Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Nindya Ayu
Aktivitas masyarakat bantaran Sungai Arut menjelang terbenanmnya matahari. (Dokumentasi Pribadi/Nindya Ayu)

Siapa sih yang tidak tahu Pulau Kalimantan ? Pulau terbesar di dunia yang sebagian besar wilayahnya termasuk dalam wilayah Indonesia. Pulau yang juga terkenal dengan julukan ‘paru-paru dunia’ dan ‘pulau seribu sungai’.

Dengan keeksotisan alam yang dimilikinya, saya yakin kalian sudah pada tahu bahwa di Kalimantan terdapat beberapa destinasi wisata yang menjadikan hutan dan fauna sebagai objek utama atau mungkin hutan dengan kearifan lokal masyarakat adatnya. Namun, pernahkah kalian dengar wisata susur sungai yang menjadikan sungai dan kehidupan masyarakat di bantaran sungai sebagai objek utamanya? Agar tidak penasaran, mari simak artikel ini sampai tuntas!

Beberapa Minggu lalu saya berkesempatan mengunjungi salah satu destinasi wisata yang ada di Kalimantan Tengah – Indonesia. Destinasi wisata tersebut bernama Kampung Sega. Sebuah objek wisata yang menjadikan sungai dan kehidupan di sekeliling sebagai objek utamanya. Sungai tersebut bernama Sungai Arut.

Melansir dari id.wikipwedia.org Sungai Arut adalah salah satu sungai besar yang mengalir di wilayah Kabupaten Kotawaringin Barat dan melintasi Pangkalan Bun sebagai Ibukota kabupatennya. Sungai ini merupakan anak dari Sungai Lamandau.

Dulu Sungai Arut memiliki peranan penting bagi kehidupan masyarakat setempat. Sungai ini pernah digunakan sebagai jalur transportasi utama dan juga merupakan pusat perekonomian penduduk Kotawaringin Barat dan sekitarnya. Namun, seiring perkembangan zaman, infrastruktur, dan moda transportasi sungai ini semakin ditinggalkan. Pusat perekonomian tidak lagi ada di Sungai Arut dan kondisi perekonomian penduduk yang bertempat tinggal di sekitaran sungai semakin hari semakin menurun.

Sempat berbincang dengan salah satu masyarakat yang tinggal di area Kampung Sega, area wisata yang juga disebut sebagai Kampung Pelangi ini dibangun untuk memulihkan perekonomian masyarakat setempat. Penataan ulang tanpa mengesampingkan bangun khas masyarakat bantaran sungai dilakukan untuk memberikan kesan lokal pada pengunjung yang datang dari luar kota.

(Dokumentasi Pribadi/Nindya Ayu)

Tidak salah memang jika Kampung Sega disebut sebagai Kampung Pelanginya Pangkalan Bun. Pertama menjejakkan kaki di area ini para wisatawan termasuk saya langsung disambut dengan tulisan Kampung Sega yang di belakangnya terdapat ornamen berbentuk setengah lingkaran bewarna merah, kuning, hijau, dan biru menyerupai pelangi. Rumah-rumah penduduk yang berada di area ini juga dicat menggunakan cat warna-warni. Menurut info yang saya dapat, ‘sega’ dalam bahasa sehari-hari orang Pangkalan Bun berarti indah. Area ini diberi nama Kampung Sega dengan harapan dapat meninggalkan kesan yang baik, yang indah, dan membekas dalam benak orang-orang yang pernah berkunjung.

Tidak puas berdiri di depan tulisan Kampung Sega, saya pun mencoba berjalan menyusuri bangunan-bangunan kayu yang ada di pinggir sungai. Saya berjalan seorang diri memerhatikan aktivitas orang-orang bantaran sungai menjelang terbenamnya matahari. Mereka menyambut dengan senyum hangat dan sapa yang ramah menggunakan dialeg melayu khas Pangkalan Bun. Ada yang sibuk merapikan jala yang baru saja digunakan untuk menangkap udang, ada yang sibuk berbincang di pinggir sungai sembari menikmati kopi dan kue ilat sapi khas Pangkalan Bun, Ada yang duduk melamun memegangi pancing menanti umpannya disergap oleh ikan-ikan yang berenang di pinggiran sungai, dan ada yang sibuk berenang di tengah sungai.

Perhatian saya tertuju kepada mereka yang sedang berenang di tengah sungai. Ya di tengah, bukan di bantaran lagi. Hal itu menarik perhatian saya karena yang berenang tidak hanya satu, dua, atau lima orang tetapi lebih. Melihat saya sumringah mengambil gambar di pinggir sungai salah seorang warga datang mendekat dan menyapa saya. Ia bercerita tentang aktivitas masyarakat setempat yang saat itu tengah menjadi perhatian saya. “Orang-orang itu sedang behanyut, melepaskan kesedihan dari musibah yang sedang diterimanya”, kata beliau.

Usut punya usut, ternyata saya beruntung berkunjung ke Kampung Sega pada waktu itu, sebab tradisi behanyut yang saat itu saya saksikan tidak ada setiap hari. Tradisi tersebut hanya ada ketika musim hujan saja. Itupun kalau air Sungai Arut meluap. Saat musim hujan tiba, biasanya debit air naik. Sungai arut yang mendapat kiriman air dari Sungai Lamandau dan sungai-sungai kecil lain tidak mampu menampung semua air yang datang. Akhirnya air sungai meluap dan membanjiri pemukiman yang berdiri di pinggir sungai. Bukannya mengungsi, masyarakat setempat memilih membuang kesedihan mereka dengan cara behanyut di sungai. Bahkan tidak sedikit masyarakat dari luar daerah datang bergabung dengan mereka.

Penasaran dengan apa yang terjadi di tengah sungai saya pun memutuskan menghampiri perahu-perahu yang berjajar di pinggir sungai, masyarakat daerah setempat biasa menyebutnya kelotok. Kelotok tersebut tersedia dalam berbagai ukuran dan sengaja disiapkan untuk membawa wisatawan menyusuri indahnya sungai Arut. Karena datang seorang diri saya memilih kelotok berukuran sedang. Harga sewanya berkisar Rp 70.000,- s/d Rp 100.000,- , tergantung berapa orang yang akan naik di atasnya. Semakin banyak orang maka harganya semakin tinggi. Untuk kelotok sedang, maksimal ditumpangi oleh 7 orang. Pemilik kelotok akan membawa wisatawan menyusuri Sungai Arut kurang lebih selama 40 menit. Wisatawan akan disuguhi dengan pemandangan khas Kalimantan, yakni warna air sungai yang menyerupai air teh, bangunan-bangunan khas Kalimantan yang berdiri di bantaran sungai, dan kehidupan masyarakat bantaran sungai.

Susur sungai ini sangat saya rekomendasikan bagi para pecinta fotografi. Saya yakin para pecinta fotografi tidak akan menyesal menyewa kelotok sebab, banyak objek menarik yang bisa didapatkan ketika kita dibawa berlayar menyusuri Sungai Arut. Sepanjang aliran sungai saya mendapati banyak manusia berada di tengah sungai baik anak-anak, remaja, dan orang dewasa duduk di atas ban bekas menikmati aliran sungai. Ada juga yang menggunakan kasur angin sebagai pelampungnya. Saat menuju hulu sungai saya diperlihatkan dengan aktivitas para pedagang yang pulang dari pasar, mereka menumpangi kelotok. Ada yang hanya menyebarang dan ada pula yang berlayar menuju hulu atau hilir sungai.

Tidak sampai ke hulu sungai, kelotok saya berbalik arah menuju ke hilir. Tersaji pemandangan matahari terbenam di ufuk barat. Pemandangan sore itu semakin eksotis. Saya terkesima. Saya juga diperlihatkan dengan bangunan tua yang ada di seberang sungai (Mendawai Seberang). Bangunan tersebut dibangun menggunakan kayu, sama seperti bangunan yang ada di sekitarnya. Namun arsitekturnya terlihat berbeda. Banyak wisatawan berfoto di sana. Konon bangunan itu dulunya adalah sebuah sekolah. Penduduk bantaran sungai menyebutnya dengan sebutan SD Belanda. Mendekati hilir sungai saya diperlihatkan sebuah pemandangan tongkang tua yang hampir tenggelam. Tongkang itu dulunya berfungsi sebagai alat untuk mengangkut kayu.

Hari semakin gelap, saya pun dibawa kembali ke darat. Saya berterima kasih kepada si pemilik kelotok dan kembali melanjutkan perjalanan saya. Masih di area Kampung Sega, saya mendapati bibi-bibi penjual kue di bantaran sungai. Bibi itu menjual kue Ilat Sapi, oleh-oleh khas Pangkalan Bun yang rasanya legit dan cepat bikin kenyang. Senang sekali bisa berwisata ke tempat ini.

Sekadar info bagi kalian yang ingin berkunjung. Penduduk setempat tidak menarik biaya tiket masuk untuk para wisatawan. Kalian hanya perlu menyiapkan uang parkir Rp 2.000 untuk motor dan Rp 5.000 untuk mobil serta uang secukupnya untuk jajan atau menikmati wahana yang ada di area Kampung Sega. Tempatya juga strategis, berada di pusat perekonomian, tidak jauh dari penginapan, dan hanya berjarak 2,2 km dari pasar Indrasari yang merupakan pasar besar di Pangkalan Bun. Jika bingun, kalian dapat mencarinya melalui aplikasi petunjuk arah. Cukup dengan memasukkan keyword Kampung Sega Pangkalan Bun, mesin pencari akan dengan cepat memberikan informasi.

Kalian bisa berkunjung kapan saja sebab, Kampung Sega buka setiap hari. Mulai dari pagi hingga malam tetapi umumnya ramai dikunjungi ketika sore sekitar pukul 16.00 WIB. Kelotok yang beroperasi juga ada batas waktunya, yakni sampai puku 20.00 WIB. Kecuali kelotok besar. Jika ingin merasakan sensasi tidur di bantaran hulu atau hilir sungai yang masih dikelilingi dengan flora dan fauna khas Kalimantan, kalian bisa menyewa kelotok besar. Kelotok tersebut biasa disediakan oleh penyedia jasa perjalanan yang ada di Pankalan Bun. Mereka juga menyediakan paket-paket tertentu. Bisa satu hari, dua hari, atau tiga hari. Tergantung permintaan client. Untuk harganya tentu saja lebih mahal dari harga sewa kelotok yang saya tumpangi.

Bagaimana, sudah siap berlayar menikmati eksotisnya Sungai Arut dan menyaksikan kehidupan masyarakat lokal di Bantaran Sungai? Yuk, masukkan Kampung Sega ke dalam daftar perjalananmu bulan depan !

Nindya Ayu