Politik dan agama, dua hal yang saat ini begitu mudah menyulut polarisasi maupun perpecahan antar kelompok.
Ketika kita berbeda pilihan politik atau tidak meyakini madzhab yang sama dalam beragama, kita seolah menjadi asing satu sama lain. Hingga puncaknya menjadi saling curiga dan memusuhi.
Terkait hal tersebut, ada sebuah buku menarik berjudul 'The Righteous Mind,' yang membahas fakta ilmiah mengenai perpecahan dalam politik dan agama. Buku ini ditulis oleh Jonathan Haidt, seorang ahli psikologi sosial.
Adapun tolok ukur dalam mempelajari politik dan agama adalah melalui sudut pandang psikologi moral.
Secara umum, prinsip psikologi moral terbagi atas tiga bagian. Pertama adalah 'intuisi duluan, penalaran belakangan'. Dengan mengambil analogi seorang penunggang yang berada di atas gajah, Heidt menjelaskan bahwa akal/penalaran bisa bertindak selayaknya penunggang yang mengabdi kepada intuisi, dalam hal ini mengambil metafora gajah.
Penunggang yang berpikir rasional hanya bisa memberi saran, namun Sang Gajah yang bertindak intuitiflah yang bisa menentukan pergerakan atau keputusan akhirnya.
Hal inilah yang melatarbelakangi penemuan berbagai fenomena dan keputusan-keputusan tidak masuk akal yang beredar dalam masyarakat. Kita sering tidak habis pikir dengan situasi yang terjadi, tapi apa boleh buat. Memang begitulah cara kerja intuisi dan emosi yang mampu mengalahkan pemikiran rasional.
Kemudian prinsip kedua dalam psikologi moral adalah moralitas itu lebih dari sekadar bahaya dan ketidakcurangan.
Dengan menganalogikan lidah beserta enam reseptor pengecap, Heidt menjelaskan bahwa tidak ada moralitas tunggal yang berlaku bagi semua orang.
Ibarat lidah yang mampu mengecap rasa menggunakan enam reseptor berbeda, tolok ukur moralitas itu juga terbagi atas enam fondasi moral yang berbeda-beda. Sesuai dengan kebutuhan dan tantangan masyarakatnya.
Dan yang terakhir adalah prinsip bahwa moralitas itu mengikat dan membuktikan. Kita adalah makhluk egois namun di satu sisi juga senang berkelompok.
Saat berada dalam sebuah kelompok, baik itu dalam lingkup politik maupun agama, kita berharap bisa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri. Faktanya, kita memang berevolusi untuk hidup berkelompok.
Dengan berbagai fakta menarik serta penelitian ilmiah yang dipaparkan dalam buku ini, Heidt mencoba membuka wawasan pembaca untuk lebih mengenal tolok ukur moralitas yang terkait dalam politik dan agama.
Hal inilah yang nantinya bisa menjadi kompas bagi kita untuk menilai segala fenomena sosial yang terjadi di sekitar kita.
Dengan memahami pembahasan dari buku ini, diharapkan bahwa kita menjadi pribadi yang penuh dengan pemahaman. Pemahaman tersebut tentu bisa mendatangkan sikap yang lebih lebih bijak dalam menanggapi sejumlah perbedaan dalam politik dan agama.
Secara umum, buku ini amat kaya dengan informasi dan pengetahuan. Meskipun dalam beberapa poin, penulis lebih banyak mengangkat kebudayaan maupun fenomena yang terjadi di Amerika, namun pembahasannya masih cukup relevan dengan kondisi yang kita alami di Indonesia.
Bagi saya, The Righteous Mind ini adalah sebuah bacaan yang mestinya menjadi bacaan wajib bagi kita semua yang selama ini selalu bergulat dalam masalah pluralisme maupun perpecahan di bidang politik dan agama.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
- 
                      
              Ulasan Buku Timeboxing: Atur Waktu di Era Digital Biar Hidup Nggak Chaos
- 
                      
              Ironi Kasus Keracunan Massal: Ketika Petinggi Badan Gizi Nasional Bukan Ahlinya
- 
                      
              Harga Buku Mahal, Literasi Kian Tertinggal: Alasan Pajak Buku Perlu Subsidi
- 
                      
              Public Speaking yang Gagal, Blunder yang Fatal: Menyoal Lidah Para Pejabat
- 
                      
              Headline, Hoaks, dan Pengalihan Isu: Potret Demokrasi tanpa Literasi
Artikel Terkait
- 
                
              Beda Jalan Politik Sarni Istri Ivan Fadila Vs Verrell Bramasta: Ibu Sambung Duluan Terjun di DPR
- 
                
              Ulasan Buku Stop Overthinking: Manajemen Stres yang Menarik
- 
                
              Bahas Eksistensialisme di Buku Kierkegaard, Pergulatan Menjadi Diri Sendiri
- 
                
              Muhammad Prananda Prabowo
- 
                
              Ulasan Buku Air Susu Ibu: Benarkah Depresi Diturunkan ke Anak Melalui ASI?
Ulasan
- 
                      
              Review Series House of Guinness: Skandal dan Sejarah yang Sayang Dilewatkan
- 
                      
              Mengenal Eksotika Jabal Magnet: Barisan Bukit Memukau di Dekat Kota Madinah
- 
                      
              Novel Luka Perempuan Asap: Cerita tentang Perempuan dan Alam yang Tersakiti
- 
                      
              Makna Perjuangan dan Cinta di Balik Novel Lotus In The Mud
- 
                      
              Ulasan Novel Dorm Du: Saat Sekolah Jadi Tempat Menguji Rasa Takut & Berani
Terkini
- 
           
                            
                    
              Gaya Macho ala Bae Nara: Sontek 4 Ide Clean OOTD yang Simpel Ini!
- 
           
                            
                    
              Empat Tokoh Mengkaji Oase Gelap Terang Indonesia di Reuni FAA PPMI
- 
           
                            
                    
              Bukan Kaleng-Kaleng! 5 Laptop 7-10 Jutaan Paling Worth It Tahun Ini
- 
           
                            
                    
              Scarlett Johansson Buka Suara Soal Rumor Perannya di Tangled Live-Action
- 
           
                            
                    
              BRI Liga 1: Nermin Haljeta Harap PSIM Yogyakarta Bisa Jaga Tren Positif