Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Ellen Yohana
Shenina Cinnamon dalam Penyalin Cahaya (Instagram/@shenacinnamon)

Diperlukan pemikiran yang mendalam untuk meresapi pesan yang coba disampaikan oleh Wregas Bhanuteja dalam film Penyalin Cahaya. Film ini tidak hanya sekadar hiburan, tetapi lebih sebagai ajakan untuk merenung dan mempertimbangkan pesan yang tersirat di balik berbagai metafora ceritanya. Meskipun isu kekerasan seksual menjadi fokus utama, penyampaian pesan dalam film ini tidak dilakukan secara langsung, melainkan melalui penggunaan metafora dan simbolisme yang mendalam.

Bagi mereka yang menonton film ini tanpa konsentrasi dan niat yang cukup, terdapat risiko bahwa pesan yang disampaikan tidak akan tersampaikan sepenuhnya, bahkan mungkin penonton tidak mampu bertahan hingga adegan terakhir. Sejumlah adegan dan perkembangan cerita dalam Penyalin Cahaya memberikan ruang untuk pertanyaan, termasuk perubahan fokus cerita yang terasa berbeda dari awal perjalanan hingga kompleksitas berbagai permasalahan yang diangkat oleh Wregas.

Sinopsis umum yang mencitrakan Penyalin Cahaya sebagai film yang berbicara tentang kekerasan seksual ternyata hanyalah penyamaran untuk membahas tema yang lebih kompleks dan melibatkan lapisan-lapisan cerita yang lebih luas. Meski begitu, perkembangan narasi dengan segala tambahan di dalamnya membuat fokus cerita terasa kabur, dan Wregas terlihat bingung dalam menentukan sorotan utama.

Bahkan, pencarian karakter Sur tidak menemui jawaban yang tuntas, setidaknya tidak secara gamblang dalam film. Penyalin Cahaya tidak memberikan penutupan cerita yang pasti; yang ada hanyalah serangkaian tanda tanya yang terus muncul. Hal ini dapat ditemui dalam berbagai babak cerita, termasuk masalah mabuk dan penyebabnya, identitas pelaku, hingga cara permasalahan tersebut bisa terjadi dalam dunia Penyalin Cahaya. Beberapa cerita bahkan terasa saling bertentangan satu sama lain.

Meskipun film ini memberikan kebebasan bagi penonton untuk menyimpulkan sendiri apa yang sebenarnya terjadi, hal ini pada dasarnya sah-sah saja. Di tengah segala tanda tanya, Penyalin Cahaya mengingatkan kita bahwa kekerasan seksual tidak selalu berwujud pemerkosaan. Film ini memperlihatkan berbagai bentuk kekerasan seksual yang tidak boleh dianggap remeh.

Kasus yang menimpa karakter Sur menyoroti betapa pentingnya persetujuan atau kesepakatan dalam setiap interaksi, khususnya yang berkaitan dengan sisi seksualitas. Penyalin Cahaya juga menggambarkan kesulitan yang dialami oleh korban kekerasan seksual dalam mencari keadilan, yang sering kali dianggap berlebihan karena kurangnya bukti fisik dan hanya berdasarkan cerita.

Film ini juga mencerminkan realitas di mana korban kekerasan seksual sering kali disalahkan berdasarkan pilihan berpakaian, bahkan oleh anggota keluarga mereka sendiri yang seharusnya berperan sebagai pelindung utama. Selain itu, Penyalin Cahaya menyoroti isu kekerasan seksual yang terkait dengan penyalahgunaan teknologi dan informasi, di mana korban sering dianggap bersalah meskipun mereka hanya berusaha mencari keadilan.

Lebih dari itu, film yang meraih 12 piala Citra di FFI 2021 ini juga menunjukkan bahwa kekerasan seksual tidak memandang gender. Korbannya tidak hanya perempuan, tetapi juga pria. Melalui metafora "menguras, menutup, dan mengubur," film ini mungkin mencoba menggambarkan kondisi penanganan kasus kekerasan seksual di negara ini.

Penyalin Cahaya tidak hanya mengulas isu kekerasan seksual, melainkan juga memasukkan isu-isu lain yang tak kalah pentingnya, seperti kesehatan mental dan masalah ekonomi. Salah satu adegan yang paling menyayat hati dalam film ini adalah ketika Sur terpaksa meminta maaf atas keadaan yang menjadikannya sebagai korban, dan momen itu terekam oleh orang yang seharusnya melindunginya. Adegan tersebut semakin menggetarkan dengan teknik pengambilan gambar yang memperlihatkan ekspresi Sur dengan jelas, menyuntikkan kekuatan emosional yang mendalam.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Ellen Yohana