Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Rie Kusuma
Cover buku Jenang Bukan Dodol (Ikaltim)

Jenang Bukan Dodol merupakan novel kuliner karya dari Dyah Prameswarie dan merupakan buku pertama dari Seri Djoeroe Masak. Adapun seri berikutnya berjudul: Kelab Makan Rahasia, Nona Doyan Makan, serta Sembah dan Berkah.

Buku terbitan Metamind pada tahun 2018 ini berkisah tentang Aidan, lulusan sekolah kuliner di New York yang baru saja membuka restoran khas Indonesia di Bandung, demi memenuhi tantangan sang ayah.

Dalam peresmian resto miliknya, ternyata Aidan mendapat kritik pedas dari sejumlah tamu undangan yang terdiri dari food vlogger, kritikus kuliner, dan lain sebagainya, karena salah satu menu yang disajikan basi.

Aidan tak mengetahui bahwa ada yang menyabotase acaranya pada pembukaan restorannya tersebut. Namun, publik sudah terlanjur menuding Aidan payah karena tak mengenal kuliner negeri sendiri.

Aidan lalu pergi ke Yogyakarta untuk belajar membuat jenang dan kue-kue tradisional lainnya pada penjual jajanan pasar di Pasar Ngasem, Sedayu dan ibunya. Kedekatan sejenak yang menimbulkan percikan cinta di antara keduanya.

Beberapa kali Aidan memergoki Sedayu sedang menatapnya dan setiap kali ia balik menatap gadis manis itu, Sedayu akan tersipu. malu.

“Jangan pandangi wajahku terlalu lama, Dayu.”

“Memangnya kenapa?”

“Nanti ketahuan, ada kamu di mataku.” (Hal. 42-43)

Mengusung konsep sebagai novel kuliner, Jenang Bukan Dodol memberikan hawa segar dan kebaruan dengan mengenalkan makanan tradisional Indonesia.

Alur ceritanya sederhana, sat set, cepat banget, dan tahu-tahu saja sudah selesai. Sejujurnya, untuk novel setebal 168 halaman (novel selesai di halaman ke-99, sisanya aneka resep makanan tradisional), saya lebih setuju kalau disebutnya novela, bukan novel.

Konfliknya tipis-tipis saja dan masih kurang menggigit. Begitupun kisah cinta yang berusaha dihadirkan antara Aidan dan Sedayu. Saya tak melihat adanya chemistry yang kuat antara keduanya.

Mungkin karena dari ceritanya sendiri yang terasa sekali serba tergesa-gesa, berpengaruh terhadap karakter para tokohnya yang belum digali lebih dalam. Otomatis tak berhasil menumbuhkan chemistry dengan baik.

Ada sedikit kekurangan yang saya temukan di Jenang Bukan Dodol, salah satunya saat battle memasak dan Aidan mempersiapkan tema Sepinggan Nusantara berupa: klepon, nagasari, lemper, dan pastel (Hal. 80-82). Tapi, pas di meja penjurian kleponnya berubah jadi rujak serut (Hal. 89).

Sedangkan kelebihan buku ini, ada pada konsep cerita yang ingin memperkenalkan makanan tradisional lebih luas lagi. Seperti informasi yang diberikan penulis bahwa jenang bukan dodol, yang baru saya ketahui.

Kelebihan lainnya, ada pada tampilan cover yang cantik dan ilustrasi pendukung cerita di bagian dalam buku yang full color. Salut untuk ilustratornya, Suyantie Prasetio, yang menerjemahkan cerita ke dalam gambar dengan sangat indah.

Saya juga harus angkat topi untuk riset yang dilakukan penulis, yang saya ketahui dari banyaknya referensi yang disertakan dalam daftar pustaka.

Selain itu penulis juga menambahkan beberapa halaman di bagian akhir, yang memuat menu jajanan tradisional dengan gambar-gambar cantik dan menerbitkan air liur. Bikin galfok dan sepanjang membaca perut saya langsung keroncongan. Haha.

Sebagai seri awal dari Djoeroe Masak, mungkin saya tak bisa berekspektasi banyak pada Jenang Bukan Dodol. Tapi, saya berharap di seri-seri lanjutannya, pengembangan kisah Aidan-Sedayu akan jauh lebih baik.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Rie Kusuma