Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Thomas Utomo
Altitude 3159 Miquelli (Dokumentasi pribadi/ Thomas Utomo)

Sebelumnya, sudah ada dua novel tentang petualangan mendaki gunung, karya Azzura Dayana, yang diterbitkan Indiva Media Kreasi, yakni Altitude 3676: Takhta Mahameru dan Rengganis: Altitude 3088. Novel yang disebut pertama mengambil latar tempat (terutama) di puncak tertinggi tanah Jawa; Gunung Semeru. Sedangkan novel kedua, berlatar tempat Gunung Argopuro, salah satu gunung nonaktif di Jawa Timur.

Altitude 3159: Miquelli adalah novel ketiga yang mengambil topik serupa. Dalam novel setebal 288 halaman ini, perempuan penulis asal Sumatra Selatan ini mengajak pembaca untuk mendaki Gunung Dempo, yang terletak di antara Provinsi Sumsel dan Bengkulu, tepatnya di Kota Pagaralam.

Tersebutlah dalam pusaran cerita, tokoh Fathan dan Hilda. Dulu, keduanya bersahabat baik sejak bangku sekolah dasar. Perguliran waktu, menunaskan rasa ketertarikan di antara keduanya. Namun, Hilda secara 'semena-mena' merantas 'hubungan' dengan Fathan.

Hilda yang berlatar belakang keluarga the have, memilih kerap keluar rumah, menggendong ransel, mendaki gunung-gunung terkenal di penjuru Indonesia. Sedangkan Fathan yang berasal dari keluarga tidak mampu, di masa dewasa, bertransformasi menjadi 'orang sukses'. Sehari-hari, hidupnya diisi kegiatan 'mendaki' gedung-gedung pencakar langit di kota-kota besar dunia.

Tetapi satu momen, membuat Fathan mengejar Hilda, hingga kemudian, turut mendaki Gunung Dempo. Dalam perjalanan inilah, lewat ragam pengalaman yang terjadi, muncul refleksi juga renungan akan makna pendakian diri dalam membangun cita dan cinta.

Dalam novel ini, Azzura Dayana, seolah-olah menjadikan gunung sebagai alat bantu hubung persuasif untuk meneropong ke dalam diri, meneropong ke orang-orang sekitar, pun meneropong alam, guna menyelami hakikat kehidupan, kemanusiaan, dan interaksi dengan Sang Mahakuasa.

Misalnya, 'sehebat setangguh' apapun, manusia tetap tidak berdaya di hadapan alam yang sama-sama ciptaan Tuhan. Bahwa ketika alam mempertontonkan keganasannya, seperti kala Fathan dan Hilda terkurung badai hingga bertemu harimau gaib, hanya belas kasih sayang Tuhan semata yang dapat menyelamatkan.

Membaca novel ini juga akan mengasup pembaca dengan mitos-mitos juga cerita-cerita gaib seputar Gunung Dempo, seperti Si Lidah Pahit, Si Mata Empat, dan manusia kerdil. Sebagai insan beriman dan logis, mungkin kita bisa memandang sebelah mata kisah-kisah 'tidak logis' yang berkembang. Namun, tidak bijak rasanya jika menyepelekan bahkan mencemooh, karena bisa jadi kejadian gaib dalam pendakian gunung, menimpa kita.

Thomas Utomo