal antara takdir baik ataupun buruk

Aku mencintainya, Tuhan

Berdosakah bila tak ku cari penggantinya?

Bogor, 5 September 2021.

Fachry