Membicarakan tentang bahasan kebangsaan tentu tidak terlepas dari penanaman nilai nasionalisme, seperti yang selalu bermunculan dalam acara-acara dialog kebangsaan yang dibawakan oleh berbagai instansi pemerintah. Tidak lupa, di akhir pembicaraan akan muncul pesan seperti "kita boleh menjadi seorang nasionalis, tetapi kita tidak boleh menjadi seorang chauvinis."
Kalimat tersebut memang sudah tidak bisa dimungkiri memiliki kebenaran yang relevan untuk diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, sering kita hanya berpaku kepada definisi yang baku tanpa meresapi latar belakang munculnya istilah tersebut. Oleh karena itu, akan timbul pertanyaan seperti: "Apa yang dimaksud dengan chauvinisme?" tanpa mempertanyakan "Bagaimana istilah chauvinisme muncul?"
Berangkat dari keresahan akan pertanyaan tersebut, maka izinkan penulis mengajak pembaca untuk menelusuri asal mula istilah chauvinisme.
Diambil dari kisah seorang prajurit Napoleon
Konon dikisahkan oleh beberapa sejarawan ada seorang prajurit yang mengabdi kepada kaisar Napoleon pada era terror kaisar tersebut. Prajurit itu bernama Nicolas Chauvin, entah Nicolas merupakan orang asli atau tidak, tapi para sejarawan sepakat bahwa kisah ini menjadi akar dari istilah tersebut. Diceritakan bahwa Chauvin merupakan seorang prajurit yang begitu cinta kepada kaisarnya. Ia digambarkan berjuang hingga luka parah dan hampir meninggal akibat terus berperang tanpa henti.
Sebagai penghargaan atas jasanya, Napoleon sendiri menganugerahinya sebuah penghargaan berupa pedang antik yang menyimbolkan kehormatan sekaligus memberinya dana pensiun sebesar 200 Franc. Rasa cinta Chauvin kepada Napoleon tidak berhenti meskipun ia hampir mati membelanya. Bahkan, Chauvin tetap menunjukkan fanatisme kepada Napoleon, meski kaisar tersebut sudah diasingkan dan dicap sebagai diktator dan penjahat.
Chauvin tetap menjadi seorang Bonapartist setia meskipun masyarakat sudah tidak percaya lagi kepada kaisar tersebut dan sudah muak akan peperangan yang Napoleon mulai. Bahkan, rekan sesama Bonapartist-nya meninggalkannya sendiri dan lawan politiknya mengolok-ngoloknya. Chauvin tetap teguh, sehingga orang-orang mulai mengistilahkan sikap yang ia bawa dengan 'chauvinism.'
Menggambarkan sikap yang diambil oleh prajurit tersebut
Chauvinisme menggambarkan sikap yang sama dengan apa yang diambil oleh prajurit tersebut. Meskipun apa yang ia cintai selama ini merupakan hal yang usang dan sudah tidak relevan, Ia tetap mati-matian membelanya hanya memperoleh olokan dan tangan kosong. Bahkan, apa yang ia bela tidak memberikan timbal balik dan hanya sekadar memanfaatkannya sebagai alat.
Chauvinisme dalam konteks kontemporer
Seorang cendekiawan politik bernama Hannah Arendt menggambarkan sikap chauvinisme sebagai bentuk konsep nasionalisme paling usang, yakni sekadar membela sebuah rezim tirani yang bahkan tidak memberikan dirinya apa-apa kecuali merugikan diri sendiri dan menambah musuh.
Pada konteks tersebut, chauvinisme merupakan sebuah sikap irasional, karena tidak ada bukti klaim objektif jika suatu suku, bangsa, maupun negara memiliki superioritas dibandingkan dengan kelompok lainnya. Oleh karena itu, sikap chauvinisme sejatinya dapat kita pahami sebagai sebuah sikap yang menunjukan superioritas moral terhadap kelompok lainnya dan menjadi sebuah justifikasi atas penindasan serta pertumpahan darah.
Memahami chauvinisme adalah upaya penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jangan sampai kita cinta negara kita, tetapi menjadi pisau bermata dua dan membenarkan penindasan terhadap kelompok lain. Chauvinisme juga dapat kita pahami secara luas di konteks lainnya, seperti pada kesetiaan terhadap perusahaan hingga pasangan.
Referensi
- Arendt, Hannah (October 1945). "Imperialism, Nationalism, Chauvinism". The Review of Politics
- Barnhart, Clarence Lewis (1967). The New Century Handbook of English Literature
- Encyclopædia Britannica. "Chauvinism"
- Grammar Girl. "15 Words You Didn't Realize Were Named After People"
Tag
Baca Juga
-
Tips Ngabuburit dari Buya Yahya: Menunggu Berbuka tanpa Kehilangan Pahala Puasa
-
Mengenal Orang Tua Alyssa Daguise: Calon Besan Ahmad Dhani Ternyata Bukan Sosok Sembarangan
-
Profil Hestia Faruk: Tante Thariq yang Dahulu Sempat Dikenalkan ke Fuji
-
Menentukan Monster Sesungguhnya dalam Serial Kingdom: Manusia atau Zombie?
-
5 Langkah Awal Memulai Karier sebagai Desainer Grafis, Mulailah dari Freelance!
Artikel Terkait
-
50+ Istilah di Dunia Saham dan Arti Mudahnya untuk Pemula
-
DNA Manusia Purba dari Afrika Utara Ungkap Sejarah Tersembunyi Gurun Sahara, Apa Itu?
-
Kenapa Paskah Identik dengan Telur? Ini Sejarah dan Maknanya
-
Sejarah Banten, Arti Hingga Asal Usul di Baliknya, Cek Selengkapnya di Sini
-
KSAL Pastikan Peradilan Militer Oknum TNI AL yang Bunuh Jurnalis Juwita Akan Transparan
Ulasan
-
Ulasan Novel 14 Ways to Die: Mencari Pembunuhan Berantai 'Magpie Man'
-
Ulasan Novel Clans The Revenge, Perjalanan Baru Jack di Kota Penyihir Udgar
-
Ulasan Novel Lock the Doors: Rahasia di Balik Pintu yang Terkunci
-
Review Anime Wind Breaker, Bukan Hanya Tawuran tapi Melindungi yang Lemah
-
Jumbo: Animasi yang Menghormati Penonton Muda dengan Cerita Penuh Makna
Terkini
-
MOMOLAND Lanjutkan Aktivitas Grup dengan Enam Member di Agensi Baru
-
Rekap Perempat Final BAC 2025: Dua Wakil Indonesia Lolos ke Semifinal
-
MotoGP Qatar 2025: Marc Marquez dan Pecco Bagnaia Bakal Bersaing Ketat?
-
Segera Tayang, Avatar: Fire and Ash Kenalkan 2 Klan Baru di CinemaCon
-
Piala Asia U-17: Eksperimen Nova Arianto Berujung Terlihatnya Penyakit Lama Timnas Indonesia