Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Sam Edy Yuswanto
buku the new me (DocPribadi/Samedy)

Krisis hidup boleh jadi merampas uang dan karier, tapi krisis hidup menyediakan waktu yang cukup banyak untuk menghasilkan sesuatu.” Inilah pesan penting dalam buku motivasi yang ditulis oleh Sinta Yudisia, seorang ibu rumah tangga kelahiran Yogyakarta, 18 Februari 1974.

Penulis yang telah menerbitkan buku lebih dari 60 buah ini memaparkan secara panjang lebar perihal cara kita menghadapi badai krisis yang bisa datang sewaktu-waktu dan tak pernah terbayangkan sebelumnya. Pandemi Covid-19 merupakan salah satu penyebab umat manusia di dunia mengalami badai krisis yang tak terelakkan.

Sebagaimana dituturkan penulis, sebuah masa di abad XX memasuki abad XXI, dunia dilanda krisis besar akibat pandemi Covid yang sama sekali tak pernah terbayangkan sebelumnya. Harapan, angan-angan, ambisi, cita-cita, dan targert yang dicanangkan tahun 2019 untuk dijadikan resolusi baru di tahun berangka bagus, 2020, sirna sudah.

Mereka yang memiliki impian akan menggelar pesta pernikahan di tanggal, bulan, dan tahun bagus, mengurungkan niat pesta pernikahan atau menggantikan dengan pesta sederhana. Mereka yang mencanangkan 2020 sebagai tahun kebangkitan ekonomi, pupus sudah harapan.

Tutupnya toko, mal, pabrik, dan banyak sektor ekonomi memukul kondisi finansial dalam skala luas. Mereka yang mencanangkan tahun 2020 sebagai tahun memulai bisnis, perdagangan, langkah baru, pencapaian baru, hidup baru; harus mengubah pola pikir dan siap-siap mencari cara alternatif agar tetap survive.

Krisis, bisa membuat seseorang menjadi sangat putus asa dan berujung pada pikiran negatif yang sangat merusak. Krisis juga bisa membuat orang-orang menjadi sangat tertekan, merasa depresi, yang ujung-ujungnya justru pasif apatis dan enggan melakukan apa-apa. Namun, krisis juga kadang memunculkan kebaikan alamiah dalam diri manusia yang selama ini tertutupi egoisme.

Dalam situasi kesulitan finansial dan kesulitan makan, sebagian orang justru merasa perlu membantu sesama. Lapar itu tak enak. Sifat humanity yang merupakan salah satu watak asli manusia membisikkan bahwa lapar itu jangan sampai dirasakan oleh pihak yang lain. Krisis, membuat manusia memutuskan bahwa hand in hand, saling membantu akan menuntaskan persoalan. Bukan sikap egois mementingkan diri sendiri (hlm. 52-53).

Bertahan hidup di tengah badai krisis (akibat wabah korona seperti saat ini misalnya) menjadi keniscayaan bagi setiap individu. Banyaknya perusahaan yang merumahkan sebagian karyawannya, belum lagi para pebisnis dan pedagang kecil yang mendadak merugi dan terpaksa gulung tikar, jangan sampai membuat kita jatuh dan terpuruk terlalu lama. Masih banyak hal-hal positif dan sumber rezeki yang bisa kita upayakan. Bumi seisinya ini sangat luas dan Tuhan telah menyediakan lahan rezeki bagi umat manusia melalui banyak cara.

“Yang selamat bukan yang terkuat, yang terkaya, yang paling berkuasa. Yang selamat adalah yang paling mampu beradaptasi dengan cepat” begitu kata Sinta Yudisia dalam buku ini. Bila direnungi, memang benar dan sangat tepat apa yang disampaikan penulis. Bila kita tak berusaha beradaptasi dengan cepat di tengah badai krisis ini, kita akan selamanya terpuruk, lemah, dan tak berdaya. Padahal hidup terus berjalan dan mau tak mau setiap orang harus siap menghadapinya.

Idealnya, krisis dapat mengubah seseorang menjadi pribadi baru yang lebih kuat dan tangguh. Maka, sangat tepat ketika Sinta Yudisia berpendapat bahwa krisis memang seringkali mengubah hidup, mengubah manusia, memunculkan new life, menghadirkan sosok baru: the new me.

Bagi orang-orang yang selalu mengedepankan pikiran positif, mereka akan mencari celah bagaimana caranya agar bisa tetap bertahan hidup di tengah badai krisis ini. Sementara bagi orang-orang yang selalu pesimistis dan berpikiran negatif, mereka akan menganggap krisis sebagai persoalan besar yang sulit bahkan tak ada jalan keluarnya. Akibatnya mereka akan selalu merasa kalah, tak berdaya, merasa malas melakukan apa-apa dan hanya mengharapkan bantuan datang dari orang lain. Yang paling parah ialah cara berpikir mereka yang berubah menjadi pendek.

Pikiran yang pendek dan sempit dapat menyebabkan kita merasa dunia telah berakhir. Beranggapan bahwa ekonomi akan hancur total dan manusia seluruhnya berada dalam derita kelaparan dan rasa sakit. Memang, ada banyak hantaman yang menyebabkan kondisi finansial mengalami resesi. Tetapi demikianlah manusia, mencari titik ekuilibrium. Titik imbang. Titik stabil. Bila lapar, manusia akan mencari cara agar kenyang. Bila sedih, manusia akan selalu mencari cara agar bisa terhibur dan bahagia. Bila terancam bahaya, manusia akan mencari 1000 cara untuk menyelamatkan diri. Bila kondisi tak punya uang dan pekerjaan, manusia akan mencari cara untuk bisa mendapatkan pemasukan (hlm. 72).

Menurut saya, buku motivasi berjudul The New Me, Life After Crisis ini sangat menarik dibaca terlebih di musim pandemi seperti sekarang ini. Selain dapat menginspirasi para pembaca untuk melakukan banyak hal positif, termasuk berusaha mencari peluang rezeki di tengah badai krisis yang melanda masyarakat negeri ini bahkan di berbagai belahan dunia.

Penulis juga melengkapinya dengan memaparkan kisah sebagian orang yang akhirnya berhasil bertahan hidup di tengah hantaman krisis dan keterpurukan. Hamka misalnya. Sosok ulama tangguh ini pernah mengalami krisis yang luar biasa hebat ketika berada dalam kungkungan penjara. Namun, beliau mampu melewati itu semua bahkan sosoknya sampai saat ini masih menjadi panutan banyak orang.

Nyatanya, penjara baginya tak sampai merusak keimanan, bahkan sebaliknya; meningkatkan kualitas ketakwaannya sekaligus menjadi momen berharga dalam hidup untuk menyelesaikan buku yang menjadi banyak panduan kaum muslimin, yakni Tafsir Al-Azhar.

****

Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen.

Sam Edy Yuswanto