Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Untung Wahyudi
Sampul buku Markesot Bertutur (koleksi pribadi/wahyudiuntung)

Emha Ainun Nadjib adalah budayawan yang juga dikenal sebagai kolumnis. Awal 1990-an, tulisan-tulisannya menghiasai kolom berbagai media cetak. Ada banyak topik yang dibahas penulis yang akrab disapa Cak Nun ini. Dari persoalan kehidupan sehari-hari di masyarakat, seni, budaya, bahkan politik. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang waktu itu di bawah kekuasaan Orde Baru selalu menarik perhatiannya.

Sampai saat ini, buku-buku Cak Nun masih terus dicetak ulang oleh sejumlah penerbit yang menerbitkan karya-karyanya. Tulisan-tulisannya yang ditulis di masa lalu masih relevan dengan kehidupan sekarang. Tak heran jika buku-bukunya laris manis di pasaran dan membuat pembajak buku sering melakukan aksinya untuk membajak karya-karya Cak Nun.

Markesot Bertutur adalah salah satu bukunya yang fenomenal. Markesot menjadi tokoh sentral dalam buku-bukunya dan sering terlibat dalam setiap tema yang diangkat. Markesot seolah akrab dengan pembaca dan menjadikannya sosok dengan ikon yang unik dan nyentrik. Markesot hadir dalam perbincangan tentang politik, seni, kebudayaan, atau obrolan-obrolan ringan di pos-pos ronda.

Tentang suasana Ramadan juga dibahas Cak Nun dalam Markesot Bertutur. Menurut Cak Nun, diwakili sosok Markesot, suasana Ramadan di kampung dan di kota itu ternyata berbeda. Di desa, suasana Ramadan akrab dengan nuansa religius yang kental. Hal itu tampak dengan suasana yang musikal di bulan Ramadan nan suci itu. Misal, pada waktu asar menjelang Ramadan, ada tedur. Beduk ditabuh bertalu-talu dan khas. Semua orang tersenyum gembira, air liur meleleh, seolah ada sesuatu yang terbangkit dari dalam jiwa.

Bagaimana dengan suasana Ramadan di masa sekarang? Apa yang ditulis Cak Nun sekitar tiga puluh tahun silam ternyata sangat relate dengan kehidupan saat ini. Suasana khidmat pada bulan Ramadan dengan ditandai bunyi-bunyian, musik sahur, lantunan tarhim di masjid-masjid di malam hari, tadarusan, dan sebagainya, memang masih ada. Meskipun suasananya tak segempita di masa lalu. Saat modernisasi tak secanggih saat ini.

Sekarang nuansa Ramadan sudah digantikan dengan hadirnya musik-musik religius yang menghiasa ruang dengar. Musik-musik dengan nuansa keislaman yang kental terdengar di pusat-pusat perbelanjaan. Para musisi juga merilis lagu-lagu religi dan menghiasi kanal-kanal YouTube. Praktisnya, saat ini tak sulit untuk mendengarkan musik religi. Lewat telepon pintar di genggaman, siapa pun bisa memetik hikmah Ramadan dengan mendengarkan musik atau ceramah-ceramah keagamaan.

Namun, meskipun dilantunkan dengan nada-nada Islam, musik kerap sekali menuai perdebatan, seperti yang terjadi belakangan ini. Ada perdebatan apakah musik itu halal atau haram. Bahkan, ada yang begitu terang-terangan mengatakan musik haram. Benarkah demikian?

Cak Nun, dalam buku ini menjabarkan bagaimana peran musik atau bunyi-bunyian dalam kehidupan sehari-hari. Cak Nun menganalogikan musik seperti pisau. Apa hukum pisau? Tidak ada. Pisau baru bersentuhan dengan hukum atau fikih sesudah berurusan dengan tiga hal: dipakai untuk apa, apa tujuannya, dan apa akibat sosialnya.

Kalau pisau dipakai untuk menyembelih ayam dengan basmalah untuk menyuguhi tamu terhormat, fungsi pisau itu tidak hanya halal, tapi mungkin juga sunah. Akan tetapi, kalau pisau digunakan untuk menggorok leher seseorang, maka ia terlibat dalam perbuatan haram. Jadi, pisau itu netral. Ia baru punya kaitan hukum sesudah difungsikan.

Begitu juga dengan musik atau bunyi. Gong gamelan, gitar, mandolin, rebana, lesung, alu, atau apa saja. Itu belum ada hukumnya. Bunyi-bunyian musik kasidah, rock, jazz, dangdut, dan lainnya itu belum terkait dengan nilai hukum sebelum jelas ia difungsikan sebagai apa.

Jika musik (apapun jenisnya) bisa mengantarkan pendengarnya menuju pendekatan tauhid, membangkitkan rasa ketuhanan, menambah rasa kagum terhadap Allah, itu musik islami namanya. Bisa juga ada musik kasidah atau yang terkesan religius, jika merangsang sensualitas dan seksualitas, jadinya tidak islami karena mengundang syahwat atau berahi (halaman 220).

Tak hanya mengupas tentang hikmah Ramadan, Cak Nun juga menyoroti berbagai problematika kehidupan yang terjadi sekitarnya. Seperti korupsi yang dilakukan pejabat, perang yang menimbulkan perpecahan, keluarga, pernikahan, dan beberapa topik lainnya yang masih relevan dengan kehidupan sehari-hari.

Untung Wahyudi