Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Sam Edy Yuswanto
Buku "Sebuah Rumah di Bawah Menara" (DocPribadi/Samedy)

Setiap orang harus berusaha waspada dengan munculnya beragam aliran atau ajaran (dengan dalih agama) yang menyesatkan. Ajaran sesat biasanya mengajarkan cara beragama yang ekstrem, kaku, dan bertentangan dengan dalil-dalil agama yang sudah ada dan pemahamannya sudah disepakati oleh para ulama.

Berdasarkan Wikipedia, ajaran sesat atau aliran sesat, Heresi menurut Oxford English Dictionary, adalah “pandangan atau doktrin teologis atau keagamaan yang dianggap berlawanan atau bertentangan dengan keyakinan, atau sistem keagamaan manapun, yang dianggap ortodoks atau ajaran yang benar. Dalam pengertian ini, ajaran sesat adalah pandangan atau doktrin dalam filsafat, politik, ilmu, seni, dan lain-lain, yang berbeda dengan apa yang umumnya diakui sebagai yang berwibawa”.

Bicara tentang aliran sesat, ada kisah menarik yang bisa kita simak dalam buku kumpulan cerpen berjudul Sebuah Rumah di Bawah Menara (Rua Aksara, 2020) karya Tjak S Parlan. Salah satu cerpen berjudul Rumah Kecil dengan Pintu Pagar Terbuka berkisah tentang seorang istri yang harus kehilangan suaminya karena dianggap sebagai penyebar aliran sesat.

Sebelumnya, sang suami memang memiliki hobi bermain drama dan bermimpi memiliki sebuah sanggar. Ia lantas mengumpulkan anak-anak di daerah tersebut untuk belajar bermain drama atau sandiwara. Sayangnya, ada orang-orang yang tak menyukainya. Suatu malam, sekelompok orang membuka paksa pintu pagar rumahnya. Orang-orang itu lalu menggelandang lelaki tersebut karena dituduh sebagai sumber petaka di daerah tersebut.

Mereka meniupkan desas-desus bahwa anak-anak di daerah itu telah dirasuki sedemikian rupa oleh ajaran tertentu sehingga lebih suka berkunjung dan bermain ke rumah lelaki itu ketimbang mendatangi suatu tempat yang telah disiapkan untuk belajar agama. Mereka bahkan tak memberi kesempatan untuk menjelaskan yang sebenarnya. Satu-satunya alasan kenapa sang istri tak turut digelandang adalah karena ia sedang mengandung benih terkasih dari suaminya.

Teman dekat suami, sebenarnya pernah menanyakan, apakah ia benar-benar tak terlibat dalam sebuah aliran tertentu? Perempuan itu pun menjawab, “Kami memang agak beda dengan kebanyakan orang di daerah ini, tetapi kukira, itu hanya perbedaan cara mencintai Tuhan saja. Di mana letak salahnya?” (Sebuah Rumah di Bawah Menara, halaman 119).

Sepeninggal suami, sang istri menjalani hidup sendiri. Sayangnya kandungannya mengalami keguguran. Sejak keguguran ia pun memilih tinggal di kota. Nyaris sehari-hari ia kedatangan tamu lelaki, yang adalah sahabat suaminya. Kunjungan-kunjungan itulah yang kemudian membangkitkan apa saja di antara keduanya. Hingga perbuatan terlarang pun mereka lakukan. Lahirlah seorang putri yang cantik dari hubungan tersebut. Seorang putri yang kelak oleh ibunya tak dikenalkan siapa ayah kandung sebenarnya.  

Masih banyak kisah-kisah menarik lain yang bisa disimak dalam buku Sebuah Rumah di Bawah Menara karya Tjak S Parlan ini. Semoga ulasan sederhana ini bermanfaat.

Sam Edy Yuswanto