Novel ini sebelumnya pernah terbit di bawah judul Katastrofa Cinta. Diterbitkan oleh Lingkar Pena Publishing House, tahun 2008. Tahun 2014, Afifah Afra menyunting dan menambal sejumlah bagian yang bolong-bolong menjadi cukup lengkap, sehingga terbitlah edisi terbaru.
Mei Hwa dan Sang Pelintas Zaman adalah novel sejarah. Tokoh utamanya dua. Pertama, seorang perempuan berdarah Jawa dan Yaman, bernama Sekar Kusumastuti. Kedua, perempuan keturunan Tionghoa, bernama Mei Hwa.
Sedari usia amat muda, Sekar menunjukkan gelagat pemberontak disebabkan pola asuh keluarga broken home yang jauh dari membahagiakan.
Di usia remaja, di awal tahun 1960-an, Sekar gemar bergonta-ganti pacar dan bermain-main dengan bahaya, termasuk ketika dia menggabungkan diri dalam oraganisasi berhaluan kiri.
Puncaknya, dia terlibat dalam pemberangusan aktivitas keislaman, di antaranya penyerbuan pesantren yang dikelola kakeknya dari pihak ayah.
Kelak, Sekar diasingkan di Plantungan akibat aktivitas sosial politiknya tersebut.
Sementara perempuan kedua, Mei Hwa, tidak pernah terlibat dalam aktivitas politik. Dia hanya suka belajar dan gemar menuntut ilmu. Kekuarganya pun relatif bersih dari kegiatan politik. Mereka hanya sibuk bekerja di ranah swasta.
Namun kerusuhan 1998, menghancurkan usaha keluarga Mei Hwa. Gadis itu juga terseret pusaran konflik tersebut. Dia diperkosa ramai-ramai oleh sekumpulan laki-laki berwajah entah.
Mei Hwa jatuh dalam depresi. Dalam kubangan masalah itu, dia bersua dengan Sekar, perempuan tua yang bermetamorfosis menjadi Mbah Murong, sehari-hari menghidupi diri sebagai pemulung.
Pertautan rasa dan interaksi kedua perempuan beda usia, beda latar belakang itu kemudian membekas di lubuk batin satu sama lain. Mei Hwa yang membenci pribumi karena dianggap telah menghancurleburkan keluarganya, kembali dapat berpikir realistis: kejahatan tidaklah menjadi milik etnis tertentu.
Sebagaimana kebaikan, kejahatan dalam dilakukan siapapun, dari latar belakang apapun.
Demikian pula Mbah Murong atau Sekar, kehadiran Mei Hwa membuka mata batinnya akan kejahatan-kejahatan yang dia lakukan di masa lalu, termasuk terhadap keluarga besarnya sendiri.
Hingga kemudian, ketika keakhiran bahagia menjumpai Mei Hwa, kepahitan justru menutup hidup Sekar.
Membaca novel ini adalah membaca lorong sejarah zaman Indonesia. Betapa permusuhan dan kerusuhan tidaklah mendatangkan kemanfaatan apapun. Sebaliknya toleransi dan rasa persaudaraan adalah obat mujarab juga menyemai kebahagiaan.
Baca Juga
-
Pelajaran Tekad dari Buku Cerita Anak 'Pippi Gadis Kecil dari Tepi Rel Kereta Api'
-
Cerita-Cerita yang Menghangatkan Hati dalam 'Kado untuk Ayah'
-
Suka Duka Hidup di Masa Pandemi Covid-19, Ulasan Novel 'Khofidah Bukan Covid'
-
Akulturasi Budaya Islam, Jawa, dan Hindu dalam Misteri Hilangnya Luwur Sunan
-
Pelajaran Cinta dan Iman di Negeri Tirai Bambu dalam "Lost in Ningxia"
Artikel Terkait
-
Serunya Belajar di Negeri Sakura, Ulasan Novel Indahnya Langit Kanazawa
-
Ulasan Novel Pijar: Kisah Nyata Sang Penulis Novel
-
Terkuak! Usulan Pergantian Nama Jalan Kebayoran Lama Jadi Jalan Bang Pitung di Rawa Belong
-
Memori Sejarah: Timnas Indonesia Pernah Bantai Jepang Tanpa Ampun
-
Sejarah Padang Arafah, Tempat Pertama Kali Sepasang Manusia Dipertemukan
Ulasan
-
Years Gone By: Ketika Cinta Tumbuh dari Kepura-puraan
-
Ulasan Buku My Olive Tree: Menguak Makna Pohon Zaitun bagi Rakyat Palestina
-
Review Film Death Whisperer 3: Hadir dengan Jumpscare Tanpa Ampun!
-
Ulasan Novel Terusir: Diskriminasi Wanita dari Kacamata Budaya dan Sosial
-
Review Film Tukar Takdir: Kisah Penyintas yang Menyayat Hati!
Terkini
-
Tepuk Sakinah Viral, Tapi Sudahkah Kita Paham Maknanya?
-
Tak Hanya Lolos, Indonesia Bisa Panen Poin Besar Jika Menang di Ronde Empat
-
Saat Medsos Jadi Cermin Kepribadian: Siapa Paling Rentan Stres Digital?
-
Minimalis Tapi On Point! 4 Daily OOTD Classy ala Moon Ga Young
-
Bukan Cuma Drakor, 4 Drama China Tema Time Travel Ini Wajib Masuk Watchlist