Ayah, Aku Rindu mengambil setting tempat di Allakkuang, sebuah kampung di antara Kabupaten Sidenreng Rappang dan Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan.
Ceritanya tentang Rudi, siswa kelas XII SMA, yang tinggal bersama ayah-ibunya. Kedua orang tuanya bekerja sebagai pengusaha ayam petelur. Masalah muncul ketika terjadi wabah virus flu burung. Semua ayam milik orang tua Rudi mati. Orang tua Rudi bangkrut, punya utang ratusan juta rupiah.
Tidak cukup sampai di situ, seminggu setelah ayam ternak mati secara serentak, ibu Rudi meninggal dunia. Kejadian ini jadi pukulan berat buat Rudi dan ayahnya.
Ayah Rudi secara drastis berubah menjadi pendiam, pemurung, suka marah-marah, dan malah kemudian mengalami gangguan kejiwaan. Dia tidak mengenali Rudi lagi, bahkan beberapa kali mencoba membunuh anak semata wayangnya.
Di sinilah terjadi kegoncangan jiwa Rudi. Dia yang belum move on dari keterpurukan pasca ditinggal ibu, terpaksa harus menerima keadaan ayah yang tidak stabil.
Beruntung ada Pak Sadli, guru Rudi di SMA, yang turut menjadi penopang jiwa Rudi, meski jelas tidak bisa 100 persen. Bersama Pak Sadli inilah, satu persatu rahasia dalam keluarga Rudi terkuak, mulai misteri sosok Pak Ramli, ayah Pak Sadli, yang dibenci setengah mati oleh ibunya Rudi, tentang alasan kenapa ayah ingin membunuh Rudi, dan hubungan tak terduga yang dimiliki Rudi dengan Pak Sadli.
Sebagai bacaan remaja, Ayah, Aku Rindu diramu dengan bahasa yang apik, cenderung nyastra. Kalau menurut Afifah Afra, dalam novel ini, S. Gegge Mappangewa menggunakan bahasa yang menari.
Ayah, Aku Rindu mengangkat isu tentang fatherless atau minimnya peran ayah dalam mendampingi pertumbuhan jiwa seorang anak laki-laki. Merujuk Kongres Ayah Sedunia Tahun 2017, Indonesia itu menduduki ranking III fatherless country.
Artinya, di Indonesia, ayah hadir, tapi lebih berperan sebagai ayah biologis, bukan ayah psikologis, atau ayah spiritual, karena pendidikan anak diserahkan sepenuhnya kepada ibu. Ayah dianggap (atau menganggap diri) cukup berperan mencari nafkah saja.
Selain isu fatherless, tidak ketinggalan juga ada muatan lokalitas Bugis yang kental dalam novel ini, sama seperti karya fiksi S. Gegge Mappangewa lainnya. Dalam Ayah, Aku Rindu, nilai lokalitas Bugis tampak di antaranya lewat sisipan dongeng kebijaksanaan Nenek Mallomo, seni pahat batu, kuliner, dan sebagainya
Kelebihan lainnya, novel ini memiliki banyak bahasa yang quotable, misalnya, di halaman 47, ada kata-kata seperti ini, “Di rumah ini banyak cinta. Tak usah mencari cinta di luar.”
Lalu, di halaman 22, “Bagiku, jatuh cinta itu perlu, tapi untuk memainkannya, sepertinya buku pelajaranku masih butuh belaian lembut tanganku sebagai pelajar.” Masih banyak quote menarik lainnya yang terlalu panjang jika disitir di sini.
Ganjalan yang saya temukan dalam novel Ayah, Aku Rindu terutama soal penggunaan kata ganti orang pertama. Dalam novel ini, pengarang menggunakan kata saya dan aku sekaligus, simak misalnya dalam kalimat berikut ini,
“Saya hanya tertunduk. Entah hingga berapa kalimat bahkan paragraf yang Pak Sadli nasihatkan untukku, saya tetap memilih tunduk. Bukan takluk. Kalau pun sesekali saya mengangkat wajah, saya tak pernah berani menatap ke wajah Pak Sadli, kecuali ke arah jarinya yang bercicincin sisik naga.” (halaman 111).
Saya pribadi kurang nyaman dengan penggunaan kata ganti saya dan aku yang merata di sekujur novel, dari awal sampai akhir. Barangkali, akan lebih pas, jika pengarang menentukan salah satu kata ganti saja. Namun, pengarang sendiri berargumen, melalui Facebook,
“… tentang pencampuran saya dan aku dalam novel Ayah, Aku Rindu ini. Itu bukan tanpa sengaja loh, juga bukan karena saya nggak paham bahwa aku dan saya nggak boleh dipertemukan dalam satu kalimat. Saya menulis 'saya' nggak pernah bersamaan dengan kata 'aku'. Yang ada adalah, saya dan klitik –ku.
“Misalnya,
‘Saya yakin maksudnya untuk menghibur tapi malah melukaiku (bukan: melukai aku).’
‘Rupanya saya dari tadi meninggalkan kelas dengan mengikuti lamunanku (bukan: lamunan aku).’
“Mengapa saya menulis seperti itu, karena saya menganggap ini style-ku di Ayah, Aku Rindu ini, meskipun melanggar pakem. Intinya, saya konsisten menggunakan klitik –ku, bukan aku.”.
Akhirnya, dapat dikatakan Ayah, Aku Rindu merupakan bacaan ringan sekaligus berbobot, gampang dicerna namun memiliki substansi positif. Cocok dibaca pembaca remaja, tentu saja dengan tetap mengedepankan rasa kritis.
Tag
Baca Juga
-
Pelajaran Tekad dari Buku Cerita Anak 'Pippi Gadis Kecil dari Tepi Rel Kereta Api'
-
Cerita-Cerita yang Menghangatkan Hati dalam 'Kado untuk Ayah'
-
Suka Duka Hidup di Masa Pandemi Covid-19, Ulasan Novel 'Khofidah Bukan Covid'
-
Akulturasi Budaya Islam, Jawa, dan Hindu dalam Misteri Hilangnya Luwur Sunan
-
Pelajaran Cinta dan Iman di Negeri Tirai Bambu dalam "Lost in Ningxia"
Artikel Terkait
-
Merapi Tak Pernah Ingkar Janji, Mencuri Adalah Perbuatan Tercela
-
Inspirasi dan Motivasi dalam Buku Biography and Quotes 25 Motivator Dunia
-
Membangun Negeri Impian, Ulasan Novel De Hoop Eiland
-
Pengidap Gangguan Kecemasan Sosial akan Canggung saat Berinteraksi dengan Orang Lain, Apa Penyebabnya?
-
Ulasan Film Hayya 2: Menyoroti Isu Kesehatan Mental
Ulasan
-
Dari Pop ke Dangdut: Transformasi Epik Anya Geraldine di Film Mendadak Dangdut!
-
Mieber Restaurant and Cafe, Rekomendasi Kuliner Estetik dengan View Gunung di Trawas
-
Dari Panti Asuhan ke Langit Malam, Kisah Haru di Novel The Star Outside My Window
-
Ulasan Novel If the Shoe Fits:Kisah Cinderella Modern dalam Menemukan Cinta
-
Bersantap Pagi dengan Lotek Enak di Lapau Rang Sangka Pekanbaru
Terkini
-
KISS OF LIFE Batal Tampil di KCON LA 2025, Imbas Isu Apropriasi Budaya
-
Ngajar di Negeri Orang, Pulang Cuma Jadi Wacana: Dilema Dosen Diaspora
-
BRI Liga 1: Madura United Terhindar dari Degradasi, Bali United Gigit Jari
-
Neural Fatigue: Kelelahan Kognitif Akibat Terpapar Stimulus Berulang
-
Resmi Rilis, Oppo Reno 14 Pro Chipset Kencang dan Triple Rear Camera 50 MP