Scroll untuk membaca artikel
Munirah | Rico Andreano Fahreza
Ilustrasi Raga yang Mati. (pixabay.com)

Raga bagai tulang belulang yang berjalan menyusuri alam perjalanan kehidupan dunia yang  tak pernah ada hentinya. Dalam hardikan dunia yang terus mendera ragaku. Tercerabutnya seluruh gumpalan daging yang melekat pada ragaku. Jiwa yang pelan-pelan musnah dari tumpukan tulang belulang. Kepala tinggal sebuah tengkorak. Walau raga masih hidup, namun jiwa telah mati.

Seperti detak jam yang menunjukkan kuasa waktu yang terus memacu dengan cepatnya. Tulang belulang yang berjalan terus melampaui hamparan dunia yang sangat kejam bagiku. Gumpalan daging yang menopang perkasa rupaku dahulu melekat dengan erat. Balasan dunia yang sangat ganas begitu menyakitiku.

Hilang sudah ragaku yang sejati seutuhnya. Dibuang jauh-jauh oleh Illahi ke dalam kehidupan nyata setelah kehidupan dunia. Dunia amburadul penuh kebohongan yang seakan manusia tak menyadarinya.

Surutnya hidupku yang tertampar begitu dekat dengan azab yang kian lama kian menghampiriku. Bertubi-tubi buah yang harus kupetik kala menanam kejahatan ulahku sendiri. Berguguran segala nurani yang melekat pada jiwa. Berantakan sudah batinku yang penuh bergelimpangan tak karuan.

Seolah kiasan kesanggupan yang kuterima tak ada lagi dalam menjalani segala kehidupan yang nyata. Sebuah azab yang dilantunkan sebagai balasan segala lalim yang menjiwai diriku. Kuasa Illahi bagi diriku yang tak pernah mendengar seruan akan azab-Nya yang begitu nyata nan pedih sangat mematikan segenap isi tubuhku.

Tinggal menunggu pengadilan akhirat yang menuntun langkahku menuju api neraka. Hidup dalam keabadian api neraka yang berkobar nyalanya yang menjilat seluruh tubuh.

Rico Andreano Fahreza