Film Malam Para Jahanam, merupakan sajian horor berdurasi 89 menit oleh Starvision Plus, yang sudah tayang di bioskop tanah air sejak 6 Desember 2023. Disutradarai oleh Indra Gunawan, dengan produser Chand Parwez Servia dan Fiaz Servia, serta penulis Sugeng Wahyudi dan Indra Gunawan.
Filmnya, memulai ceritanya dengan sosok Rendi (Harris Vriza), Martin (Zoul Pandjoul), dan Siska (Amel Carla) yang mengantar jenazah kakek mereka ke suatu desa menurut wasiat yang dibuat oleh kakek. Namun, apa yang seharusnya menjadi perjalanan biasa berubah menjadi mimpi buruk ketika mereka terjebak dalam teror dendam para Zombie di Malam Para Jahanam. Pertolongan datang dari Marni (Djenar Maesa Ayu) dan Dira (Aghniny Haque), yang membuka lembaran kelam konflik antara kelompok Pemuda Rakyat Komunis dan kelompok santri pimpinan Kyai Malik (Teddy Syach) pada tahun 1965.
Ulasan:
Awalnya, ekspektasiku tinggi banget, terutama dengan kredibilitas sutradara yang pernah bikin film Dear Nathan. Terus lagi dikarenakan Malam Para Jahanam, menghadirkan sesuatu yang berbeda, membawa sosok zombie, ini jelas menggantikan setan ‘pocong atau kuntilanak’ yang biasanya kita temui dalam film horor lokal. Ide ini sesungguhnya sangat menarik dan segar.
Namun, ekspektasiku pudar dengan cepat ketika plot hole yang besar muncul, yang pada akhirnya merusak alur cerita. Keputusan penulis naskah, atau mungkin sutradaranya, yang mana membuat zombie dapat berbicara normal, layaknya manusia, bikin aku ngakak kesal! Bisa begini, sih? Mana mungkin zombie bisa berbicara lancar kayak manusia normal.
Padahal, Film Malam Para Jahanam pada fase awal cukup mampu menghadirkan kisah dengan baik melalui pembukaan yang efektif. Seperti saat mengantar jenazah kakek atas permintaan dalam sebuah wasiatnya, itu cukup masuk akal. Namun, harapan yang tumbuh di fase awal itu tampaknya sirna ketika kehadiran zombie dan peristiwa di hari-hari berikutnya bermunculan. Yang jelas, selama itu, dalam kacamataku, kelihatan para tokoh utama terlibat dalam tindakan-tindakan yang nggak logis: Sudah tahu ada zombie, bukannya pulang karena takut diserang, malah sengaja tetap di desa itu. Alasan tetap bertahan di sana bagiku nggak kuat, ada banyak alasan buat mereka pulang. Yakin deh!
Terus lagi, kehadiran zombie, yang seharusnya membawa elemen ketegangan, malah terjerat dalam alur yang repetitif. Keputusan-keputusan yang terlihat bodoh dan kurang konsisten dari para karakter utama, memberikan kesan kebetulan yang terlalu dipaksakan.
Ditambah lagi adanya momen romantis, yang dalam konteks sarat dengan bahaya dan ketegangan, malah sengaja dimasukkan dalam film. Nggak perlu ada romansanya juga nggak apa-apa, sih. Selain itu, kematian dan peristiwa tragis lainnya tampaknya nggak mendapat respons yang memadai dari warga desa, pokoknya aneh banget.
Ada beberapa elemen cerita yang terasa nggak tergali dengan baik, seperti pencarian kuburan yang kurang mendapat penjelasan, bahkan proses pencarian kuburan yang seharusnya disuguhkan ke penonton yang melekat pada fase akhir, itu nggak ada. Yang ada adalah ‘kebetulan’ menemukan kuburannya. Ketidakjelasan ini menambahkan kebingungan dalam mengikuti alur kisah filmnya.
Dengan segala keanehan dan ketidakjelasan tersebut, penilaian akhir sekitar 2,5/10 sepertinya pantas untuk akting yang lumayan dan tema yang unik namun kurang berhasil dieksekusi. Film ini mungkin meninggalkan penonton dengan campuran perasaan, di mana ekspektasi awal berubah menjadi kekecewaan akibat kekurangan dalam pengembangan cerita.
Walau begitu, seandainya kita melihat film ini tanpa terlalu dipusingkan oleh ketidaklogisan tersebut, mungkin pengalaman menontonnya bisa lebih ringan. Terlepas dari kekurangan dalam plot, konsep setan zombie memberikan sentuhan unik dalam menghadirkan elemen horor. Meskipun aku pribadi merasa kecewa dengan plot hole yang mengganggu, bagi mereka yang dapat menontonnya dengan pikiran terbuka, film ini mungkin masih memberikan hiburan yang cukup. Selamat menonton.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Review Film Believe: Kobaran Cinta Tanah Air
-
Review Film Apocalypse in the Tropics: Gelapnya Demokrasi yang Terancam
-
Review Film Dont Lets Go to the Dogs Tonight: Hidup di Tengah Peperangan
-
Review Film Three Kilometres to the End of the World: Potret Aib Terpilu
-
Review Film Saint Clare: Niat Jadi Horor Ilahi, Hasilnya Malah Sesat
Artikel Terkait
-
Review Film Talk to Me, Mirip Jelangkung tapi Versi Upgrade!
-
4 Film Indonesia tentang Hubungan Menantu dan Mertua, Ada Film Laura Basuki
-
Review Film La Luna, Komedi yang Berani Menyentil Topik Sensitif
-
Review Collective Invention, Film Out of the Box yang Pantang untuk Dilewatkan!
-
3 Rekomendasi Film Bergenre Romansa yang Bikin Hati Meleleh Dibuatnya
Ulasan
-
Perjalanan Menemukan Makna Hidup Sejati di Novel Pencari Harta Karun
-
Tradisi Perempuan Jepang di Tahun 1930-an di Novel The Makioka Sisters
-
Depot Mie Sahadja Malang: Hangatnya Cita Rasa dan Kenangan Rumah Nenek
-
Ulasan Buku Granny Loves to Dance: Saat Nenek Tercinta Terkena Alzheimer
-
Ulasan Film Kampung Jabang Mayit: Ritual Maut, Cerita Mistis Dukun Sadis!
Terkini
-
Sinopsis My Daughter is a Zombie Siap Segera Tayang, Brutal Tapi Kocak!
-
Keren! Rizky Pratama Riyanto Sabet 5 Kali Juara Lomba Video di Karawang
-
Menari Bersama Keberagaman: Seni Pembelajaran Diferensiasi di Kelas Modern
-
BRI Super League: Novan Setya Sasongko Ungkap Target dengan Madura United
-
Motorola Edge 860 Pro: HP Flagship yang Siap Bikin Brand Lain Ketar-ketir