Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Thomas Utomo
Buku Petualangan Tiga Hari (Dokumentasi pribadi/Thomas Utomo)

Tiga hari. Tiga bocah laki-laki. Juara tiga lomba. Tampaknya, kata atau angka tiga menjadi salah satu kunci pokok novel remaja karya Dokter Dian Dahlia ini atau entahlah…

Yang jelas, novel serba tiga ini, memaparkan cerita tiga anak laki-laki pra remaja. Pertama, Mukhlis, anak SD yang punya rasa penasaran tinggi. Rasa penasaran itu mendorongnya nekat menjadi penumpang gelap sebuah kapal. Dia ingin tahu, seperti apa rasa dan sensasi bertualang naik kapal? Macam mana rasa keluar dari lingkungan tempat tinggal sehari-hari? 

Saat di tengah perjalanan laut, Mukhlis ketahuan awak kapal. Tentu dia tidak akan diturunkan di tengah perairan begitu saja. Dia akan diajak kembali ke tempat tinggal semula. Namun, malang, ketika di dermaga seberang, Mukhlis ketinggalan rombongan kapal.

Dia terpaksa menggelandang, terlibat eksploitasi anak yang dikomandai mafia, lalu terselamatkan dan berjumpa tokoh kedua, Rifki. 

Rifki adalah bocah laki-laki ideal. Umurnya sebaya dengan Muhlis. Berbeda dengan Mukhlis yang kerap berbuat impulsif, Rifki tipikal anak teratur. Dia giat belajar, berperilaku sopan, patuh dan menjadi buah kebanggaan orang tua, namun sesungguhnya tetap dinamis dan seperti anak laki-laki lain yang memendam rasa ingin tahu meletup-letup.

Mukhlis dan Rifki berjibaku, saling bekerja sama melawan eksploitasi dan usaha perdagangan manusia yang dikendalikan Om Jo beserta kawan-kawan sekancah. Dua bocah ini juga turut menyelamatkan Alif, keponakan Paman Jo sendiri yang dipaksa jadi pengemis jalanan.

Berbeda dengan Mukhlis dan Rifki, Alif adalah tipikal bocah ciut nyali. Dalam bahasa Jawa, atine cilik. Dia takut menempuh risiko, dia enggan melawan, kurang punya jiwa pemberontak maupun perintis. Dia rela patuh dan tunduk kendati itu menekannya dalam penderitaan.

Tiga keunggulan novel ini, pertama, tentu saja, dari muatan atau substansi cerita. Dian Dahlia, melalui jalinan cerita dalam novel Petualangan Tiga hari, coba menawarkan nilai-nilai optimisme, semangat, gigih, pantang menyerah, dan kolaborasi sebagai nilai-nilai karakter yang pantas diinternalisasi dalam diri tiap anak.

Mukhlis dan Rifki adalah cerminan nilai-nilai utama tersebut. Sementara itu melalui tokoh Alif, pembaca diyakinkan, betapa rasa takut dan ketidakberdayaan selamanya tidak akan bermakna apa-apa kecuali satu: kesengsaraan. Berani mendobrak keadaan adalah kunci keberhasilan.

Kedua, suspense atau tegangan cerita. Sebagaimana judul yang mengambil kata petualangan, maka unsur tegangan tak pelak lagi, penting harus termuat dalam cerita. Semata agar petualangan tiga bocah ini tidak datar dan membikin jenuh pembaca. 

Dengan tegangan ini pula, pembaca usia muda, yang umumnya kurang betah menelaah bacaan berhalaman tebal, dapat bertahan membaca hingga khatam.

Ketiga, unsur deskripsi dan lokalitas yang menyakinkan. Membaca novel berketebalan 256 halaman ini, pembaca akan percaya betapa setting tempat, suasana, dan peristiwa memang sebenar-benarnya di kawasan pesisir dan kampung laut di Pulau Borneo.

Dengan demikian, pembaca yang jauh atau tidak paham dengan lingkungan tersebut, dapat merasakan ‘petualangan rohani’ ke lokasi yang sebelumnya asing.

Thomas Utomo