Islam mengajarkan kepada kita bahwa malu termasuk bagian dari keimanan seseorang. Saya pikir, malu yang dimaksudkan di sini memiliki makna yang luas. Misalnya, malu ketika berbuat kemaksiatan, malu bila sampai menyakiti hati orang lain, malu bila sampai melakukan korupsi dan merampas hak rakyat, dan seterusnya.
Dalam buku Jika Tidak Malu, Berbuatlah Semaumu! diuraikan, malu adalah akhlak dasar yang harus kita miliki. Tanpa rasa itu, kita seolah tidak punya pengikat apa pun. Sehingga, kita bisa berbuat apa saja semau kita, tanpa peduli apakah yang kita lakukan itu perbuatan tercela atau perbuatan sia-sia. Apakah perbuatan kita merugikan diri kita atau merugikan orang lain, melanggar syariat Islam atau jauh dari teladan Rasulullah.
Orang yang memiliki rasa malu di dalam hatinya tidak akan sembarangan bertindak, berkata, atau memikirkan sesuatu. Rasa malu menghalau semua hal yang berlebihan atau terlalu kurang. Rasa malu juga akan menghindarkan dari semua hal yang memalukan dan tidak tahu malu (halaman 16).
Azizah Hefni menjelaskan, rasa malu itu bisa menjadi perisai tak terkalahkan. Pada jenis keburukan apa pun, kita akan melawannya dengan rasa malu itu. Sehebat apa pun setan menggoda kita, kita tidak akan pernah terpengaruh. Selain sebagai pelindung kita, rasa malu juga berperan sebagai pengendali nafsu kita. Kita tidak akan sembarangan bersikap, berkata, atau berpikir jika rasa malu sudah menyatu dengan jiwa kita. Dalam situasi terjepit, sepele atau menggiurkan, kita tidak akan terpeleset. Sebab, rasa malu untuk menodai keimanan sudah mengakar kuat.
Seseorang yang ingin punya good attitude, wajib baginya untuk memiliki rasa malu. Lihat saja di sekeliling kita, betapa banyak orang yang dihormati dan dijadikan teladan lantaran sikap mereka yang terpuji. Mereka yang baik perangainya, tak pernah membuat masalah dengan orang lain, bahkan dengan dirinya sendiri. Tapi lihatlah mereka yang tidak punya rasa malu, mereka berbuat sesuka hati, menyalahi norma dan aturan, mengabaikan nasihat dan peringatan orang lain, dan tentu saja, melupakan kewajibannya sebagai manusia beragama yang memiliki tanggung jawab moral terhadap Tuhannya (halaman 40).
Dalam buku terbitan Diva Press (2015) ini juga dibahas tentang melawan rasa “tidak punya malu”, melejitkan asa dengan rasa malu, dan azab bagi orang-orang yang tak punya malu.
Baca Juga
-
Seni Mengatur Waktu dengan Baik dalam Buku "Agar Waktu Anda Lebih Bermakna"
-
Buku Perjalanan ke Langit: Nasihat tentang Pentingnya Mengingat Kematian
-
Ulasan Buku Resep Kaya ala Orang Cina, Cara Menuju Kekayaan yang Berlimpah
-
Ulasan Buku "The Wisdom", Merenungi Kebijaksanaan Hidup
-
Tuhan Selalu Ada Bersama Kita dalam Buku "You Are Not Alone"
Artikel Terkait
-
Ulasan Buku Umar Bin Abdul Aziz, Sosok Pemimpin Zuhud dan Khalifah Cerdas
-
Ulasan Buku Kumpulan Materi Khotbah dan Kultum Penyemangat Hidup
-
Ulasan Buku 'Ayah Pintar, Idaman Semua Keluarga'
-
Katak Menembus Tempurung: 19 Kisah Inspiratif dari Balik Penjara
-
Ulasan Buku Cahaya Hati Bunda: Mempersiapkan Pendidikan Terbaik untuk Anak
Ulasan
-
Isu Mental Health dalam Buku Kupikir Segalanya Akan Beres Saat Aku Dewasa
-
Impresi Jujur Selepas Nonton Film Gak Nyangka
-
Ulasan Novel Montase: Membuat Waktu yang Singkat Terasa Abadi
-
Ulasan Novel 2 Menantu: Ketika Keserakahan Merenggut Kedamaian
-
Melintasi Gelap Jakarta di Novel Antara Aku dan Dia karya Agnes Jessica
Terkini
-
0,5 Detik yang Menentukan di Futsal: Saat Keputusan Datang Sebelum Kesempatan
-
4 Drama China Kostum Liu Lingzi, Terbaru The Princess's Gambit
-
4 Produk Skincare Avoskin Anti Aging, Solusi Atasi Penuaan dan Mata Panda
-
Kenapa Futsal Bisa Jadi Olahraga Favorit Anak Muda? Ini Alasannya!
-
Merdeka Tapi Masih Overwork: Refleksi Kemerdekaan di Tengah Hustle Culture