Scroll untuk membaca artikel
Munirah | Taufan Rizka Purnawan
Ilustrasi Peperangan. (pixabay.com)

Gegap gempita seruan sastra yang terasa menghantam seantero dunia. Bait-bait sastra yang mengubah segala kehidupan dunia. 

Seakan menantang dunia yang tercabik-cabik akibat perang yang telah melenyapkan jiwa-jiwa yang tak berdosa. Seruan lantang pada dunia akan kehancuran dunia yang dirundung perang. Perang demi perang yang tak pernah ada habisnya. Yang berkobar terus-menerus tak pernah berhenti sekalipun.

Dunia semakin ruwet kala dicekik perang. Seolah memberi isyarat bahwa perang adalah jalan abadi meraih ambisi segala kuasa pada dunia. Busuknya para elit dunia yang tak peduli pada nurani kemanusiaan. Nurani kemanusiaan bagi para jiwa-jiwa yang semakin lenyap di dunia. 

Para elit dunia yang tak peduli akan hasil dari peperangan yang terus berkibar. Hanyalah perang dan perang saja yang ada di benak pikiran mereka. Tak pernah terpetik rasa lelah untuk mengakhiri peperangan yang semakin menyiksa dunia.

Kemudian terdengar seruan yang begitu menggetarkan seantero dunia. Jutaan bait-bait sastra yang melantunkan akan perdamaian. Seakan perang tak pernah usai. Hingga membuat muak manusia seantero dunia. 

Suara lantang yang sangat mengguncang seantero dunia yang sangat menghanyutkan. Pesan-pesan perdamaian pada jutaan bait sastra yang terbentang menyebar kemana-mana. 

Kemudian pesan-pesan perdamaian yang terhantar kepada dunia akhirnya berseru menghentikan perang. Saling berdamai pihak-pihak yang bertikai. Saling membantu membangun kembali kehidupan dunia yang porak poranda akibat perang.

Taufan Rizka Purnawan