Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Wahid Kurniawan
Cover Buku Nggragas karya Triyanto Triwikromo (@goodreads)

Nggragas!” (IRCiSoD, 2021) menjadi tajuk buku Triyanto Triwikromo yang 'agak' berbeda dari karya-karyanya terdahulu. Kita mungkin mengenalnya sangat karib sebagai pencerita dan penyair, jika dilihat dari sekian buku cerpen dan puisi yang ia lahirkan. Sementara kini, di dalam Nggragas!, Triyanto bermain-main dengan esai

Terdapat setidaknya 46 esai di dalam buku. Setiap esai, lahir dari bahan permenungan atas budaya Jawa yang ia elaborasi dalam tinjauan untuk berbagai tema. Yang paling kentara, ia meninjau perpolitikan tanah air. Triyanto membabarkan bahwa sifat rakus atau nggragas bersemai terus-menerus. Ia mengibaratkannya dengan salah satu tokoh dari epos kuno, Mahabharata, yang bernama Bakasura. 

“Ia makan tak sesuai kebutuhan, kata Kunti kepada Bima, “kalau saja gunung bisa dimakan, ia akan menelan gunung itu tanpa sisa.” Jelas, penggambaran ini merujuk kepada laku kerakusan yang dimiliki manusia. Dalam pandangan Triyanto, politikus kerap terjebak dalam sifat tamak ini. Di mata mereka, kekuasaan seperti tidak memiliki batas dan tak mengenal kata cukup. Semuanya diembat, diambil, dikuasai. 

Karakter rakus ini bahkan masih tampak jelas dalam wajah politik tanah air. Sebab, kerakusan, sebagaimana karakter destruktif, menyebabkan suatu tindakan korupsi terjadi. (Halaman. 70). Perhatikanlah, bukankah tindakan korupsi masih merajalela seolah tak memiliki akhir? Karakter ini seolah berakar kuat dalam diri para oknum yang berkecimpung di dalam dunia politik dari masa ke masa.

Dahulu, kita diingatkan satu sosok besar yang nggaragas sekali. Berkuasa tiga dekade lebih, meraup pundi-pundi harta tak terkendali. Sementara kini, sosok lain seolah tak pernah berhenti menggantikannya. Mereka bertransformasi, memecah diri dalam tindakan-tindakan rakus yang pembedanya hanya dari taraf dan skala yang diambil.

Padahal, semestinya tidak begitu. Karakter rakus senyatanya sifat yang destruktif, sesuatu yang merusak, merugikan. Triyanto mengingatkan tentang hal itu. Bahwa manusia dianjurkan memiliki filosofi hidup secukupnya. Bukankah kita sudah sering pula mendengar pesan ini? Kita memang mesti menanamkan sifat untuk merasa cukup atas limpahan rezeki yang didapat. Dengan demikian, kita bisa menekan sifat dan pikiran yang berakibat kepada tindakan kerakusan. 

Tentu, mengenyahkan karakter rakus atau nggragas tidak saja di dalam ranah politik semata, seperti yang diwartakan Triyanto, tetapi kita bisa memberlakukannya terhadap hal lain yang berkaitan dengan materi, sesuatu yang kita usahakan, kita dapat. Itulah salah satu pelajaran yang bisa diambil dari kumpulan esai Triyanto ini. 

Lalu, apakah hanya sebatas itu pesan si penulis? Tidak. Sebab persoalan yang patut direnungkan bukan ihwal kerakusan saja, melainkan ada banyak hal lain yang berhubungan dengan sifat dan laku hidup kita sebagai manusia. Semua itu dijelaskan Triyanto dalam ke-46 esainya yang reflektif dan kontekstual dengan masyarakat serta peristiwa hari ini.  

Wahid Kurniawan