Dari manakah Islam yang masuk ke Nusantara? Kebanyakan dari kita, menyebut Islam yang masuk ke Nusantara berasal dari Gujarat, India. Tepatnya, dibawa pedagang negeri ke tersebut lewat kapal-kapal niaga yang masuk ke pelabuhan Nusantara pada abad 11.
Tetapi jika kita detail mengulik sejarah, akan ketahuan kalau pada masa itu, Gujarat baru saja lepas dari pengaruh Kerajaan Hindu-Buddha. Belum ada Kerajaan Islam yang berdiri kokoh perkasa. Karena baru sedikit orang Gujarat yang memeluk ajaran Nabi Muhammad ini. Sementara para pedagang Gujarat juga masih banyak yang memeluk agama Hindu maupun Buddha.
Rujukan lain menyebutkan orang-orang Gujarat pasca Kerajaan Hindu-Buddha, menganut Syiah. Sementara Islam yang berkembang di Nusantara adalah Sunni. Bagaimana mungkin penganut Syiah datang ke negeri asing kemudian menyebarkan ajaran Sunni?
Lalu siapa sebenarnya yang membawa ajaran Islam masuk ke Nusantara?
Teori yang menyatakan agama Islam masuk ke Nusantara dibawa pedagang Gujarat dikemukakan oleh Snouck Hurgronje, orientalis yang ditugaskan Belanda untuk membelokkan sejarah Islam di Nusantara, semata-mata untuk memecah belah umat Nabi Muhammad.
Menurut Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau jamak dikenal dengan nama Buya Hamka, agama Islam yang masuk ke Nusantara, justru datang langsung dari Jazirah Arab, dibawa sendiri oleh kalangan yang dekat dengan sejarah Nabi Muhammad, yakni di zaman kekhalifahan.
Dalam bab berjudul Pengembara Arab yang Pertama ke Indonesia (halaman 2-6), Buya Hamka memaparkan penelusurannya terhadap literatur kuno terpercaya. Didapati fakta bahwa pada abad tujuh, tepatnya tahun 674, di pesisir Sumatra sudah terdapat perkampungan Arab. Penduduk kampung tersebut memeluk agama Islam.
Jika disesuaikan dengan penanggalan Hijriah, tahun 674 adalah 42 tahun pasca wafatnya Nabi Muhammad. Beliau wafat pada 632 atau tahun sebelas dari hijrah ke Madinah.
Apabila disesuaikan kalender, tahun 674 bertepatan dengan tahun 51 Hijriah. Pada masa itu, khalifah yang berkuasa adalah Yazid bin Muawiyah dari Bani Umayah.
Banyak pula pembahasan lain dalam buku ini yang tak kalah menarik dan penting untuk disusuri. Membaca buku ini adalah menyerap spirit perjuangan zaman lampau betapa semangat keislaman dan semangat kenusantaraan adalah dua hal yang berkait kelindan, saling menyatu, tak terpisahkan.
Tag
Baca Juga
-
Pelajaran Tekad dari Buku Cerita Anak 'Pippi Gadis Kecil dari Tepi Rel Kereta Api'
-
Cerita-Cerita yang Menghangatkan Hati dalam 'Kado untuk Ayah'
-
Suka Duka Hidup di Masa Pandemi Covid-19, Ulasan Novel 'Khofidah Bukan Covid'
-
Akulturasi Budaya Islam, Jawa, dan Hindu dalam Misteri Hilangnya Luwur Sunan
-
Pelajaran Cinta dan Iman di Negeri Tirai Bambu dalam "Lost in Ningxia"
Artikel Terkait
-
Selain Nasi Liwet, Fefe Slinkert Pacar Nathan Tjoe-A-On Pernah Cicipi Kuliner Langka Indonesia Ini
-
Menjadi Pemuda yang Semangat Bekerja Keras dalam Buku Kakap Merah Ajaib
-
Ulasan Buku Al-Farabi, Sang Maestro Filsafat yang Tak Lekang oleh Waktu
-
The Power of Words, Desain Intrinsik dari Sebuah Mantra
-
Belajar Menjadi Versi Terbaik Diri Sendiri dari Buku Esok Lebih Baik
Ulasan
-
Review Film Wanita Ahli Neraka, Kisah Nahas Santriwati Pencari Surga
-
Menjadi Pemuda yang Semangat Bekerja Keras dalam Buku Kakap Merah Ajaib
-
Ulasan Buku Al-Farabi, Sang Maestro Filsafat yang Tak Lekang oleh Waktu
-
Review Film The Wages of Fear yang Banjir Penonton di Netflix
-
Icip Menu Kopi Dusun, Kuliner Tradisional di Candi Muaro Jambi
Terkini
-
Rencana Gila STY: Duetkan 2 Pemain dengan Keahlian Lemparan Jauh di Timnas
-
NCT Dream Raih Kemenangan Pertama Lagu When I'm With You di Show Champion
-
Tak Perlu Didebat, Rizky Ridho Memang Layak utuk Bersaing di Level Kompetisi yang Lebih Tinggi!
-
Benarkah Gen Z Tak Bisa Kerja dengan Baik?
-
Tanpa Bikin Iritasi! Ini 3 Exfoliating Pad Aman untuk Kulit Sensitif