Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Thomas Utomo
Cover Ayah Aku Rindu (Dok. pribadi/thomasutomo)

Ayah, Aku Rindu mengambil setting tempat di Allakkuang, sebuah kampung di antara Kabupaten Sidenreng Rappang dan Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan

Ceritanya tentang Rudi, siswa kelas XII SMA, yang tinggal bersama ayah-ibunya. Kedua orang tuanya bekerja sebagai pengusaha ayam petelur. Masalah muncul ketika terjadi wabah virus flu burung. Semua ayam milik orang tua Rudi mati. Orang tua Rudi bangkrut, punya utang ratusan juta rupiah. 

Tidak cukup sampai di situ, seminggu setelah ayam ternak mati secara serentak, ibu Rudi meninggal dunia. Kejadian ini jadi pukulan berat buat Rudi dan ayahnya.

Ayah Rudi secara drastis berubah menjadi pendiam, pemurung, suka marah-marah, dan malah kemudian mengalami gangguan kejiwaan. Dia tidak mengenali Rudi lagi, bahkan beberapa kali mencoba membunuh anak semata wayangnya.

Di sinilah terjadi kegoncangan jiwa Rudi. Dia yang belum move on dari keterpurukan pasca ditinggal ibu, terpaksa harus menerima keadaan ayah yang tidak stabil.

Beruntung ada Pak Sadli, guru Rudi di SMA, yang turut menjadi penopang jiwa Rudi, meski jelas tidak bisa 100 persen. Bersama Pak Sadli inilah, satu persatu rahasia dalam keluarga Rudi terkuak, mulai misteri sosok Pak Ramli, ayah Pak Sadli, yang dibenci setengah mati oleh ibunya Rudi, tentang alasan kenapa ayah ingin membunuh Rudi, dan hubungan tak terduga yang dimiliki Rudi dengan Pak Sadli.

Sebagai bacaan remaja, Ayah, Aku Rindu diramu dengan bahasa yang apik, cenderung nyastra. Kalau menurut Afifah Afra, dalam novel ini, S. Gegge Mappangewa menggunakan bahasa yang menari.

Ayah, Aku Rindu mengangkat isu tentang fatherless atau minimnya peran ayah dalam mendampingi pertumbuhan jiwa seorang anak laki-laki. Merujuk Kongres Ayah Sedunia Tahun 2017, Indonesia itu menduduki ranking III fatherless country.

Artinya, di Indonesia, ayah hadir, tapi lebih berperan sebagai ayah biologis, bukan ayah psikologis, atau ayah spiritual, karena pendidikan anak diserahkan sepenuhnya kepada ibu. Ayah dianggap (atau menganggap diri) cukup berperan mencari nafkah saja.

Selain isu fatherless, tidak ketinggalan juga ada muatan lokalitas Bugis yang kental dalam novel ini, sama seperti karya fiksi S. Gegge Mappangewa lainnya. Dalam Ayah, Aku Rindu, nilai lokalitas Bugis tampak di antaranya lewat sisipan dongeng kebijaksanaan Nenek Mallomo, seni pahat batu, kuliner, dan sebagainya

Kelebihan lainnya, novel ini memiliki banyak bahasa yang quotable, misalnya, di halaman 47, ada kata-kata seperti ini, “Di rumah ini banyak cinta. Tak usah mencari cinta di luar.”

Lalu, di halaman 22, “Bagiku, jatuh cinta itu perlu, tapi untuk memainkannya, sepertinya buku pelajaranku masih butuh belaian lembut tanganku sebagai pelajar.” Masih banyak quote menarik lainnya yang terlalu panjang jika disitir di sini. 

Ganjalan yang saya temukan dalam novel Ayah, Aku Rindu terutama soal penggunaan kata ganti orang pertama. Dalam novel ini, pengarang menggunakan kata saya dan aku sekaligus, simak misalnya dalam kalimat berikut ini,

“Saya hanya tertunduk. Entah hingga berapa kalimat bahkan paragraf yang Pak Sadli nasihatkan untukku, saya tetap memilih tunduk. Bukan takluk. Kalau pun sesekali saya mengangkat wajah, saya tak pernah berani menatap ke wajah Pak Sadli, kecuali ke arah jarinya yang bercicincin sisik naga.” (halaman 111).

Saya pribadi kurang nyaman dengan penggunaan kata ganti saya dan aku yang merata di sekujur novel, dari awal sampai akhir. Barangkali, akan lebih pas, jika pengarang menentukan salah satu kata ganti saja. Namun, pengarang sendiri berargumen, melalui Facebook,

“… tentang pencampuran saya dan aku dalam novel Ayah, Aku Rindu  ini. Itu bukan tanpa sengaja loh, juga bukan karena saya nggak paham bahwa aku dan saya nggak boleh dipertemukan dalam satu kalimat. Saya menulis 'saya' nggak pernah bersamaan dengan kata 'aku'. Yang ada adalah, saya dan klitik –ku.

“Misalnya,

‘Saya yakin maksudnya untuk menghibur tapi malah melukaiku (bukan: melukai aku).’

‘Rupanya saya dari tadi meninggalkan kelas dengan mengikuti lamunanku (bukan: lamunan aku).’

“Mengapa saya menulis seperti itu, karena saya menganggap ini style-ku di Ayah, Aku Rindu ini, meskipun melanggar pakem. Intinya, saya konsisten menggunakan klitik –ku, bukan aku.”.

Akhirnya, dapat dikatakan Ayah, Aku Rindu merupakan bacaan ringan sekaligus berbobot, gampang dicerna namun memiliki substansi positif. Cocok dibaca pembaca remaja, tentu saja dengan tetap mengedepankan rasa kritis.

Thomas Utomo