Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Ragil Kristya
Sampul All The Bright Places (DocPribadi/Ragil Kristya)

Novel ini, dalam versi aslinya kali pertama  terbit pada 2015. Sementara itu, dalam versi terjemahan Bahasa Indonesia, diterbitkan dengan judul Tempat-Tempat terang oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2017. Alih bahasa novel ini digarap dengan begitu baik oleh Angelic Zaizai. Demikian pula sebaik penyuntingan bahasa yang dikerjakan oleh Tri Saputra dan Dini Pandia. Saya hampir tidak menemukan kesalahan tulis yang tidak berarti.

Desain sampul novel ini berlatar warna putih, ditimpali dengan susunan grid dengan warna-warna cerah dan warna-warna suram. Biru muda, pink, kuning, abu-abu, coklat dan hitam. Baru kemudian ilustrasi seekor burung Cardinal—yang merah dan sendiri—juga setangkai bunga ungu,  yang disematkan di dalam grid yang bersilangan. Seakan Yulianto Qin, sang desainer sampul, ingin mengatakan suatu kesan tentang adanya dua hal yang saling bertolak belakang dalam novel ini. Jika itu adalah tujuannya, pekerjaanya itu begitu berhasil.

Sementara itu, sisa ruang dalam sampul ini tersemat judul dan nama pengarangnya,  ditulis dalam font pana summer reguler yang, lengkapnya, kelihatan ciamik dan manis. Namun, apakah selanjutnya novel ini akan mengatakan kepada kita seperti kesan awal  pada sampulnya? Rupanya tidak selalu demikian.

Kesan suram dan gelap akan segera menghinggapi pembaca ketika menyimak lembar demi lembar awal novel ini. Bermula dari perjumpaan yang tidak sengaja antara dua tokoh sentral dalam novel ini, yakni Theodore Finch dan Violet Markey.

Dalam perjumpaan yang kali pertama itu, kedua remaja SMA itu bertemu dalam adegan yang segera membikin cemas pembacanya. Mereka tanpa sengaja bertemu di tubir menara lonceng sekolahnya, sebagai dua remaja yang memiliki pikiran kalut tentang bunuh diri. Dalam bagian kisahan itu, tidak begitu jelas siapa yang menyelamatkan siapa, akan tetapi dalam pertemuan itu mereka urung untuk mewujudkan pikirannya. 

Selanjutnya, pembaca akan segera disuguhkan salah satu bagian menarik dalam novel ini, yaitu gaya penceritaan Jennifer Niven. Itu karena, pengarangnya mengambil dua versi sudut pandang, yang masing-masing seakan tersusun dari diary harian kedua tokoh tersebut. Kita tahu, bahwa sebuah diary selalu akan menjadi rahasia milik pemiliknya, ia tertutup untuk orang lain dan selalu milik privat, tetapi novel ini seakan menawarkan kepada kita rahasia privat itu dengan gamblang.

BACA JUGA: Meneladani Para Ulama dalam Menjaga Waktu untuk Sesuatu yang Bermanfaat

Mengenai Violet

Perempuan di tubir menara itu adalah Violet Markey, seorang gadis SMA, dengan kesedihan mendalam. Ia dikisahkan oleh pengarangnya sebagai gadis SMA dengan perasaan yang begitu kosong. Suatu malam di musim dingin menjadi hari yang tidak ingin tidak untuk dibenci oleh Violet. Itu adalah malam ketika mobil yang ia tumpangi bersama kakak perempuannya, Eleanor, mengalami insiden kecelakaan. Violet mengalami luka-luka ringan, tetapi Eleanor harus pergi untuk selama-lamanya.

Kecelakaan mobil yang ditumpangi Violet menjadi terakhir kali kebersamaanya dengan Eleanor. Sekaligus sebagai hari terakhir bagi Violet untuk—sejauh ia dapat—menjadi dirinya sendiri. Kejadian itu tidak saja memisahkan Violet dengan Eleanor, tetapi juga merenggut seluruh minat, kegembiraan, dan gairah Violet untuk melanjutkan hidup.

Putus asa, perasaan tidak layak, penolakannya pada diri sendiri menghantar Violet pada suatu pengalaman traumatis yang membikin ia merasa kosong—dalam arti yang sesungguhnya. Jenifer Niven, melalui sosok Violet, memperkenalkan kepada kita seorang yang seakan "kehilangan" dirinya sendiri. Ketika menyimak seorang Violet, pembaca segera disergap untuk merasakan emosi seorang yang tersudut karena kesedihan mendalamnya itu.

Mengenai Finch

Sementara itu, di sisi satunya, adalah Theodore Finch, remaja laki-laki seusia dengan Violet. Seorang yang oleh teman-teman sekolahnya dijuluki Theodore si aneh. Oleh karena sebab itu, tentu menjadi suatu hal yang buruk baginya, selain juga pengalaman tidak menyenangkan lain yang ia terima sejak kecil. Seperti pengalaman dilabeli Theodore bodoh, Theodore yang tidak berguna, atau "ayolah, itu kan cuma Finch!"—julukan-julukan dan perlakuan yang selalu datang dari keluarga dan lingkungannya yang abai.

Jeniver Niven, pengarang buku ini, secara umum memperkenalkan Finch kepada pembaca seperti kebanyakan remaja SMA pada umumnya. Ia memiliki sisi nakal dan rebel. Namun, lebih dari itu semua, ada suatu keadaan asing dan anomali yang terjadi dalam diri seorang Finch.

Dalam benak Finch, ia menyebutnya sebagai "Terlelap" dan "Terjaga". Dua keadaan dalam dirinya yang selalu menjadikannya nampak sebagai paradoks yang hidup. Dua kontras fenomena pada diri Finch yang, di akhir bagian buku ini oleh Jennifer Niven baru dikatakannya kepada pembaca bahwa Finch adalah seorang survivor dengan bipolar.

Kisah mengenai kedua tokoh itu terjalin dalam suatu kisah rumit dan begitu kompleks. Pengarang buku ini melalui dua tokoh sentral itu seakan mengajak pembacanya menyelami kejiwaan kedua tokoh itu melalui petualangan, dialog-dialog dan pandangan dunia mereka yang unik. Penuh dengan kisah-kisah haru, hal-hal ganjil, teka-teki, cinta yang menggebu—yang bangkit dari keterpurukan. Namun, lebih dari itu semua agaknya ada satu hal paling terpenting yang hendak disampaikan pengarangnya dalam novel ini, adalah suatu pesan bahwa kesehatan mental bukan sesuatu perkara yang remeh.

Kedua tokoh itu akan selalu mengundang perasaan kita untuk menaruh simpati. Melalui dunia milik Finch yang paradoks dan dunia milik Violet yang pelan, kita diajak pergi seakan betul-betul mengalaminya. Novel yang sangat direkomendasikan. 

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Ragil Kristya