Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Thomas Utomo
Buku Mei Hwa dan Sang Pelintas Zaman (Dokumentasi pribadi/Thomas Utomo)

Novel ini sebelumnya pernah terbit di bawah judul Katastrofa Cinta. Diterbitkan oleh Lingkar Pena Publishing House, tahun 2008. Tahun 2014, Afifah Afra menyunting dan menambal sejumlah bagian yang bolong-bolong menjadi cukup lengkap, sehingga terbitlah edisi terbaru.

Mei Hwa dan Sang Pelintas Zaman adalah novel sejarah. Tokoh utamanya dua. Pertama, seorang perempuan berdarah Jawa dan Yaman, bernama Sekar Kusumastuti. Kedua, perempuan keturunan Tionghoa, bernama Mei Hwa.

Sedari usia amat muda, Sekar menunjukkan gelagat pemberontak disebabkan pola asuh keluarga broken home yang jauh dari membahagiakan.

Di usia remaja, di awal tahun 1960-an, Sekar gemar bergonta-ganti pacar dan bermain-main dengan bahaya, termasuk ketika dia menggabungkan diri dalam oraganisasi berhaluan kiri. 

Puncaknya, dia terlibat dalam pemberangusan aktivitas keislaman, di antaranya penyerbuan pesantren yang dikelola kakeknya dari pihak ayah.

Kelak, Sekar diasingkan di Plantungan akibat aktivitas sosial politiknya tersebut.

Sementara perempuan kedua, Mei Hwa, tidak pernah terlibat dalam aktivitas politik. Dia hanya suka belajar dan gemar menuntut ilmu. Kekuarganya pun relatif bersih dari kegiatan politik. Mereka hanya sibuk bekerja di ranah swasta. 

Namun kerusuhan 1998, menghancurkan usaha keluarga Mei Hwa. Gadis itu juga terseret pusaran konflik tersebut. Dia diperkosa ramai-ramai oleh sekumpulan laki-laki berwajah entah.

Mei Hwa jatuh dalam depresi. Dalam kubangan masalah itu, dia bersua dengan Sekar, perempuan tua yang bermetamorfosis menjadi Mbah Murong, sehari-hari menghidupi diri sebagai pemulung.

Pertautan rasa dan interaksi kedua perempuan beda usia, beda latar belakang itu kemudian membekas di lubuk batin satu sama lain. Mei Hwa yang membenci pribumi karena dianggap telah menghancurleburkan keluarganya, kembali dapat berpikir realistis: kejahatan tidaklah menjadi milik etnis tertentu.

Sebagaimana kebaikan, kejahatan dalam dilakukan siapapun, dari latar belakang apapun.

Demikian pula Mbah Murong atau Sekar, kehadiran Mei Hwa membuka mata batinnya akan kejahatan-kejahatan yang dia lakukan di masa lalu, termasuk terhadap keluarga besarnya sendiri.

Hingga kemudian, ketika keakhiran bahagia menjumpai Mei Hwa, kepahitan justru menutup hidup Sekar.

Membaca novel ini adalah membaca lorong sejarah zaman Indonesia. Betapa permusuhan dan kerusuhan tidaklah mendatangkan kemanfaatan apapun. Sebaliknya toleransi dan rasa persaudaraan adalah obat mujarab juga menyemai kebahagiaan.

Thomas Utomo