Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Thomas Utomo
Novel De Hoop Eiland (Dok. pribadi/Thomas Utomo)

De Hoop Eiland adalah novel penutup caturlogi De Winst. Tiga pendahulunya: De Winst (pertama terbit 2008), De Liefde (pertama terbit 2010), dan Da Conspiracao (pertama terbit 2012). Keempatnya ditulis Afifah Afra, diterbitkan Indiva Media Kreasi.

Novel ini mengambil latar waktu tahun 1930-an. Tokoh utamanya, tiga: Rangga Puruhita (bangsawan Surakarta, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Leiden, Belanda), Sekar Prembayun (sepupu Rangga, sempat jadi aktivis Partai Rakyat yang berhaluan kiri, kemudian dilarang Pemerintah Hindia-Belanda), dan Everdine Kareen Spinoza (Indonesianis, berlatar belakang Belanda totok). Di novel pamungkas ini, tokoh utama bertambah satu, yakni: Yudistira (pecatan Angkatan Laut Hindia-Belanda).

Dikisahkan, Sekar menjalani masa pembuangan di Jerman, sebelumnya di Belanda, akibat aktivitas sosial-politiknya saat di Nusantara (baca De Winst dan De Liefde).

Di Jerman, Sekar merasakan suasana panas akibat pertentangan politik antara pendukung dan penentang Nazi, pimpinan Adolf Hitler. Pertentangan ini menyebabkan terpecah-belahnya hubungan perkawanan di lingkungan tempat tinggal Sekar.

Tetapi, sebelum Hitler naik ke tampuk kekuasaan, Sekar dipindah ke tempat pembuangan lain. Agak lebih baik, karena lokasinya di Nusantara, tepatnya di kawasan Indonesia Timur. Waktu itu, disebut Hindia Timur.

Sementara Rangga, dikisahkan menjalani masa pembuangan di Boven Digoel, Papua, setelah sebelumnya diasingkan di Ende, Nusa Tenggara (baca novel Da Conspiracao).

Boven Digoel adalah penjara alam terbuka mahaluas di Hindia-Belanda. Tempat ini dikelilingi hutan berpenghuni nyamuk malaria dan sungai berbuaya ganas. Tak ada orang buangan yang dapat kabur, kecuali nekat bersabung dengan maut.

Di tempat inilah, Rangga mengalami ragam fitnah dari golongan kiri, yang disebut orang Naturalisten. Namun, berbagai kegembiraan lain, dia dapatkan, seperti mendapatkan teman-teman dari suku asli, menjalin perkawanan dengan sesama Digoelis macam Sutan Syahrir dan Moch. Hatta, dan pada akhirnya dapat berkumpul kembali dengan istri.

Everdine sendiri dikisahkan terdampar di Maldives atau Maladewa. Sebelumnya, dia diculik saat menumpang di Kapal De Zeven Provicien (baca De Liefde). 

Lewat bantuan Yudistira, Everdine dapat berkumpul kembali dengan Rangga yang menikahinya sebelum lelaki Jawa itu dibuang ke Ende (baca De Winst).

Sementara Yudistira yang di novel De Liefde digambarkan sebagai pribadi antagonis, di De Hoop Eiland ini, awalnya tampak oportunis. Dia menjilat dan bekerja sama dengan Kerajaan Hindia Timur yang berafiliasi dengan gerakan fasis Nazi Jerman. Namun, di bagian menjelang penutup novel, kentaralah kesejatian dirinya.

Dalam novel ini, kelihatan betul; masing-masing pihak yang berseberangan, berharap membangun negeri impian masing-masing.

Pihak penjajah, berharap dapat melanggengkan kekuasan di Nusantara, mengisap sebanyak-banyaknya sumber daya, guna kejayaan Belanda sendiri.

Pihak fasis yang pro Nazi Jerman, berharap bisa memisahkan diri dari Hindia-Belanda dan mendirikan Kerajaan Hindia Timur dengan menggalang dukungan orang pribumi.

Sedangkan pihak nasionalis, bercita-cita membebaskan Nusantara dari cengkeraman kolonialis-kapitalis Belanda maupun fasis Nusantara. 

Sama seperti beberapa novel sejarah karya Afifah Afra lainnya, dalam De Hoop Eiland tampak adanya ghazwul fikr atau pertarungan ideologi. Lewat novel ini, Afra mengadirkan cermin, betapa pertarungan ideologi di masa lalu, masih terjadi hingga masa kini. 

Hengkangnya kaum penjajah, tidak berarti ideologinya ikut punah. Pelarangan ideologi fasis atau ideologi kiri, pun tidak berarti pemahaman tersebut hilang.

Kita lihat, sampai sekarang, kaum kapitalis masih merongrong Indonesia, apapun afiliasinya. Kaum fasis pun bibit-bibitnya kembali bersemi di Tanah Air sebagaimana disampaikan Timo Duile, pengamat politik asal Jerman kepada DW Indonesia. Sedangkan golongan kiri, kita dapat menengarai kehadiran mereka lewat penerjemahan dan penerbitan kembali buku-buku kiri, yang dapat dilacak dengan mudah di toko buku.

Hal lain yang dapat kita apreasiasi dari novel ini adalah soal karakterisasi tokoh. Afra menggambarkan Rangga sebagai pribadi biasa, lengkap dengan kelebihan dan kekurangannya. 

Dia womanizer, peragu, gampang bimbang, mudah iba. Afra kemudian memasangkan Rangga dengan Everdine, sosok yang blak-blakan, ekspresif, dan terbuka, sehingga satu sama lain, dapat saling melengkapi.

Demikian pula Sekar. Dia jenis perempuan perintis, gigih, dan penganut keadilan gender. Dipasangkannya dia dengan Yudistira yang maskulin lagi tangguh, sungguh kombinasi yang cocok.

Terakhir, kendati tebal dan mengusung topik yang relatif berat, novel De Hoop Eiland adalah jenis bacaan yang easy reading. Afra menulisnya sedemikian rupa, sehingga lembar-lembar di dalamnya, enak dinikmati tanpa membuat kepala berasap.

Thomas Utomo