Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Sam Edy Yuswanto
Buku antologi cerpen "SInggah" (Dokumen pribadi/ Sam Edy)

Cinta tak harus memiliki. Ungkapan ini saya yakin sudah sangat sering kita dengar. Ungkapan yang terasa mudah diucapkan atau dituliskan, tapi begitu sulit saat kita tengah mengalami hal tersebut.

Ya, jatuh cinta pada seseorang memang hal yang lumrah. Manusiawi. Setiap orang yang sudah dewasa saya yakin pernah mengalami yang namanya jatuh cinta atau menyukai seseorang. Ada yang berbalas, tapi tak sedikit pula yang cintanya bertepuk sebelah tangan. 

Bahkan, yang sudah menjadi sepasang kekasih pun bisa saja suatu hari nanti putus atau berpisah karena merasa sudah tak ada kecocokan satu sama lain. Demikian pula, mereka yang telah hidup berumah tangga, juga bisa berujung perceraian karena satu sama lain sudah tak bisa saling memahami, tak bisa dipersatukan, tak ada lagi kecocokan, dan sederet alasan lainnya.

Bicara tentang kisah asmara yang berakhir dengan kesedihan, juga dialami oleh Hilya, tokoh utama dalam cerpen berjudul “Pertemuan di Dermaga” karya Jia Effendie dalam buku antologi berjudul “Singgah” (Gramedia, 2013).

Hilya bukan orang kaya-raya. Ia hanyalah seorang karyawan HRD sebuah stasiun televisi swasta berpenghasilan dua juta lima ratus rupiah sebulan. Dia menyisihkan sebagian uangnya, menabung, demi bisa berlibur ke tempat-tempat jauh. 

Hilya tengah merencanakan berlibur bersama kekasihnya. Rencananya itu sudah dia rancang sejak setahun lalu. Dan ketika waktu liburan yang dinanti tiba, dia justru sudah berpisah dengan kekasihnya. Akhirnya dia memutuskan untuk berlibur seorang diri. 

Hilya memang sempat merasakan kesedihan yang mendalam saat putus dengan kekasihnya. Terlebih saat kekasihnya itu akhirnya menikah dengan gadis lain, enam bulan sejak berpisah dengannya. Dia sampai menangis selama berhari-hari sampai akhirnya dia memasang riasan lebih tebal daripada biasanya dan tersenyum lebih lebar daripada biasanya. 

Kesedihan yang begitu mendalam yang dialami Hilya tentu sangat bisa dimaklumi. Sebab, saat masih berpacaran, lelaki itu merasa belum siap menikah saat Hilya menyinggung soal pernikahan. Hilya ingin menikah sementara pria itu tidak. Rupanya, pria itu bukan tidak ingin menikah, dia hanya tidak ingin menikah dengan Hilya. Buktinya dia menikah dengan gadis lain setelah putus dengan Hilya.

Di sebuah pulau, saat Hilya sedang berlibur, dia bertemu dengan seorang lelaki yang juga tengah berlibur seorang diri. Dari situlah mereka berteman dan merasa dekat satu sama lain. Namun, di akhir cerita mereka sepertinya sulit untuk bersatu.

Kisah tentang percintaan dua anak manusia memang menarik disimak, apalagi mereka yang tak bisa dipersatukan di kursi pelaminan karena sebab-sebab yang begitu beragam. Dari kisah-kisah tersebut kita bisa mengambil pelajaran yang bisa membuat kita lebih waspada: ketika mencintai seseorang, janganlah terlalu berlebihan, sehingga kita tak begitu terpuruk saat suatu hari berpisah dengannya.

Sam Edy Yuswanto